Pembangunan tol sedang hangat-hangatnya. Mulai dari Cilegon sampai Probolinggo. Jawa berkalung aspal dalam proyek Tol Trans Jawa, bukan hanya berkalung besi kata Jangka Jayabaya. Ke depannya, pemerintah akan memperpanjang jalan tol lewat Malang sampai sampai Banyuwangi. Entah lewat mana. Kalau lewat Baluran merusak hutan, lewat Gumitir treknya kurang cocok.
Masyarakat sendiri sedang hangat memperbincangkan tol Malang-Pandaan. Tol ini dianggap masuk Tol Trans Jawa karena tersambung dengan Surabaya. Malang-Pandaan akan menjadi andalan masyarakat luar kota yang ingin berlibur ke Malang Raya. Dari empat pintu tol, Singosari yang paling ramai karena strategis. Tol ini menjadi yang paling dekat ke Batu, nggak terlalu jauh dengan Kota Malang kota, dan berada di kawasan industri.
Rencananya, mereka akan memperpanjang Malang-Pandaan sampai ke selatan. Rutenya, dari Kota Malang, bakal tembus ke Kepanjen. Nantinya, tol ini bakal tersambung dengan Blitar, Tulungagung, dan ketemu lagi dengan tol di Kediri.
Tapi maaf, menurut saya setelah sering lewat tol, Malang nggak perlu ada perpanjangan tol. Proyeknya cukup sampai daerah kota saja.
Baca halaman selanjutnya.
Dampak jalan tol yang bakal dirasakan warga Malang….
Daftar Isi
Perekonomian warga Malang menjadi lesu
Memang, adanya tol akan meningkatkan laju perekonomian. Tapi, untuk siapa? Yang jelas untuk pelaku ekonomi besar seperti industri atau pariwisata (pemilik wahana, agen travel, hotel, dll). UMKM di pinggir jalan akan lesu. Ini berdasarkan pengalaman saya sendiri saat traveling. Warung-warung besar yang pernah berjaya mulai berkawan dengan sepi seiring adanya tol. Bahkan ada yang gulung tikar.
“Kan bisa sewa kios di rest area.”
Dikira sewa kios di rest area itu murah. Untuk keperluan diri saja belum cukup, apalagi sewa kios di tol. Belum lagi harus bersaing dengan usaha yang lebih besar. Kebanyakan pemilik usaha tersebut adalah rumahan, bukan kontrak. Mereka kehilangan konsumen loyalnya yang lebih memilih lewat tol, akhirnya berjuang sendiri agar hidup.
Jadi, bisa saya bayangkan, banyak warung, bengkel, atau usaha UMKM lainnya di sepanjang Pakisaji sampai Sumberpucung akan sepi dan banyak yang tutup. Kelak, banyak pembeli memilih lewat tol.
Masyarakat Malang, termasuk di kawasan Sumberpucung hingga Pakisaji masih gemar naik bus atau KA, khususnya Penataran. Tiketnya hanya Rp12 sampai Rp15 ribu, masyarakat sudah bisa duduk manis menikmati perjalanan KA untuk ke Blitar, Kediri, atau Surabaya.
Dengan adanya tol, masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi ketimbang moda transportasi umum. Kehadiran jalan bebas hambatan ini bakal memangkas waktu perjalanan. Walhasil, okupansi kendaraan umum bakal terancam. Ada ketakutan bagi saya kalau keduanya bakal mati, tinggal cerita seperti halnya matinya jalur KA di era Orde Baru, saat kendaraan pribadi jadi primadona dan mengakar hingga kini.
Lintas selatan masih baik-baik saja
Salah satu pertimbangan dibangunnya jalan tol adalah jalan raya yang ada saat ini dianggap nggak mampu. Contohnya, mulai dari macet atau sampai waktu tempuh yang lama. Pembangunannya dilakukan agar mempercepat mobilitas masyarakat atau ekonomi agar merata. Begitu, sih, katanya.
Sepengamatan saya, dari Pakisaji sampai Sumberpucung itu oke-oke saja. Masih minim kendala seperti kemacetan (PG Kebonagung, Kepanjen, dan Sumberpucung kota masih bisa ditoleransi) atau waktu yang terbuang. Pemandangan di jalan raya justru bisa dinikmati ketimbang kalo di tol: monoton dan sumpek.
Kalau memang perpanjangan tol Malang ke selatan tetap harus dilakukan, sebaiknya tarifnya dibuat mahal saja. Kenapa? Agar moda transportasi lain enggak mati. Selain itu, perekonomian warga yang bergantung pada jalan raya pun tetap hidup karena mereka perlu untung untuk operasional usaha dan tentunya nafkah.
Penulis: Mohammad Faiz Attoriq
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Surabaya dan Semarang Memang Superior, Apalagi di Depan Malang yang Kayak Remahan Peyek