Lupakan Kinerja Terawan, Mari Kita Bahas Gelar Beliau

Mari Sambut dengan Tawa Wacana Menkes Terawan Soal Wisata Kebugaran, Jamu, dan Kerokan

Mari Sambut dengan Tawa Wacana Menkes Terawan Soal Wisata Kebugaran, Jamu, dan Kerokan

Seperti yang dicecarkan oleh Mba Nana di sesi wawancara khusus Mata Najwa kepada Pak Menteri Terawan kursi kosong, kita semua juga sudah tahu bahwa kehadiran Menteri Kesehatan di tengah wabah korona ini seakan alpa. Pak Terawan, yang ditunjuk oleh Presiden jadi garda terdepan dan pengambil keputusan terhadap masalah kesehatan nasional, justru menghilang.

Tapi, ya sudah. Kita lupakan sikap beliau di awal pandemi, komentar-komentar konyol terhadap wabah ini, dan segala tindak-tanduk yang bikin kita semua jengkel. Walau tentu hanya bisa sejenak saja. Toh, beliau juga nggak akan turun sebagai juru selamat. Apalagi, turun dari jabatannya sebelum lima tahun. Eh, gimana?

Oleh karena itu, daripada mempersoalkan kinerja beliau yang hasilnya mengecewakan, lebih baik kita cerita tentang hari ini gelar spesalis beliau.

Letnan Jenderal? Bukan! Doktor? Dokter? Bukan juga! Iya, semua itu gelar yang spesial. Tapi, yang saya maksud adalah gelar spesialisasi bidang kedokterannya, yaitu gelar spesialis radiologi. Gelar di belakang namanya itu, lho: Sp.Rad.

Gelar yang juga menjadi alasan bagi teman-teman saya, bahkan mungkin bagi kebanyakan radiografer di seluruh Indonesia, untuk membangga-banggakan beliau.

Hari di saat Pak Jokowi mengumumkan menteri-menteri di kabinet Indonesia Maju dan muncul nama Letjen Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad. sebagai Menkes, banyak teman-teman saya yang satu jurusan di kampus, mengunggah dengan bangga ucapan selamat dan harapan kepada beliau di medsos.

Sejak kuliah, tentu gelar spesialis radiologi atau sering disebut radiologis, bukanlah gelar yang asing bagi kami. Di kampus atau di tempat praktik lapangan sudah sering kami temui seseorang dengan gelar tersebut. Dan kelak di tempat kerja, kami juga akan bekerja sama dengan dokter bergelar tersebut. Secara struktural, di instalasi radiologi kami dikepalai oleh salah satu dari mereka.

Sehingga terdapat perasaan bangga jika menkes yang menjabat bergelar spesialis radiologi. Ditambah lagi, di Oktober 2019, kami baru saja menerima surat tanda registrasi (STR) sebagai radiografer, yang artinya kami sudah bisa bekerja di rumah sakit dan satu instalasi dengan radiologis.

Jadi, dear sobat radiografer, kecewa yang sewajarnya saja, ya, kepada beliau. Toh kalian pernah membanggakannya dulu. Beliau (mungkin) nggak mengecewakan kok kalau nggak ada pandemi.

Dan untuk Pak Terawan, njenengan begitu dibanggakan oleh teman-teman saya loh, walau hanya saat awal-awal. Ayo tanggung jawab, buktikan kepada mereka, rekan sejawat, dan seluruh tenaga kesehatan bahwa njenengan memang layak.

Oh iya, saya lupa. Saya kan nggak berniat mempersoalkan kinerja beliau. Wqwqwq sori. Mari kembali ke gelar spesialis beliau.

Jadi, radiologis alias dokter radiologi itu dokter umum yang mengambil spesialisasi di bidang radiologi. Tugas utamanya adalah membacakan atau mengekspertisi hasil pemeriksaan radiografi atau rontgen. Dari foto rontgen, radiologis lah yang menentukan bagaimana kondisi tubuh pasien, apakah normal atau terjadi suatu masalah.

Misal, pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan kepalanya sakit akibat terbentur. Biasanya, dokter pemeriksa akan mengarahkan pasien untuk difoto rontgen di instalasi radiologi. Maka, pasien pun dirontgen oleh kami, radiografer. Lalu kami konsultasikan foto rontgen tersebut dan akan dianalisis oleh radiologis. Jika terjadi retakan pada tengkorak pasien akan ditulis “fraktur”, dan ditunjukkan di bagian mana secara detail. Jika normal, akan ditulis “tak tampak fraktur”. Setelah diketahui hasil pemeriksaan dari radiologi, maka dokter pemeriksa akan menentukan penanganan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Nampaknya memang sederhana pekerjaan mereka. Tapi, tanggung jawab mereka begitu besar pada hasil analisisnya. Dan pada pemeriksaan radiologi tertentu, radiologis juga terlibat langsung dalam praktik pemeriksaan.

Misalnya, menentukan dosis media kontras (media pembantu untuk menampakkan suatu organ dengan jelas) yang diperlukan dan melakukan proses pemasukannya, menentukan jenis foto rontgen, CT Scan, atau MRI yang paling efektif, dan lain sebagainya. Berat loh, tugas mereka.

Selain itu, radiologis juga bertugas melakukan pemeriksaan USG. Sebab, pemeriksaan ini bukan hanya untuk melihat janin yang biasanya dilakukan oleh dokter kandungan, melainkan bisa juga untuk melihat organ-organ lain di bagian perut.

Semua itu hanyalah tugas radiologis di bidang radiodiagnostik atau pemanfaatan radiasi sinar X untuk mendiagnosa klinis di dalam tubuh. Belum lagi tugasnya pada pemeriksaan di bidang kedokteran nuklir. Juga di radioterapi, yang memanfaatkan radiasi sebagai terapi pada pasien penderita kanker. Sayangnya, kedua bidang itu bukan keahlian saya.

Menurut saya, radiologis memiliki ketelitian dan kewaspadaan yang luar biasa. Mereka bisa menganalisis dan menemukan kelainan di dalam tubuh melalui sebuah foto rontgen, yang biasanya bagi kami, radiografer, tidak bisa menemukannya.

Dulu kami juga menerima mata kuliah Anatomi Radiologi serta Kritisi dan Evaluasi Radiograf, yang mengharuskan radiografer memiliki kemampuan membaca anatomi dan patologi tubuh manusia dari foto rontgen seperti mereka. Oleh karena itu, terlepas dari “memang sudah tugasnya”, kemampuan mereka tetap saja menakjubkan, setidaknya bagi saya.

Sebab, jika salah analisis, bisa membahayakan dan merugikan pasien. Yang harusnya mendapatkan penanganan ini, malah diberi penanganan itu oleh dokter pemeriksa berdasarkan hasil ekspertisi radiologis. Maka ketelitian dan kewaspadaan radiologis sungguh menunjang keselamatan pasien.

Tapi, ketelitian dan kewaspadaan itu, tidak bisa kita temukan atau lihat di Menteri Terawan yang juga bergelar spesialis radiologi. Apa mungkin ia melepaskan pijakannya sebagai radiologis saat menjabat menteri dan hanya mengenakan gelar Letjennya?

Loh, saya kan nggak niat mempermasalahkan beliau, ya? Hehe. Namun, biarin lah. Nyatanya memang sulit buat nggak ikutan ngomentarin beliau.

Jika saja, beliau memanfaatkan ketelitian dan kewaspadaan sebagai radiologis dalam menangani pandemi di awal persebarannya dan bukan meremehkannya, barangkali beliau nggak bakal terkesan malang seperti sekarang.

Sebab, dengan ketelitian beliau harusnya bisa menganalisis bagaimana persebaran virus tersebut di negara lain, sehingga beliau bisa menentukan langkah pencegahan dini di negara ini. Dan dengan kewaspadaan, lelucon beliau yang menganggap kondisi masyarakat Indonesia itu kebal, tak akan pernah muncul, bahkan sejak dalam pikirannya.

BACA JUGA Tahlilan di Rumah Tetangga Nasrani Membuat Saya Paham Arti Toleransi dan tulisan Fadlir Rahman lainnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version