Malangnya Nasib Dokter Residen: Curahan Hati Seorang Suami

Malangnya Nasib Dokter Residen- Curahan Hati Seorang Suami (Unsplash.com)

Malangnya Nasib Dokter Residen- Curahan Hati Seorang Suami (Unsplash.com)

Malang betul nasib dokter residen….

Dokter merupakan dan masih menjadi salah satu profesi yang bergengsi di mata masyarakat Indonesia. Kesan cerdas, kaya raya, dan sukses tidak bisa dipisahkan dari image profesi ini. 

Sebagai seorang karyawan swasta biasa yang lemas melihat darah, saya malah tidak menyangka bisa punya istri seorang dokter. Tapi, baru sehari menikah, saya berhasil dibuat keheranan.

Dokter residen tidak bisa sembarangan cuti

Pasalnya, kami menikah pada Sabtu sore, dilanjutkan resepsi pada malam harinya. Minggu pagi, istri sudah minta izin untuk ke rumah sakit menengok pasien. Lho, kok tidak ada cutinya?

Usut punya usut, ternyata saat ini istri saya tercatat sebagai seorang mahasiswi Program Profesi Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau biasa disebut dokter residen. Konon kabarnya, kalau masih berstatus residen, kamu bakal sangat sulit untuk cuti walau hanya sehari. 

Kalau melahirkan atau punya urusan lain, biasanya dokter residen tidak bisa ambil izin sehari atau dua hari sebelumnya. Mereka harus langsung izin satu “stase” yang bisa terdiri dari beberapa minggu. Kalau tertinggal satu stase ya sama saja memundurkan waktu kelulusan. Setelah mendapat penjelasan dari istri tercinta, saya coba memahami dan memberi dukungan.

Suami cuma bisa memberi semangat

Keheranan saya tidak sampai di situ. Hari Senin berikutnya, pukul 3 dini hari, istri saya sudah bangun dari tidurnya yang singkat. Ternyata, pukul 4 pagi, dia sudah harus sampai rumah sakit. Istri saya harus menyiapkan laporan pasien yang akan diserahkan ke dokter konsulen. 

Rasa kepo saya muncul dan spontan bertanya, memangnya pukul 4 pagi sudah ada dokter konsulen yang datang? Istri menjelaskan kalau dokter konsulen akan datang pukul 6 pagi. Namun, sebagai dokter residen, dia harus membuat laporan pasien terlebih dahulu. Nah, istri saya hanya bisa menggunakan data yang ada di rumah sakit untuk membuat laporan. Baiklah, lagi-lagi saya hanya bisa memberi semangat ke istri.

Biaya sekolah yang mahal

Melihat perjuangan istri yang luar biasa setiap harinya, bahkan tetap pulang sore meski sudah berangkat sebelum subuh, rasa penasaran saya kembali muncul. Dengan polosnya saya bertanya.

“Kamu kan mahasiswa ya, berarti bayar kuliah dong?” 

Istri menganggukan kepala. 

“Tapi kok sibuknya ngalahin orang kerja? Nggak ada kompensasi apa-apa?” 

Istri menjawab, saat awal-awal pandemi masuk ke Indonesia, sebagai dokter residen, dirinya mendapat tunjangan Covid-19. Namun, sekarang sudah tidak dapat lagi. Saya geleng-geleng kepala keheranan.

Masalah biaya kuliah, jangan bayangkan saya yang bayar, ya. Gaji pas-pasan sebagai seorang karyawan swasta tentu saja sulit untuk membayar biaya semesteran yang bisa mencapai puluhan juta. Apalagi dokter residen juga tidak bisa praktik jika sedang mengikuti program ini. Alhasil, satu-satunya sumber pemasukan ya dari “tabungan mertua”. Hehehe…. Tidak heran kalau berkembang anggapan di masyarakat kalau mau jadi dokter ya harus kaya dulu.

Dokter residen menempati kasta terendah

Sekarang saya mulai paham. Untuk mencetak seorang dokter umum apalagi dokter spesialis, biayanya mahal. Bukan hanya biaya pendidikannya, tapi support system untuk mendukung sampai bisa menjadi sarjana. Mulai dari transportasi, seminar akademik, sampai baby sitter kalau si mahasiswi punya anak kecil yang harus diurus dengan perhatian penuh. Apalagi saat pandemi seperti ini, dokter residen harus melakukan tes PCR setiap ingin berpindah stase. Lagi-lagi pakai biaya pribadi.

Bisa dibilang dokter residen ini merupakan salah satu “kasta” terendah di rumah sakit. Kondisi menuntut mereka untuk selalu siap sedia. Bahkan saat libur, istri saya harus siap memenuhi keharusan diskusi online untuk mengoper data pasien ke dokter residen lainnya. 

Tidak jarang, dokter residen juga menjadi bulan-bulanan senior dan konsulen lainnya jika membuat kesalahan. Hal paling nyeleneh yang saya lihat adalah plang yang bertuliskan “Bukan Tempat Parkir PPDS” di tempat parkir rumah sakit. Nasib ya nasib, sampai parkir pun didiskriminasi.

Suami yang cuma bisa curhat

Sebagai suami, beberapa kali saya “ngedumel” dan curhat sama pembaca melihat nasib istri sebagai seorang dokter residen. Namun, karena profesi ini memang disukai istri, dia terlihat semangat meskipun lelah. 

Kalau sudah begitu, saya jadi tidak enak hati. Alih-alih terus mengkritisi nasib PPDS, saya coba hibur dan janjikan mengajak jalan-jalan jika sudah menjadi dokter spesialis kelak. 

Semoga kelak nasib para dokter residen mendapat perhatian lebih, baik dari pihak kampus, rumah sakit, dan juga pemerintah. Agar nanti semakin banyak spesialis yang dapat membantu masyarakat luas. Amiin.

Penulis: Salman Alfarisi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 4 Fakta Menarik tentang Surabaya yang Jarang Dibicarakan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version