Beberapa waktu lalu ramai mengenai open PO majalah Bobo untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-50. Majalah tersebut rencananya akan dicetak secara ekslusif dan terbatas sesuai jumlah pre-order. Makanya banyak teman-teman saya yang kegirangan karena menurut mereka, membeli majalah Bobo edisi kali ini sama halnya dengan bernostalgia akan masa-masa kecil mereka.
Jujur saja saya sama sekali nggak bisa ikut merayakan atau masuk dalam euforia penyambutan majalah Bobo edisi terbatas tersebut. Alasannya apa? Bukan karena saya sok keren atau mau jadi party pooper, tapi karena saya memang can’t relate.
Jadi begini, sebagian besar teman-teman saya mengenal majalah Bobo sejak kecil. Mereka mengaku dapat mengakses majalah tersebut karena orang tua mereka berlangganan setiap minggu, bahkan sampai edisi terakhirnya. Mereka juga mengaku membangun kebiasaan suka membaca setelah keseringan membaca Bobo. Jadi, mereka merasa memiliki semacam ikatan emosional dengan Bobo dan amat sangat antusias dalam menyambut edisi ultah ke-50 tersebut.
Sedangkan saya, mengenal tentang Bobo saja belum pernah dalam bentuk fisiknya, melainkan hanya iklannya saja di televisi yang sering berseliweran. Nggak pernah ada majalah Bobo di rumah, di sekolah, atau di perpustakaan keliling yang hanya datang tiap satu semester sekali ke sekolah-sekolah. Jadi, gimana mau punya ikatan emosional coba?
Daftar Isi
Akses literasi terbatas
Rame-rame tentang majalah Bobo ini bikin saya sadar betapa nggak meratanya akses literasi di negara Indonesia ini. Majalah Bobo hanyalah contoh kecil betapa banyak anak Indonesia yang masa kecilnya sama sekali nggak pernah kenal dunia buku (misalnya buku anak, majalah anak, dll.) kayak saya karena keterbatasan aksesnya. Jadi, gimana mau mengharapkan generasi yang gemar membaca kalau akses untuk buku-buku bacaannya saja nggak pernah ada?
Lalu, sebuah pertanyaan muncul di beranda akun Twitter saya: siapakah orang yang paling berjasa membuat kalian menyukai buku-buku? Sebagian besar teman-teman saya menjawab orang tua, kakak, atau bahkan saudara-saudara dekat. Intinya, kebiasaan dan kegemaran membaca buku yang mereka miliki timbul karena mereka terbiasa melihat orang-orang di sekitarnya membaca buku atau terbiasa dibacakan buku sejak kecil. Dan keinginan mereka untuk membaca buku muncul, orang-orang terdekat tersebut juga bersedia menyediakan buku-buku yang sesuai dengan usia mereka masing-masing.
Gimana dengan saya? Jujur saja, sempat timbul perasaan iri dalam diri ini mengetahui betapa terbukanya akses buku-buku pada teman-teman saya saat mereka kecil. Saya membangun kegemaran membaca ini dengan sedikit menyedihkan, kalau nggak mau dibilang mengenaskan, sih.
Baca halaman selanjutnya
SD saya nggak punya perpustakaan…
SD saya nggak punya perpustakaan
Sejak kecil, saya selalu sadar bahwa saya suka membaca. Saya membaca apa pun dan di mana pun. Koran, buku-buku paket, LKS, bahkan kertas sampah sisa bungkusan cabai-tomat punya ibu dari pasar. Saya memotong kertas-kertas lecek tersebut, mengumpulkannya, lalu menempelnya dalam sebuah buku seperti kliping yang akan saya baca ulang sewaktu-waktu.
Sekolah Dasar tempat saya menimba ilmu bahkan sama sekali nggak memiliki perpustakaan. Jadi, besar harapan saya bertemu berbagai buku di masa SMP. Sayangnya, ruang perpustakaan di SMP berikut koleksi buku-bukunya sama sekali nggak memuaskan—bahkan bisa dibilang menyedihkan.
Area perpustakaan yang tersembunyi, sempit, berdebu, dan koleksi bukunya sedikit. Bahkan sebagian besar hanya berupa buku paket yang memang harus dipinjam oleh tiap anak. Saya hampir sudah menamatkan sebagian besar koleksi novel di perpustakaan SMP, bahkan membacanya lebih dua kali.
Masuk SMA malah lebih parah lagi. Perpustakaannya sih bagus banget, bersih, banyak koleksi bukunya, tapi disimpan di dalam rak kaca dan dikunci. Iya, DIKUNCI, Gaes! Kuncinya dipegang petugas perpusnya yang galak. Jangankan sempat pinjam, masuk ke ruang perpustakaannya saja saya sudah keder duluan.
Orang tua di desa saya menggunakan uang untuk membeli makanan, bukan buku apalagi majalah Bobo
Jadi, berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut—yang saya yakini juga dirasakan oleh teman-teman saya—membuat mereka sudah malas duluan memegang buku. Nggak pernah ada orang tua yang berlangganan majalah Bobo atau membacakan dongeng sebelum tidur.
Para orang tua sudah menggunakan seluruh uang yang mereka miliki untuk memastikan ada nasi dan lauk untuk dimakan esok hari. Di malam hari, mereka sudah kelelahan dan jatuh tertidur setelah seharian membanting tulang di bawah terik matahari, jadi tak pernah ada waktu buat mendongeng.
Di sekolah, perpustakaan nggak pernah benar-benar layak. Kalaupun ada, menurut saya sudah sangat terlambat. Anak-anak harusnya membangun kegemaran membacanya sejak kecil. Akses buku-buku harusnya ada di desa masing-masing. Belum lagi banyak orang-orang dewasa konservatif yang masih menganggap bahwa buku-buku bukanlah investasi, jadi tak perlulah dikoleksi atau dimiliki.
Lebih sialnya lagi, teman-teman saya yang sedang berusaha mencoba menolong anak-anak ini dengan menggelar lapak baca buku gratis di area-area publik malah sering kali mendapat tudingan: memangnya hal ini bakalan berguna buat orang lain? Hadeuh…
Penulis: Siti Halwah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bobo, Majalah Literasi buat Anak yang Pertama Saya Kenal.