“Priiit… “ Sederhana namun menggelisahkan. Betapa tidak, bunyi itu adalah tanda untuk mengocek kantong dan/atau membuka dompet untuk mengambil uang dua ribu untuk bayar parkir.
Tidak hanya berlaku di mall atau kantor. Minimarket, ATM, bahkan warung miso di jalan Adam Malik Siantar pun bayar (enak, Fren). Saya pengin sebut namanya, tapi nggak usah. Jasa misonya tidak akan saya lupakan hanya karena saya disakiti bangabang parkir.
Di paragraf sebelumnya dapat dibaca bahwa parkir berbayar di mal atau kantor adalah hal yang lumrah. Tapi, kalau dipikir-pikir makin kurang ajar jugak. Kita menggocek kantong bukan lagi untuk memarkirkan kendaraan, bahkan sekadar lewat atau mengantar penumpang. Portal parkir kini shares the same energy dengan pintu tol. Mau lewat bayar.
Tapi, bukan cuma parkir kerah putih yang makin kurang ajar. Bangabang parkir pun kuliat makin sukaknya.
Saya ambil contoh warung miso di jalan Adam Malik Siantar di seberang tadi. Misonya enak, nggak usah dibahas. Parkirnya yang kurang ajar. Nggak peduli mau sebentar atau lama, mau bungkus atau makan di situ, atau mau beli atau enggak. Berhenti = bayar.
Saya tidak keberatan membayar parkir tidak peduli resmi atau tidak. Terlebih parkir on street maupun off–street yang retribusi maupun pajaknya masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Saya ini anaknya into kemandirian daerah banget.
Tapi, makin ke sini sepertinya ada pergeseran yang geser kali. Dulu, logika parkir harus bayar di toko-toko, atau warung-warung ya karena selama kita berbelanja, kendaraan kita dijaga. Jadi, lahan parkir itu gratis disediakan oleh toko atau warung. Itu bahkan cuma sebagian, karena sebagian besar malah menggratiskan lahan parkir sekaligus pelayanannya.
Tapi sekarang, kita membayar untuk berhenti. Sesaat setelah kunci sepeda motor diputar ke kiri hingga berbunyi “klik” atau “c’tek”, saat itulah bangabang parkir bangkit dari kursi plastiknya. Bangabang parkir beranjak sangat cepat, bak hiu ketika mencium darah.
Kadang saya cuma bonceng kakak atau ibu saya ke warung miso. Nggak makan di situ. Bungkus. Saya menunggu di motor karena memang nggak bakal lama. Lima menit selesai. TAAAPIII, pas saya mulai mundur; “Priiiit” pun mulai berbunyi dengan syahdu. Saya be like “hello!?, kan saya dari tadi di atas motor, ini duit buat apaa?? Like seriously? Omg hellow”. Tentu saja saya ucapkan itu dalam hati. Saya introvert.
Saya merasa hancur. Filosofi parkir yang seharusnya adalah sesungguhnya pada hakekatnya dan sebenar-benarnya merupakan bentuk pelayanan konsumen kini telah terkomodifikasi.
“Priiiit” bukan lagi lambang pelayanan serta pemantik senyum dan “makasih bang, *klakson dua kali*”. Seiring perkembangan zaman ia malah jadi penghuni catatan pengeluaran.
Keengganan pemilik usaha untuk menggratiskan lahan parkir ini merupakan gambaran nyata liberalisasi ekonomi. Seolah-olah terpatri di kepala bahwa asal bisa diuangkan dan menambah penghasilan, kenapa harus gratis?
Memang dalam ilmu ekonomi ada frasa terkena “there’s no such things as free lunch”. Tapi, hey! Kan saya udah bayar misonya. Mau lunch, dinner, atau breakfast juga bukan urusan anda! Pokoknya saya bayar. Kenapa pas saya pulang ditagih duit lagi?
Protes saya ini bukan semata soal angka. Ini soal filosofi. Mengkomersialkan sesuatu yang seharusnya sudah bagian dari pelayanan adalah gejala. Cara pandang kita sebagai makhluk ekonomi makin parah, hingga mengatasi peran kita sebagai makhluk sosial.
Di atas, saya mendeklarasikan dukungan terhadap parkir on street maupun off street karena menyumbang nominal yang cukup besar ke dalam Pendapatan Asli Daerah. Namun, bukan berarti tidak terdapat masalah.
Parkir on street tampaknya masih perlu dibuatkan regulasi baru. Ya, keuntungan daerah itu satu hal. Tapi, memakan bahu jalan hingga menyebabkan kemacetan itu outcome yang tidak main-main. Sekali lagi ini gejala. Bahkan pemerintah yang memang peran utamanya melayani menomorduakan pelayanan setelah keuntungan.
Sebenarnya tidak perlu ada hirarki soal mana yang lebih perlu. Namun, gap yang sudah tidak masuk akal antara pelayanan dan pencarian keuntungan meniscayakan hal tersebut.
Kembali lagi kepada kita manusia secara umum, ini merupakan gejala. Bukan tidak mungkin jika suatu saat pemilik warung miso langganan saya di atas menjadi Presiden Republik Indonesia, lahir tarif berjalan di atas trotoar, raskin seharga caviar, atau bahkan sekolah negeri ber-SPP setara tarif bimbel logo gajah.
Untuk hal kemacetan mungkin bisa dihadirkan regulasi yang mewajibkan pemilik usaha menyediakan lahan parkir sekian meter untuk mencegah kemacetan. Nggak papa lah bayar, asal jangan dibentak orang lewat pas mau keluar parkir.
Cara pandang “kalau bisa mendatangkan duit, kenapa harus gratis” pada hakikatnya memang berbahaya. Bagaimana jika suatu siang saya sangat lapar dan memutuskan ke warung miso tadi dengan uang pas satu porsi miso?
BACA JUGA Saya Anti-kapitalisme, Bukan Orang Gila dan tulisan Dion Kristian Cheraz Pardede lainnya.