Baru-baru ini, ada berita yang bikin kita sebagai warga Indonesia sedikit gigit jari. Malaysia, tetangga dekat kita yang kadang kita jadikan bahan guyonan soal nasi lemak dan durian, hampir lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah alias middle income trap. Sementara kita?
Nah, sebelum kita ngomongin lebih jauh, middle income trap itu apaan sih?
Secara simpel, istilah ini merujuk pada kondisi ketika suatu negara mencapai pendapatan menengah, tapi terus mandek di situ, nggak naik-naik jadi negara maju. Kayak naik tangga tapi berhenti di tengah, nggak mau maju ke anak tangga yang lebih tinggi. Akibatnya, negara yang terjebak di sini nggak bisa bersaing dengan negara miskin karena biaya produksinya udah keburu mahal, tapi juga belum bisa bersaing dengan negara maju yang udah punya teknologi canggih dan inovasi wah.
Dan sekarang, Malaysia, yang tetangga sebelah kita itu, dilaporkan hampir berhasil lepas dari jebakan ini. Ya, mereka udah dekat banget buat jadi negara maju! Sementara Indonesia? Masih berusaha nyari jalan keluar dari jebakan itu. Kita ibarat dua orang pelari, tapi yang satu udah lari sampai ke garis finish, sedangkan kita masih sibuk ganti sepatu di tengah jalan.
Apa yang Malaysia lakukan?
Malaysia memang punya strategi ekonomi yang cukup jelas. Mereka nggak cuma fokus pada industri berbasis sumber daya alam, tapi juga udah serius di sektor manufaktur, teknologi, dan jasa. Sebagai contoh, mereka udah mulai gencar memproduksi barang-barang dengan nilai tambah tinggi. Kalau di Indonesia kita masih sibuk kirim batubara dan minyak kelapa sawit ke luar negeri, Malaysia udah mulai kirim microchip, semikonduktor, dan komponen elektronik lainnya.
Mereka sadar bahwa ekonomi masa depan nggak bisa hanya bergantung pada ekspor komoditas mentah. Kalau mau maju, harus main di sektor yang lebih canggih.
Di sisi pendidikan, Malaysia juga nggak mau kalah. Mereka udah lama ngebangun universitas-universitas dengan standar internasional yang bisa menarik pelajar dari seluruh dunia. Pemerintahnya juga fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang bisa bersaing secara global. Mereka nggak main-main soal investasi di pendidikan dan inovasi. Hasilnya? Malaysia sekarang punya tenaga kerja yang lebih terampil dan siap bersaing di pasar global.
Yang menarik lagi, Malaysia juga punya kebijakan ekonomi yang relatif stabil. Meski nggak sepenuhnya sempurna, mereka punya visi jangka panjang yang lumayan jelas dan konsisten. Kebijakan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi inklusif dan investasi di sektor yang tepat membuat mereka melangkah lebih cepat keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Indonesia?
Nah, sekarang kita balik ke Indonesia. Sebagai tetangga yang lebih besar, Indonesia sebenarnya punya potensi ekonomi yang luar biasa. Sumber daya alam kita melimpah, tenaga kerja berlimpah, dan pasar domestik kita sangat besar. Tapi, kenapa kita masih terjebak di level pendapatan menengah?
Salah satu jawabannya mungkin adalah terlalu lama mengandalkan komoditas mentah. Batubara, kelapa sawit, dan kawan-kawannya memang menghasilkan banyak devisa, tapi sektor ini nggak bisa terus-menerus jadi tumpuan. Harga komoditas sering fluktuatif, dan di masa depan, kebutuhan terhadap bahan-bahan ini bisa menurun. Kita udah harus mulai serius masuk ke sektor industri yang lebih bernilai tambah, teknologi misalnya.
Baca halaman selanjutnya
Kebijakan ekonomi berubah-ubah
Di bidang pendidikan, Indonesia juga masih menghadapi banyak tantangan. Meskipun anggaran pendidikan kita udah 20% dari APBN, masalah kualitas masih jadi PR besar. Perguruan tinggi kita juga belum bisa bersaing di kancah internasional. Dan, tentu saja, masalah klasik seperti ketimpangan akses pendidikan antara kota dan daerah juga masih jadi hambatan buat menciptakan tenaga kerja yang siap bersaing global.
Yang nggak kalah penting, kebijakan ekonomi kita sering kali berubah-ubah tergantung siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Kalau di Malaysia mereka konsisten dengan visi ekonomi jangka panjang, di sini kita sering kali terlalu sibuk mengurusi urusan jangka pendek. Padahal, pembangunan ekonomi butuh visi besar yang diterapkan dengan sabar dan konsisten.
Bukan cuma iri, tapi harus belajar dari Malaysia
Malaysia yang hampir keluar dari middle income trap ini sebenarnya nggak harus bikin kita iri atau minder. Justru, ini bisa jadi pelajaran berharga buat kita. Mereka berhasil karena konsistensi, investasi di sektor yang tepat, dan pengembangan sumber daya manusia yang serius. Bukan berarti Indonesia nggak bisa kayak Malaysia, tapi kita harus mulai fokus membenahi hal-hal yang selama ini menghambat kemajuan kita.
Indonesia harus lebih serius mengembangkan industri manufaktur yang punya nilai tambah tinggi, nggak cuma bergantung pada sumber daya alam. Kita juga perlu investasi besar-besaran di pendidikan dan teknologi. Tapi yang paling penting, kita harus punya kebijakan yang konsisten dan berkesinambungan, bukan sekadar kebijakan populis yang hanya fokus pada hasil jangka pendek.
Jadi, daripada sibuk iri sama Malaysia yang hampir lepas dari jebakan middle income trap, kita lebih baik mulai belajar dari mereka. Sebab, kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa kita mau terus-terusan jadi “calon negara maju” tanpa pernah beneran sampai di sana?
Penulis: Waode Nurmuhaemin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Culture Shock Saat di Malaysia: Motor Boleh Masuk Tol, dan Warga Lokalnya Suka Banget Pakai Jersey