Setelah lima tahun berlalu, akhirnya kemarin saya kembali ziarah ke Makam Sunan Drajat untuk keempat kalinya. Dulu, saya cuma ziarah ke sini kalau diajak bapak ikut rombongan ziarah wali lima dari tempat kerjanya. Tapi kali ini, saya mampir ke sana karena kebetulan. Kebetulan ada urusan pekerjaan yang mengharuskan saya ke Kabupaten Lamongan.
Sayangnya, pengalaman ziarah kemarin nggak seperti lima tahun lalu. Ada banyak hal yang amat sangat berubah di Makam Sunan Drajat. Entah perubahan ini sudah lama atau baru, saya nggak tahu. Yang pasti, wisata religi di Lamongan ini sudah beda. Baik dibandingkan dengan yang dulu, maupun dengan makam sunan lainnya.
Biasanya, saya ke Makam Sunan Ampel di Surabaya. Sering, bahkan rutin dengan teman-teman kampung. Makanya ketika saya ziarah ke Makam Sunan Drajat, saya betul-betul kaget. Bagaimana mungkin ini wisata religi, sementara banyak sekali hal yang rasa-rasanya menggerus sakralitasnya.
Daftar Isi
Retribusi parkir Makam Sunan Drajat teramat mahal
Saat tiba di area parkir, suasananya masih terlihat sama seperti 5 tahun lalu. Luas dan banyak kios oleh-oleh yang berjejer. Jarak dari parkir ke Makam Sunan Drajat juga lumayan dekat, jauh berbeda dengan di Makam Sunan Ampel yang mengharuskan peziarah berjalan lebih jauh. Tapi, yang aneh adalah, retribusi parkirnya amat mahal.
Kemarin, saya sempat bersantai di area parkir dan ngobrol dengan seorang sopir minibus rombongan. Dia bertanya, apa memang sudah dari dulu biaya parkir di Makam Sunan Drajat ini mahal. Tentu saja saya tercenung bingung, lha wong jarang ke wisata religi ini. Begitu saya tanya berapa biaya parkirnya, saya makin kaget. Untuk minibus, ternyata biayanya 50 ribu!
Padahal, sopir minibus itu menambahkan, di papan informasi tertera tarifnya hanya 1.500 untuk minibus. Dan kalaupun memang itu juga dihitung biaya masuk makam, katanya, harusnya nggak semahal itu. Sebab, minibus yang ia kemudikan jumlah rombongannya 20 termasuk sopir. Artinya, jika dikalikan hasilnya 30 ribu. Ini sangat berbeda dengan tarif di makam sunan lainnya, tandas beliau.
Saya kurang tahu pasti kenapa sampai semahal itu. Apakah memang ada pemda yang berubah, atau memang pungli. Yang jelas, saya dan pak sopir minibus itu akhirnya cuma bisa geleng-geleng sambil melamun.
Semua fasilitas kena pungut, termasuk tempat ibadah
Sesudah ngobrol sama pak sopir minibus itu, saya pamit mau masuk ke area Makam Sunan Drajat. Sebelum ke makam, saya sempat ke toilet untuk buang air kecil. Lagi-lagi keanehan terjadi di sini. Untuk kencing, kena pungut 2000 ribu. Sementara 5000 ribu untuk buang air besar. Padahal, kondisi toiletnya kotor dan bau pesing, kayak jarang banget dibersihkan
Tapi ya okelah, buat saya pribadi itu nggak terlalu masalah. Namun, setelah dari toilet mau ambil wudu, kok ya dikenai pungut lagi 2000 ribu. Tentu saja ini, dan bikin saya agak berat untuk bisa ikhlas. Ya gimana, wisata religi di mana-mana, seperti Makam Sunan Ampel, kalau mau wudu ya udah bebas tarif. Karena sudah bayar karcis masuk makam di awal.
Tak hanya itu, tempat ibadah di sekitar makam pun dikenakan pungut 2000 ribu. Tempat ibadah ini bukan musala atau masjid. Melainkan semacam tempat kosong, yang dimanfaatkan untuk beribadah. Sebenarnya, musala atau masjid ada, tetapi lumayan jauh jaraknya dengan makam. Yang paling dekat ya tempat ibadah itu tadi
Ya katakanlah tempat ibadah itu memang berbayar, tetap saja saya merasa aneh. Nggak biasanya wisata religi, apalagi makam waliyullah, tapi (seolah) dibuat ladang bisnis. Jujur saja kalau buat saya, ini kurang etis dan mencemari kesakralan makam wali.
Banyak pengemis yang masih muda dan memaksa
Setelah salat di tempat ibadah berbayar itu, saya kira keanehan sudah selesai. Tapi ternyata belum. Di sekitar Makam Sunan Drajat ada banyak sekali pengemis. Para pengemis di sana kelihatan sehat jasmani dan masih cukup muda. Sudah begitu, caranya nakal pula: menghampiri peziarah sambil memaksa agar ngasih uang.
Saya kemarin juga sampai takut untuk nggak ngasih uang. Sebab, para peziarah di sana itu dimarah-marahi pengemis, karena ngasih uang dengan nominal kecil. Akhirnya, dengan terpaksa saya kasihlah uang yang seharusnya bisa buat beli kopi. Meski nilainya kecil, tetap saja saya kurang ikhlas. Lha wong caranya kayak orang nagih hutang, kok.
Semoga Pemkab Lamongan memperhatikan Makam Sunan Drajat
Terus terang saja, saya merasa eman dengan Makam Sunan Drajat. Wisata religi ini lekat dengan nilai sejarah dan budaya keagamaan Islam yang tinggi. Tidak seharusnya dipenuhi dengan hal-hal yang justru menggerus sakralitasnya.
Semoga saja, Pemkab Lamongan lekas memperhatikam kondisi Makam Sunan Drajat. Kalau memang perihal retribusi parkir benar demikian mahalnya, setidaknya fasilitasnya dikelola dengan baik. Saya pribadi nggak masalah kalau toiletnya berbayar. Asalkan satu: nggak kotor dan bau pesing.
Dan, satu hal yang juga amat sangat penting, adalah keberadaan pengemisnya. Saya berharap para pengemis di Makam Sunan Drajat mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Biar wisata religi ini tetap sakral, aman, dan nyaman. Sebab kalau terus dibiarkan, saya khawatir kalau wisata religi ini sepi karena peziarah malas ketemu mereka.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Wejangan Sunan Drajat untuk Alasan Kenapa Ayam Perlu Kandang