Bagi sebagian kampus, KKN jadi kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang wajib buat mahasiswa yang bahkan jadi syarat lulus dan nilainya cukup untuk mendongkrak IPK. Saking pentingnya, pihak kampus sudah mewanti-wanti sejak awal agar mahasiswa mengabdi dengan sepenuh hati dan memberikan dampak positif bagi desa dengan melakukan proker-proker yang bermanfaat dan sifatnya berkelanjutan.
Mahasiswa yang merasa diri insan berpendidikan dan berpredikat sebagai agen perubahan, pasti punya obsesi ingin memperbaiki keadaan masyarakat desa dengan memberikan inovasi dengan ilmu sundul langit mereka. Bikin plang, sosialisasi hal-hal yang sudah umum, atau ikut ngajar TPA sudah nggak level lagi. Ada beberapa mahasiswa yang memanfaatkan kegiatan sarat manfaat ini untuk ajang unjuk gigi biar kelihatan keren, selain untuk ajang mencari jodoh. Mahasiswa-mahasiswa ini merasa akan jadi pahlawan yang nantinya bisa memajukan peradaban.
Pada kenyataannya, beberapa proker KKN terlihat keren dan terukir indah hanya di atas kertas, tetapi nggak bisa direalisasikan. Bisa jadi, masyarakat desa nggak butuh-butuh amat proker-proker yang terlalu utopis. Pelaksanaannya juga nggak segampang menguras bak mandi kemudian mengisinya lagi itu.
Contohnya, mentang-mentang menguasai teknologi dan permesinan terus bikin turbin pembangkit listrik. Kalau desanya memang membutuhkan nggak masalah. Tapi kalau desa tersebut sudah dari lama dialiri listrik negara, kan ini jadi sia-sia. Yang ada cuma ngehabisin uang kampus sama sponsor doang. Yang begini ini harusnya cuma ada di ranah penelitan saja, bukan untuk diterapkan. Apalagi di desa yang nggak betul-betul membutuhkan.
Atau bikin proker keren yang sebetulnya bermanfaat dan lagi ngetren di kota, misal bikin bank sampah. Tapi masalahnya nggak semua mahasiswa paham sosiologis masyarakat desanya. Mahasiswa ekonomi, bisnis, dan sejenisnya bersatu menyusun segala penunjang bank sampah tersebut dari model pembukuan bahkan sampai aplikasinya. Tapi ternyata ada warga yang mata pencahariannya sebagai pengumpul barang bekas alias tukang rongsok. Yang ada akan mematikan rejeki tukang rongsok itu. Kan kasihan toh. Bukannya solutif malah ngasih masalah baru.
Daftar Isi
Mahasiswa KKN harusnya bikin proker yang sesuai kebutuhan desa
Ada lagi contoh proker KKN yang sebetulnya keren menurut mahasiswa tapi kalau dipikir-pikir patut dipertanyakan apa kegunaannya untuk masyarakat desa yaitu pertunjukan peraga robot-robotan buat anak SD. Maksudnya, buat apa ada pertunjukan robot-robotan untuk anak SD di desa tanpa mengajarkan proses pembuatannya. Kecuali itu adalah SMP atau SMA yang punya ekstrakurikuler robotika atau sekolahnya punya sarana yang memadai. Apa dong kalau bukan untuk showoff biar dibilang keren?
Harusnya, bikin proker itu kan yang bisa berdampak nyata dengan menyentuh kebutuhan asli masyarakat desa. Meski, hanya sebuah proker sederhana. Bahkan yang seperti itu saja sebetulnya udah bikin citra mahasiswa sebagai pahlawan sudah terpampang dan sudah bisa mendapat nilai KKN yang bagus.
Tapi, apa pun kehebatan mahasiswa dalam menciptakan proker yang ndakik-ndakik itu, masih kalah hebat sama peran pemerintah maupun masyarakat desanya. Serius deh, tanpa bantuan mereka mahasiswa KKN ini cuma jadi mas-mas dan mbak-mbak yang nggak ngerti mau ngapain alias ngangong-ngangong.
Baca halaman selanjutnya
Pahlawan sebenarnya
Pertama, pemerintah dan masyarakat desa adalah yang menyediakan fasilitas utamanya tempat tinggal. Kalau desanya jauh dari daerah asal, nggak mungkin kan selama KKN mahasiswa tinggal di hotel atau ngelaju. Biasanya mahasiswa diinapkan di bangunan milik pemerintah desa atau bisa juga di rumah-rumah warga.
Kemudian, pihak desa juga yang memberikan izin, tempat, dan peralatan selama KKN. Sepengalaman saya, mahasiswa KKN sangat bergantung pada hal tersebut. Pemerintah desalah yang menyediakan tempat dan terutama izin untuk suatu kegiatan. Maka sebaik apa pun proker kalau nggak dapat izin ya percuma juga toh. Otomatis kalau prokernya nggak jalan, nilai KKN-nya jadi jelek, kan.
Begitupun masyarakat desa secara umum. Saya jamin kalau nggak ada mereka maka nggak akan berjalan juga proker-proker yang ndakik-ndakik itu. Bahkan masyarakat desa dengan gagahnya akan menawarkan bantuan kepada mahasiswa, “Kami bisa bantu apa Mas, Mbak?”, “Kalian butuh apa, akan kami bantu”. Wow, seakan ilmu para mahasiswa yang sundul langit itu nggak ada apa-apanya. Niat hati membantu, malah dibantu.
Muhasabah diri
Ini juga berhubungan sama menjaga relasi baik antara mahasiswa dan pihak desa. Mendapatkan pemerintah dan masyarakat desa yang ramah dan mudah diajak kerjasama adalah sebuah privilege yang mahal harganya. Dengan itu mahasiswa bisa mudah buat menjalankan prokernya apalagi yang harus melibatkan banyak warga. Buktinya pernah kan ada kejadian mahasiswa KKN diusir dari suatu desa karena berlaku kurang sopan. Itulah kenapa mahasiswa KKN nggak bisa berjalan sendiri tanpa adanya peran masyarakat desa.
Jadi siapa yang kemudian berhak menyandang predikat pahlawan? Mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan prokernya yang ndakik-ndakik dan “katanya” untuk membangun desa itu? Atau masyarakat desa yang memberikan segala fasilitas kepada mahasiswa dan jadi subjek terpenting dalam KKN?
Sudah pasti masyarakat desa. Siapa lagi memangnya?
Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA KKN Itu Momen Belajar Jadi Warga, Bukan Ajang Sok-sokan Mengubah Sistem Desa