Ada rasa kangen yang terus memburu ketika tim kesayanganmu lagi bagus-bagusnya. Satu minggu terasa lama. Tidak sabar untuk melihat mereka bermain lagi. Tim yang dulu rajin mengecewakan, tiba-tiba menjadi lebih bisa diharapkan. Sejurus kemudian kamu sadar kalau hal-hal seperti itulah yang membuatmu jatuh cinta dengan sepak bola.
Inter Milan cukup bijak ketika mau menekan gengsi mereka ketika memberikan pekerjaan kepada Antonio Conte. Kamu harusnya tahu kalau Conte adalah mantan pemain sekaligus pelatih Juventus. Conte pula yang seperti menjadi titik balik dari peruntungan Juventus setelah tertendang ke Serie B karena kasus Calciopoli.
Conte pula yang menjadi saka guru, menjadi kapten Si Nyonya Tua. Sosok pejuang di lini tengah, simbol kejayaan Juventus di Serie A. Manajemen Inter Milan bukannya tidak sadar dengan fakta itu. Mereka sangat sadar bahwa tumpukan kekecewaan dan rasa sakit hati Inter Milan di Serie A, salah satunya, dibidani oleh Conte.
Menunjuk mantan rival perlu keberanian khusus. Terutama kalau kamu seorang pemilik klub di Italia, di mana tradisi rivalitas setua sakralnya sosok ibu bagi anak laki-laki. Untuk keberanian menelan gengsi, manajemen Inter Milan mendapatkan reward dari hasil kerja Conte. Salah satunya adalah second coming pada pasukan terbuang.
Musim panas 2019, Inter Milan membeli dua pemain yang disia-siakan Manchester United. Mereka adalah Alexis Sanchez dan Romelu Lukaku. Nama pertama sudah menunjukkan sepintas bukti kalau dia juga cocok dengan Conte. Hanya cedera yang menghambat perkembangan lebih lanjut Alexis bersama Inter Milan.
Nah, nama kedua, Lukaku, betul-betul mendapatkan angin kedua. Striker Tangguh yang mekar sepenuhnya ketika masih berseragam Everton, menemukan sentuhannya kembali berkat tangan hangat Conte. Bersama Lautaro Martinez, Lukaku menjadi salah satu ujung tombak paling berbahaya di Serie A musim 2019/2020.
Saya tidak ingin secara spesifik hitung-hitungan soal jumlah gol. Saya ingin memberi gambaran betapa kepercayaan itu memang mahal harganya.
Begini maksud saya….
Ketika masalah Mauro Icardi bukan lagi tentang lapangan hijau, saya setuju dengan ketegasan manajemen Inter Milan. Icardi “dibuang” ke PSG demi memberi tempat kepada mereka yang mau memahai konsep saling memberi dan menerima. Sebuah konsep sederhana akan kepercayaan kepada sesama.
Lukaku, ketika kehilangan sentuhan di depan gawang, menjadi sering ceroboh ketika mengontrol bola, menjadi bahan ledekan fans Manchester United. Ketika kepercayaan dirinya ambruk, United seperti gagal menyediakan kepercayaan demi sebuah kebangkitan. Solusi mereka adalah menjual dan Inter Milan melihat kesempatan itu.
Conte memberikan kepercayaan. Penuh. Kepada Lukaku dan Lautaro Martinez. Keduanya menjadi duet dalam skema dasar 3-5-2. Lukaku dengan beban ekspektasi dan cap pemain buangan, sementara Lautaro Martinez tahu dirinya akan dibanding-bandingkan dengan Mauro Icardi. Apalagi keduanya berasal dari negara yang sama.
Saya sempat dibuat kagum ketika Lukaku tampil apik di Piala Dunia bersama Belgia. Melawan Brasil, Lukaku bermain dari sisi kanan, menjadi pemain yang mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan Marcelo. Lukaku menunjukkan cara bermain seorang striker yang bertugas dari sisi lapangan. Dia punya akselerasi dan kemampuan menggiring bola cukup lumayan.
Ketika mendapatkan momen cut inside, lalu mendekati kotak penalti, Lukaku punya teknik menembak yang sangat baik. Tidak hanya power saja, dia juga punya akurasi. Jenis rentetan gerakan ini tidak mudah dilakukan. Selain teknik, seorang pemain harus punya kepercayaan diri penuh. Conte sadar akan hal itu dan kepercayaan yang utama dia suntikkan.
Gol pertama Lukaku ke gawang Bologna menjadi gambarannya. Jika kepercayaan itu terus tumbuh, Interisti mungkin akan rutin menjadi saksi kekuatan Lukaku.
Kekuatan itu berpadu serasi ketika disandingkan dengan kelenturan Lautaro Martinez. Dia sangat jeli melihat ruang, baik di antara pemain lawan atau di sisi lapangan. Lautaro Martinez adalah karangan paling indah tentang kecerdasan pemain. Dia memadukan kecerdasan itu dengan kekuatan.
Menjadi bek sebuah tim, seseorang akan punya kecenderungan 70 persen lebih banyak melihat ke arah bola. Sangat sulit membagi konsentrasi mencermati jalur bola dan pergerakan lawan. Ketika terlalu fokus kepada bola, kamu akan kehilangan momen untuk menutup ruang lawan.
Di momen yang sangat singkat itulah kelebihan Lautaro Martinez berkembang. Kejelian untuk menyelinap di antara pemain dan melepaskan tembakan dari posisi sulit menjadi penderitaan tersendiri bagi bek lawan. Sebuah kelebihan yang serasi di depan kekuatan Lukaku.
Menikmati second coming Lukaku adalah berkah. Menjadi saksi perjuanan dan kebangkitan orang lain adalah inspirasi. Sementara itu, menjadi saksi keindahan kecerdasan Lautaro Martinez juga berkah. Menjadi inspirasi tentang usaha menggali bakat dan memperkuatnya.
BACA JUGA MIKEL ARTETA DALAM PUSARAN PENOLAKAN FANS ARSENAL PADA JOSE MOURINHO atau tulisan Yamadipati Seno lainnya. Follow Facebook Yamadipati Seno.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.