Egois, nggak tahu malu, dan kepedean adalah tiga kata yang setidaknya menggambarkan sosok Aris di dua episode akhir web series Layangan Putus. Jika diurutkan sejak awal, karakter buruk yang cocok disematkan pada Mas Aris tentu lebih banyak lagi. Namun, jika harus disimpulkan, kata bangsat sepertinya sudah pas untuk blio.
Memasuki dua episode terakhir yang tayang dalam layanan fast track WeTV, perasaan penonton masih diaduk-aduk. Kesal, marah, sedih sekaligus bahagia, semua tercampur jadi satu. Jauh berbeda dengan sinetron ataupun FTV tanah air, web series Layangan Putus menunjukkan kelasnya dengan akting keren para pemain dan alur cerita yang nggak bertele-tele.
Spoiler alert! Buat kalian yang kaum anti-spoiler dan nggak bisa nonton episode terakhir Layangan Putus lewat fast track, jangan coba-coba baca artikel ini, ya. Konsekuensi ditanggung pembaca, lho.
Di akhir episode, pertanyaan tentang masa depan hubungan Aris dengan Kinan akhirnya terjawab. Kinan sudah berjuang semampu yang ia bisa. Ia memperjuangkan pernikahannya, tetapi Aris lebih memilih jalan yang berbeda.
Ketika kemudian Kinan sampai pada titik lelahnya, ia berbalik arah, lanjut berjuang, tetapi kali ini ia memperjuangkan kebahagiaannya dan Raya. Semasa menjadi korban perselingkuhan, Kinan sesekali melemah, menangis dalam rasa sakitnya, tetapi setelahnya ia tahu ke mana ia harus memusatkan pikiran dan langkah kakinya.
Setelah menonton Layangan Putus, satu hal yang paling melekat kuat dalam pikiran saya adalah satu teori lama tentang pernikahan. Bahwa pernikahan itu bukan cuma tentang cinta, tetapi juga tentang komitmen. Lihat saja Aris. Dia bisa ngomong “I love you” sampai seribu kali kepada Kinan, namun nyatanya? Dia mengkhianati komitmen dalam pernikahan.
Sebagai seorang laki-laki dan suami, Aris adalah sosok yang ingin mendominasi, merasa bisa meng-handle semuanya. Dia tahu betul Kinan punya trauma masa lalu terkait perceraian orang tua. Ketika seharusnya dia hadir sebagai salah satu support system yang membantu Kinan sembuh dari traumanya, yang terjadi justru dia menjadikan hal tersebut sebagai salah satu alasan bahwa dia bisa “menundukkan” Kinan.
Aris yakin betul bahwa Kinan nggak mungkin membuat Raya mengalami trauma yang sama. Makanya dia merasa yakin pernikahannya dengan Kinan akan tetap baik-baik saja. Dia bisa menikah dengan Lydia tanpa harus melepaskan Kinan. Dikiranya cuma dia yang harus dimengerti, cuma kebahagiaannya yang harus dipikirkan. Aris mau nggak ada perceraian agar Raya nggak tersakiti. Padahal sejak berselingkuh, Raya juga sudah jadi korban!
Lydia juga sama. Gayanya sudah seperti “si paling paham dunia anak-anak”. Padahal ketika Raya menolak punya ibu baru, dia malah terkesan memaksa. Alih-alih memikirkan perasaan anak kecil, yang terjadi justru Raya yang diminta berkorban demi kebahagiaan Aris.
Lydia pun mengaku mau menjaga perasaan Kinan. Lha, kalau mau menjaga, harusnya dari awal nggak usah menjalani cinta terlarang itu, ya? Atau paling nggak setelah tahu Aris sudah punya istri, harusnya Lydia mundur, dong. Eh, dia malah memilih bersaing dengan Kinan. Saking nggak punya alasan untuk dipilih, dia pakai kejadian “menyelamatkan” Aris sebagai senjata agar tetap bisa diperjuangkan dan dipertahankan. Kasihan banget!
Pada akhirnya, penonton tentu akan menaruh rasa respect setinggi-tingginya kepada Kinan. Sejak tahu Aris berselingkuh, Kinan berusaha setenang mungkin. Sesekali merasa lemah dan pernah gegabah juga, tetapi pada akhirnya dia tahu apa saja yang harus dia perjuangkan.
Kinan bermain cantik. Di balik sikap “tulus dan ikhlasnya” merawat Lydia yang sedang sakit, dia melancarkan aksi yang apik. Kinan menyerang Lydia tanpa aksi nge-viralin. Dia tahu bagaimana caranya ngomong dengan suara lembut, tetapi tetap membuat Lydia ada dalam posisi dipermalukan. Kinan juga nggak menempatkan Lydia sebagai satu-satunya pihak yang harus diberi peringatan. Dia sadar betul bahwa atas apa yang terjadi, Aris dan Lydia adalah dua pihak yang pantas untuk disalahkan.
Sebagai penonton, saya ikut sakit hati banget dengan adegan Lydia masuk ke kamar Kinan. Rasanya ikutan hancur. Namun, semua rasa sakit—bahkan yang muncul sejak awal episode—terbayar sudah dengan melihat senyum Kinan pada akhir cerita. Karena sama seperti Buna, Kinan juga tentu berhak bahagia.
“Tidak apa-apa jika sesekali impian kita diterbangkan oleh angin karena satu-satunya yang harus kita genggam erat adalah diri kita sendiri.”
Good job, Kinan!
Penulis: Utamy Ningsih
Editor: Intan Ekapratiwi