Perkenalan saya dengan kol goreng adalah ketika diajak teman kampus makan di warung penyetan Bandung. Sebenarnya bukan hanya kol goreng saja, melainkan jenis warung penyetan Bandung ini juga baru pertama kali saya cicipi. Mungkin karena kurang gaul dan kurang eksplorasi kuliner membuat saya jarang coba makanan baru. Lha gimana lagi, sekalinya menemukan warung makan yang saya sukai dan nyaman di sana, saya malas mau eksplor yang lain. Pikir saya, “Ngapain nyari-nyari yang belum pasti kita suka, selagi kita masih punya yang disuka?” Ehemmm…
Berangkatlah saya dengan teman-teman untuk makan siang ke sana. Impresi pertama saya ketika melihat menu yang dituliskan biasa saja, tidak ada yang membuat saya penasaran. Isinya kalau tidak ayam goreng, ya ikan goreng. Kalau begitu mah di warung langganan saya juga ada. Terus membaca menu hingga tiba-tiba saya tertarik dengan tulisan “Kol Goreng” di salah satu baris menu.
Karena teman saya pernah ke sini langsung, saya tanyakan saja padanya soal kol goreng ini. Menurut teman saya, kol goreng adalah ciri khas dari penyetan Bandung ini. Saking ndeso-nya, saya pastikan lagi padanya bahwa kol yang dimaksud adalah kubis. Maklum saja, di daerah saya, nama “kol” itu cenderung merujuk pada angkutan umum. Hehehe~
Teman saya lantas menerangkan bahwa kol goreng itu memang kubis yang digoreng. Nah, karena kadung penasaran, saya pesan saja menu kol goreng. Iseng-iseng ingin mencoba, lagi pula menurut teman saya kol goreng bisa jadi kombinasi yang tepat jika dipadukan dengan ayam goreng yang sudah terlebih dulu saya pesan.
Selang berapa menit, makanan kami pun datang dan nampak kol yang sehabis digoreng menjadi kecokelat-cokelatan. Saya sudah tak sabar ingin mengambil kol goreng yang masih panas-panasnya itu untuk dicocol dengan sambal spesial dari warung penyetan. Rasanya? Masyaallah, wuenak pol, Ndes! Walau agak pahit-pahit gimana gitu, tapi rasanya cocok sekali di lidah saya. Kemudian, saya kombinasikan dengan ayam goreng plus sambalnya, seketika otak saya berucap, “Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?”
Sehabis pengalaman pertama makan di warung penyetan tersebut, saya jadi sering ke sana untuk makan siang. Rasa enak dan nyaman itu tumbuh dengan sendirinya di warung penyetan bandung itu. Hitung-hitung menambah list tempat makan agar tidak bosan di situ-situ saja.
Seiring berjalannya waktu, pandemi mulai muncul, kegiatan kampus hanya jadi di rumah saja. Waktu untuk berkumpul dengan teman-teman sambil makan siang bareng pun sirna seketika. Warung penyetan Bandung itu sudah jarang saya datangi lagi, maklum rumah saya jauh dari kampus dan tidak ada penyetan Bandung di sekitaran sini. Lama-kelamaan lidah ini pengin mencicipi kol goreng.
Saya mulai membuka kulkas dan melihat ada bungkusan sop-sopan yang salah satu isinya ada kol. Biar tidak nampak mencurigakan menghabiskan bahan sop-sopan ibu saya dengan percuma, saya berdalih membuat bakwan goreng. Setelah dibolehkan ibu, seketika saya buat bakwan dengan menyisihkan beberapa lembar daun kol untuk saya goreng sendiri selepas bakwan selesai digoreng.
Usaha saya berhasil. Setelah menunggu beberapa lama menggoreng bakwan, akhirnya momen saya menggoreng kol terjadi juga. Lembaran-lembaran kol itu saya cuil-cuil sedemikian rupa seperti yang ada di warung penyetan, lalu saya goreng menggunakan minyak panas bekas bakwan. Langsung tercium aroma khas kol yang sedang digoreng.
Selepas sekiranya matang dengan acuan warna cokelat kol, saya angkat lalu tiriskan sebentar. Karena cabai di rumah sedang habis dan harga cabai sedang mahal-mahalnya saat itu, mau tidak mau tidak ada sambel yang bisa saya buat di sini. Ayam juga tidak ada di kulkas. Ya sudah tidak mengapa pikir saya, toh dengan bakwan juga sudah enak.
Setelah itu, saya ambil nasi lalu menaruh kol goreng di samping nasi untuk mulai saya santap. Bayangan lidah saya sudah berharap rasa yang sama di warung penyetan. Rasa yang membuat melayang-layang itu semakin menjadi ketika sendok mulai dekat ke mulut. Santapan pertama langsung kaget bukan main dan seketika nyebut, “Subhanallah, apaan, nih?” Sumpah, rasanya beda banget dengan kol goreng yang pertama kali saya makan.
Menyantap kol goreng buatan sendiri rasanya seperti makan minyak. Pahitnya sama, tapi kok rasanya jadi naudzubillah gini. Saat saya makan dengan bakwan pun rasanya sama tidak enaknya. Padahal saya menggoreng lumayan banyak. Pertanda sakit perut nih, kakehan minyak, pikir saya. Adik saya yang kebetulan makan bareng saya cuma cengar-cengir melihat eksperimen saya.
Wah peok wis, geram saya. Sudah jatuh tertimpa tangga, mangan raenak malah kisinan bocah. Nasib, nasib…
Selepas pengalaman itu, saya jadi menyimpulkan kalau kol goreng tidak cocok dijadikan lauk langsung dengan nasi. Harus ada “dorongannya”, dan dorongan itu hanya bisa didapat dari sambal terasi penyetan. Memang benar apa kata Mbak Kalis, kalau yang pantas diterima kasihin dari kehidupan kita yang kusut adalah sambel trasi.
BACA JUGA Sungguh Menyesal Orang-orang yang Belum Merasakan Nikmatnya Kol Goreng dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.