Lingkungan Kerja Toxic Membuat Karyawan Tidak Sejahtera Jiwa dan Raga

Lingkungan Kerja Toxic Membunuh Jiwa dan Raga Karyawan (Unsplash)

Lingkungan Kerja Toxic Membunuh Jiwa dan Raga Karyawan (Unsplash)

Keluh dan kesah tentang lingkungan kerja toxic masih ramai menjadi perbincangan. Saya merasakan sendiri hal ini karena kantor saya memandang karyawan dari 1 sisi saja. Padahal, karyawan adalah aset berharga bagi perusahaan. Mereka berkontribusi memajukan perusahaan. Maka sudah sewajarnya kantor membantu karyawan supaya sejahtera jiwa dan raga.

Iya, saya juga memahami bahwa hubungan kantor dan karyawan harus 2 arah. Karyawan boleh meminta beberapa hal untuk menunjang pekerjaan. Namun, dengan adanya gaji artinya karyawan juga terikat dengan tanggung jawab. Jika hal ini sudah berjalan dengan baik, lingkungan kerja toxic tidak akan muncul.

Namun, di antara hak dan kewajiban, ada juga namanya lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja sangat berpengaruh pada produktivitas dan kenyamanan pekerja. Hal ini, sekali lagi, saya rasakan sendiri.

Lingkungan kerja toxic di kantor saya

Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta di bidang distribusi. Menurut saya, budaya perusahaan ini sangat tidak sehat. Turnover karyawan cukup tinggi karena perubahan posisi dan job desk yang tidak jelas, serta kurangnya koordinasi dan komunikasi yang efektif. 

Kantor malah tidak mensejahterakan karyawan. Lucunya lagi, suasana atau ambience dalam bekerja tergantung mood atau suasana hati atasan dan masih banyak lagi. Gambaran turnover yang cukup tinggi yaitu karyawan yang sudah onboarding tidak bertahan lama di perusahaan ini yang alasannya cukup bisa diterima. 

Bagaimana karyawan bisa bertahan dan nyaman dalam bekerja jika dari jam kerja saja melebihi batas, yaitu 12 jam. Bahkan jam kerja bisa lebih dan lembur adalah wajib hukumnya. Padahal, upah lembur yang dibayarkan sangat di bawah standar. 

Oleh sebab itu, banyak pekerja yang mengorbankan waktu istirahat daripada harus lembur dengan bayaran yang tidak seberapa. 

Karyawan menjadi tidak sehat jiwa dan raganya

Komunikasi dan koordinasi yang tidak terjalin menyebabkan tingginya angka turnover. Saya merasakan sendiri bahwa atasan di perusahaan ini tidak bisa mengayomi bawahannya, tidak suportif, dan tidak bisa memberikan solusi yang baik apabila terdapat suatu kendala. 

Kalau kondisinya seperti itu, untuk apa dibentuk suatu divisi di mana terdapat senior dan junior jika tidak memberikan fungsinya dengan baik? Celakanya, kondisi seperti ini terjadi di semua divisi. 

Lebih parah lagi ada salah satu divisi yang supervisornya kurang bisa mengontrol emosi yang menyebabkan kinerja para staf kurang optimal. Kondisi lingkungan kerja toxic ini menyebabkan karyawan hanya bertahan 1 bulan, seminggu, bahkan ada yang hanya 5 hari. 

Selama kurang lebih 1 tahun bekerja di perusahaan ini, saya merasa cukup baik dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Saya cukup profesional dalam bekerja dan tidak pernah mencampurkan perasaan pribadi. Akhirnya, saya membulatkan tekad untuk mengundurkan diri karena tidak akan berkembang apabila berada di lingkungan kerja toxic. 

Saya merasa tidak ada lagi rasa nyaman dan sejahtera secara jiwa dan raga. Selain itu, saya juga tidak ingin karakter saya berubah mengikuti karakter lingkungan kerja toxic ini. Karakter orang yang sudah lama bekerja di sini terbentuk dari budaya yang keras dan minim toleransi

Hal ini juga berdampak pada kesehatan mental saya di mana setiap hari saya merasa cemas dan takut apabila terjadi sesuatu yang di luar pengawasan saya. Lelah rasanya harus mengerti dan mengikuti suasana hati atasan yang saya juga heran kenapa kita yang harus terkena dampaknya? 

Tidak jarang juga ada gangguan pada fisik saya. Mungkin karena badan atau fisik memberikan efek atau sinyal yang menolak dihadapkan dengan situasi yang seperti ini setiap hari.

Budaya kerja yang baik untuk menciptakan karakter yang juga baik

Karakter saya memang menggambarkan diri saya. Tapi bagaimana saya bersikap tergantung siapa yang sedang saya hadapi. 

Setiap hari berhadapan dengan situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, saya lebih memilih diam daripada harus banyak berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan kerja toxic ini. Hal ini membuat energi saya terbuang. Pokoknya yang penting saya bertanggung jawab atas pekerjaan saya. 

Penilaian dari atasan yang terlalu subjektif juga menjadi dorongan kuat untuk mengundurkan diri. lingkungan kerja seperti ini sangat tidak adil bagi saya yang kurang terampil mencari muka atau mencari perhatian di depan atasan. 

Hal yang paling dilihat di sini adalah selalu hal yang salah dari karyawan tanpa melihat bagaimana kinerja dan kontribusi. Padahal karyawan juga ingin diakui dan diapresiasi keberadaan dan andilnya di perusahaan. 

Kesimpulannya, para karyawan di perusahaan ini tidak disejahterakan, sehingga menimbulkan budaya dan lingkungan kerja toxic. Tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat dan pemikiran sehingga membentuk sikap apatis pada karyawan. 

Banyak sekali aspek yang harus dibenahi dari perusahaan ini, tapi itu sangat sulit karena dari akarnya saja sudah seperti itu. Jadi, tidak heran jika terbentuk budaya yang kurang sehat dan karakter orang-orang yang ada di dalamnya. 

Pokok dari permasalahan ini adalah pentingnya membentuk budaya perusahaan yang baik demi terciptanya lingkungan dan suasana kerja yang nyaman. Kalau karyawan bisa sejahtera jiwa dan raga, produktivitas akan meningkat. Dengan begitu perusahaan juga akan mempunyai brand image yang baik di masyarakat luas.

Penulis: Laela Maidah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUG 5 Budaya Perusahaan yang Toxic dan Sebaiknya Tak Perlu Ada Lagi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version