Setelah naik daun karena merekomendasikan mahasiswanya membayar UKT dengan pinjol, ITB lagi-lagi mendapat sorotan karena mewajibkan mahasiswa penerima beasiswa UKT (keringanan UKT) untuk “mengabdi” di kampus. Bentuk pengabdian ini berupa kerja paruh waktu sebagai asisten mata kuliah, petugas administrasi, membantu bimbingan akademik, dan sejenisnya.
Intinya, mereka ingin mahasiswa yang mendapat keringanan UKT dari ITB untuk berkontribusi pada kampus. Alasannya, sih, biar mahasiswa bisa ikut andil pada pengembangan kampus dan mendapat pengalaman kerja yang nyata dan relevan. Tapi, saya ragu. Mosok ini demi kebaikan mahasiswa? Ah, yang bener?
Daftar Isi
Jebakan untuk mencari pekerja gratisan
Saya bukan suudzon, tapi mengetahui kebijakan ini membuat saya merasa kalau ITB sedang ingin menjadikan mahasiswanya “pekerja” gratisan. Memang benar kalau mereka adalah penerima beasiswa, tapi menjadikan beasiswa sebagai alasan mahasiswa agar wajib bekerja itu sungguh licik.
Lebih buruk lagi, beasiswa yang dimaksud di sini bentuknya adalah pengurangan biaya UKT, alias mahasiswa nggak dapat uang atau benefit lain. Lagi pula, keringanan UKT kayak gini kan sifatnya bantuan pendidikan. Namanya bantuan itu, ya, harus ikhlas, jangan minta timbal balik. Memangnya situ caleg?
Padahal, menjadi mahasiswa ITB itu beban akademiknya nggak main-main. Itulah sebabnya banyak yang bilang kuliah di sini lebih mudah masuk daripada lulusnya. Lalu coba bayangkan, dengan beban akademik seberat itu, mahasiswa masih harus diwajibkan bekerja. Apa nggak pontang-panting hidup mereka?
Bisa jadi tuntutan bekerja paruh waktu—tanpa bayaran—ini malah membuat mereka kehilangan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk belajar, istirahat, atau mencari kegiatan yang sesuai dengan passion mereka.
Kontribusi mahasiswa ITB seharusnya bukan tenaga, tapi pemikiran
Kalau pun ITB berharap agar mahasiswa penerima beasiswa ini bisa berkontribusi pada kampus, harusnya pihak kampus mendorong kontribusi mahasiswa dalam bentuk intelektual. Misalnya, menciptakan karya ilmiah, penelitian yang inovatif, atau berpartisipasi dalam berbagai upaya pengembangan keilmuan.
Menurut saya, hal macam itu lebih masuk akal ketimbang meminta mahasiswa untuk bekerja paruh waktu. Sebab, kekuatan terbesar mahasiswa itu letaknya di pemikiran. Partisipasi mahasiswa di hal-hal yang saya sebutkan tadi jelas lebih progresif, alih-alih menjadi “tenaga kerja” gratisan di kampus sendiri.
Menekan mahasiswa yang sudah tertekan
Nggak bisa dimungkiri, munculnya kebijakan macam ini dari ITB semakin membuktikan kalau kampus ternama ini tingkat problematiknya di luar nalar. Mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT seharusnya adalah mereka yang tersengal-sengal perkara finansial. Dari sini saja masalah utamanya sudah ketemu, yakni UKT ITB bisa jadi kelewat mahal.
Logikanya, solusi dari masalah ini adalah kampus harus memikirkan cara agar biaya pendidikan bisa lebih murah, sehingga nggak terus-terusan memberatkan mahasiswa. Lha, ini malah aneh, sudahlah mahasiswanya kesulitan ekonomi, mau dipekerjakan pula.
Coba pikirkan nasib mahasiswa yang juga kerja part time demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya yakin, gaji mereka sebenarnya nggak cukup-cukup amat, tapi mereka memilih jalan terjal ini demi nggak menyusahkan orang tua. Gitu, lho, tega-teganya kampus masih mau menambah beban hidup mereka.
Mahasiswa seakan-akan ditekan dari berbagai arah. Di satu sisi, mereka harus berusaha mempertahankan prestasi akademik dan menyelesaikan pendidikan. Sementara di sisi yang lain, mereka wajib memenuhi tuntutan kampus dengan dalih kontribusi. Kasihan sekali.
Menutup tulisan ini, saya hanya bisa berdoa agar mereka—pimpinan ITB—bisa kembali menggunakan hati nuraninya dan muhasabah diri. Sebab, kalau kampus sekelas ITB berani melakukan praktik licik macam ini, bukan tidak mungkin kampus lain akan melakukan hal serupa. Dan, kalau itu terjadi, maka ITB akan menjadi yang paling berdosa.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Hal Penting yang Perlu Kamu Ketahui Soal Kuliah di ITB