LPPL di Kota Pekalongan: Sudah Membosankan, Isinya Pencitraan Pemkot doang

LPPL di Kota Pekalongan: Sudah Membosankan, Isinya Pencitraan Pemkot doang

LPPL di Kota Pekalongan: Sudah Membosankan, Isinya Pencitraan Pemkot doang (Pixabay.com)

Suatu sore saya nggak sengaja menonton salah satu program dari saluran televisi dari Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) di Kota Pekalongan. Saya perlu menggarisbawahi, benar-benar nggak ada niatan buat menyaksikan program itu. Hanya saja, kebetulan pas saya pulang orang rumah nyetelnya itu.

Entah sudah berapa purnama saya tidak menonton saluran televisi dari LPPL itu. Mengapanya tak jelaskan nanti. Oya, buat yang belum tahu apa itu LPPL, saya jelaskan ringkas saja. Begini. LPPL merupakan bagian dari Lembaga Penyiaran Publik (LPP).

Di Indonesia, selain ada lembaga penyiaran swasta yang dikontrol konglomerat dan nggak sedikit juga petugas parpol, ada pula lembaga penyiaran publik. Jika dalam skala nasional ada RRI untuk radio dan TVRI untuk saluran televisi. LPPL sendiri versi di tingkat daerahnya, baik kota maupun kabupaten.

Namun, nggak semua kabupaten dan kota di Indonesia punya LPPL. Barangkali yang punya anggaran daerah turah-turah yang bisa mendirikan LPPL. Kota Pekalongan termasuk sedikit mapan karena punya LPPL.

Setahu saya, di Kota Pekalongan ada dua LPPL. Batik TV dan Radio Kota Batik (RKB). Udah? Paham? Kalau sudah, mari kita masuk ke hal-hal yang bikin mongkok, khususnya LPPL di Kota Pekalongan.

Kurang update

Kebetulan sore itu saya menonton salah satu program Batik TV. Konsepnya berita, tapi bertema olahraga. Kebetulan yang kedua, saya juga bekerja di sebuah kanal YouTube yang juga bertema olahraga. Sontak saya sedikit terkekeh geli menonton berita yang disajikan.

Bukan karena presenternya Komeng, melainkan pariwara yang disajikan sangat tidak update. Jika ingatan saya nggak memberontak, berita yang muncul adalah soal Neymar yang cedera dan pemain Madura United, Ricki Ariansyah yang kolaps. Berita itu sudah muncul dua atau tiga hari sebelum saya menonton program tersebut.

Itu artinya berita yang disajikan Batik TV basi seperti nasi yang sudah seminggu nggak ketemu mulut manusia. Bayangkan saja, berita soal pemain yang kolaps muncul saat si pemainnya sudah sadar. Apa yang buat berita itu jadi penting lagi? Apa untuk mengingatkan PSSI?

Program membosankan

Orang nggak akan nonton berita yang sudah mereka ketahui. Konsep itulah yang dugaan saya, nggak dipahami betul oleh pengelola LPPL di Kota Pekalongan. Barangkali mereka paham, tapi yaelah, udahlah ya, mungkin sulit buat menerapkan. Walaupun secara SDM bisa-bisa saja sih. Toh ada dananya.

Masalahnya bukan hanya kurang update, melainkan program-programnya juga sangat-sangat membosankan. Ini bukan hanya Batik TV, tapi juga RKB yang bergerak di dunia radio.

Paling program yang jalan nggak jauh dari konsep ngobrol-ngobrol. Kalau di RKB begitu, hanya temanya saja yang berbeda-beda. Sisanya program berita dan tentu saja, program religius yang menyentuh kalbu.

Nah, di Batik TV agak beragam. Barangkali karena berbentuk tayangan. Tapi yang muncul ya, itu-itu saja. Intinya banyak program ngobrol dan berita. Hanya, sekali lagi, kemasannya saja yang berbeda.

Ada yang ngobrol dengan komunitas. Lalu dialog dengan pejabat. Terus ada juga ngobrol ala podcast. Selain itu, ada program anak. Soal berita, ada deretan berita dan feature yang membahas wisata, situs sejarah, sampai kuliner. Ya, cuma itu. Wajar saja kalau akhirnya LPPL ditinggalkan dan ya, orang lebih memilih bergoyang dombret di TikTok atau mantengin YouTube.

Pencitraan Pemkot

Alih-alih berinovasi soal program dan bikin orang tertarik untuk paling tidak mampir menikmati LPPL biar frekuensi publik yang dipakai nggak muspro, ia justru nggak bisa lepas dari cengkeraman Pemkot Pekalongan.

Meski namanya Lembaga Penyiaran Publik Lokal, kata “publik” di situ terabaikan. Bukannya jadi milik publik, LPPL di tempat saya justru jadi ruang bagi Pemkot untuk memoles citranya seindah mungkin.

Misalnya, entah Batik TV maupun RKB acap kali memberitakan kebijakan-kebijakan Pemkot Pekalongan, tanpa melirik permasalahan di akar rumput secara fundamental. Padahal tanpa perlu ditunjukkan, kebijakan bakal kelihatan kok oleh masyarakat, kalau terlaksana.

Sependek pengamatan saya, berita kebijakan Pemkot porsinya lebih dominan daripada suara-suara yang muncul dari rakyat. Sek, sampai sini pasti ada yang nanya mana buktinya. Untuk mencari data soal itu rumit, karena data yang ada pun dikeluarkan oleh Pemkot Pekalongan itu sendiri. Nonsense kalau pakai data dari Pemkot itu sendiri.

Jelas LPPL bukan milik pemerintah daerah. Walaupun secara aturan pemerintah daerah yang mendirikan LPPL. Tapi kehadiran LPPL murni untuk melayani masyarakat, bukan jadi semacam LPJ pemerintah daerah. Monggo dibaca lagi regulasinya.

Dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 14 ayat 1 menyebut, sejatinya yang dinamakan Lembaga Penyiaran Publik bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan pada masyarakat. LPPL pun semestinya mengacu pada itu. Kalau LPPL cuma menjadi corong suara pemerintah daerah itu berarti sudah tidak independen, apalagi netral.

Memoles diri itu boleh, tapi…

Eits, saya bukan mau melarang Pemkot memoles citra lho, ya. Mohon jangan salah sangka. Silakan Pemkot Pekalongan kalau mau meningkatkan penjenamaan. Sah, kok. Boleh banget. Toh, biar masyarakat bangga pada pemerintahnya sendiri.

Tapi nggak usah terlalu nyaman pakai LPPL, dong! Kok ya enak saja menggunakan frekuensi publik untuk membagus-baguskan nama Pemkot Pekalongan di masyarakatnya. Jika terus begitu, apa bedanya lembaga penyiaran publik dan swasta? Apa bedanya Pemkot sama Anang Hermansyah dan Lesti yang merebut frekuensi publik untuk acara pribadi?

Akhirul kalam, kalau gitu cara mainnya, sadar atau tidak penguasa dan pengusaha telah paripurna merampas frekuensi publik. Terus… terus, masyarakatnya sendiri dapat apa? Masa lagi-lagi dapat sampahnya doang?

Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Betapa Sulitnya Meromantisasi Kota Pekalongan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version