Ada dua tipe orang saat saya bercerita tentang kegiatan waktu pulang kampung ke Lumajang. Tipe yang pertama, menyimak cerita saya dengan saksama dan antusias. Tipe kedua, tidak penasaran dengan cerita saya, karena lebih kepo tentang, di mana itu Lumajang?
Kalau mau dibandingkan tipe orang yang pertama dengan kedua, sebenarnya lebih banyak tipe yang kedua. Saya tidak ngadi-ngadi. Setiap kali saya cerita tentang Lumajang ke teman-teman, masih banyak yang tidak tahu di mana kabupaten ini berada. Bahkan, ada yang mengira kalau Lumajang berada di luar Jawa.
Jika sudah mendapat pertanyaan tentang lokasi Lumajang, saya agak bingung menjelaskannya. Jangan dikira, hanya bilang Gunung Semeru, sudah paham lokasi Lumajang. Tidak. Teman-teman saya banyak yang memahami kalau Gunung Semeru lokasinya di Malang.
Biar lebih mudah, kadang saya menjawab, tentang kasus meninggalnya Salim Kancil. Setidaknya, beberapa teman saya ada yang mengetahui tentang kasus meninggalnya Salim Kancil. Nah, yang repot kalau ada teman saya yang tidak mengetahuinya. Akhirnya saya coba menjawab dengan lebih rinci, “Lumajang itu lokasinya dekat dengan Jember.” Dengan jawaban itu, teman saya mulai bisa membayangkan letak Lumajang.
Kalau ditanya, apakah saya kesal menjawab pertanyaan teman-teman tentang lokasi Lumajang? Sebagai orang Madura yang berdarah Lumajang, di satu sisi merasa kesal karena kota ini punya banyak wisata, tapi kok bisa tidak cukup dikenal masyarakat luar. Namun, di sisi lain, saya merasa wajar-wajar saja kalau kabupaten ini tidak cukup dikenal, meski punya banyak wisata yang menawan.
Daftar Isi
Tidak ada kampus mentereng di Lumajang
Kenapa merasa wajar? Begini. Kalau mau dibandingkan dengan Jember dan Malang, sebenarnya wisata Lumajang bisa diadu. Namun, yang membuat “tenggelam” pamornya dibandingkan Jember dan Malang, disebabkan oleh kuantitas dan kualitas perguruan tingginya.
Di Lumajang, tidak ada perguruan tinggi yang mencolok. Wajar saja kalau masyarakat luar tidak mau menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi Lumajang. Jangankan warga luar, orang Lumajang sendiri merasa enggan untuk kuliah di sana. Banyak keluarga saya di Lumajang yang kuliah ke Malang atau Jember.
Apa yang terjadi bukan keanehan. Malang dan Jember, punya banyak perguruan tinggi yang berkualitas. Yang akhirnya, membuat masyarakat luar berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi Malang atau Jember.
Lantas, apa korelasi antara perguruan tinggi dengan kesohoran sebuah wilayah? Sebenarnya, sebuah wilayah sama saja, yang membuatnya berbeda adalah penyebaran informasinya.
Jika masyarakat luar banyak menyekolahkan anaknya ke Malang dan Jember. Kemudian, mereka mengeksplor wisatanya, lalu bercerita ke teman-temannya tentang keindahannya. Maka, di sana proses kesohoran sebuah wilayah dimulai. Sedangkan Lumajang, sulit tersohor karena minim masyarakat luar yang kuliah di sana. Yang mengakibatkan, terbatasnya penyebaran informasi ke masyarakat luar tentang kabupaten ini.
Jangan mengira kuantitas dan kualitas perguruan tinggi hanya sekadar meningkatkan SDM, Lebih dari itu, kehadiran perguruan tinggi bisa menyuntik kepopuleran sebuah wilayah. Ini juga terjadi di Madura. Teman-teman kampus saya lebih mengenal Bangkalan dibandingkan Sumenep. Alasannya sederhana. Teman-teman kampus saya banyak temannya yang kuliah di UTM, sedangkan orang luar minim yang kuliah ke Sumenep. Makanya, teman-teman kampus saya banyak mendapatkan cerita tentang Bangkalan dibandingkan Sumenep.
Promosi yang tidak kreatif
Di sisi lain, yang membuat Lumajang tidak cukup dikenal juga disebabkan oleh kurangnya kreativitas promosi wisatanya. Selama yang saya ketahui, kabupaten ini hanya mempromosikan wisatanya sebatas melalui Instagram. Bagi saya, promosi wisata melalui Instagram sudah klise. Kalau dulu, masyarakat memang senang melihat rekomendasi wisata melalui Instagram. Kalau sekarang, masyarakat lebih senang melihat konten edukasi dan motivasi.
Ditambah lagi, pemerintah kurang menggemborkan event. Dibandingkan Banyuwangi, jumlah event Lumajang kalah jauh. Di tahun 2024 saja, ada 79 event di Banyuwangi. Sedangkan di Lumajang, hanya 23 event.
Itu pun event-nya kurang promosi. Jangankan masyarakat luar, orang Lumajang sendiri tidak mengetahui jika ada event. Karena saya pernah tanya ke keluarga, tentang event di Lumajang. Jawaban mereka tentu saja bisa ditebak: nggak tahu.
Padahal, keberadaan event begitu potensial untuk menarik minat wisatawan. Karena salah satu alasan wisatawan mendatangi sebuah kabupaten adalah ingin melihat tontonan event yang jarang dilihat di kabupatennya. Kalau sebuah kabupaten minim event dan kurang promosinya, apakah bisa menarik wisatawan untuk datang? Hahaha, jangan berharap.
Tak punya identitas yang kuat
Kondisi semakin dilematis ketika Lumajang tak memiliki identitas kuat tentang kedaerahannya. Kalau Banyuwangi dikenal dengan identitas osingnya, Probolinggo dengan identitas Bromonya, Malang dengan kota dinginnya (meski sudah tidak dingin).
Jujur saja, saya tidak tahu identitas apa yang melekat pada Lumajang. Mau menyebutkan Semeru, teman-teman saya lebih mengenal Semeru berada di Malang. Mau mengatakan kota pisang agung, masyarakat tak banyak mengetahuinya.
Padahal, identitas kedaerahan penting sebagai kesadaran kolektif. Misalnya saja di tongkrongan, kalau saya mengatakan, “Mau yang dingin-dingin.” Seketika saja, teman-teman saya banyak yang mengatakan, “Liburan ke Malang.”
Dengan kondisi yang ada, ini menjadi PR besar bagi pemerintah Lumajang. Bagaimana pemerintah harus memutar otak untuk memajukan perguruan tinggi, meningkatkan kreativitas promosi wisatanya, dan memperkuat identitas kedaerahan. Sebuah usaha yang tidak mudah. Meski sulit, pemerintah jangan menyerah. Jangan sampai Lumajang hanya kaya wisata, tapi sedikit yang mengenalnya.
Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya