BPJS Kesehatan tidak hanya menanggung pemeriksaan dan pengobatan penyakit fisik, tetapi juga penyakit jiwa atau mental. Layanan tersebut jelas sangat membantu, apalagi biaya periksa dan pengobatan terkait kesehatan jiwa terkenal tidak murah. Walau memang, biaya yang murah itu harus mengorbankan stok kesabaran ketika konsultasi di faskes tingkat I seperti puskesmas atau klinik.
Saya mengalaminya sendiri. Saya menyadari ada yang tidak beres dengan diri saya dan berharap segera dirujuk ke fasilitas kesehatan jiwa yang lebih mumpuni. Masalahnya, di puskesmas di mana saja terdaftar, tidak ada layanan kesehatan jiwa yang mumpuni. Tidak ada layanan psikologi seperti yang tersebar di puskesmas-puskesmas di Jogja. Saya harus diperiksa seorang dokter umum terlebih dahulu demi mengantongi rujukan ke layanan yang lebih mumpuni.
Daftar Isi
LLayanan kesehatan jiwa yang mengecewakan
Saat sesi konsultasi dengan dokter umum begitu menguras kesabaran. Saya memahami, dokter umum puskesmas sehari-hari berhadapan dengan penyakit-penyakit yang “terlihat” seperti pusing, demam, gatal-gatal dan semacamnya. Persoalannya, pasien yang dihadapinya kali ini mengalami penyakit mental, sesuatu yang abstrak. Dan, tidak semua dokter umum ternyata terampil menghadapi penyakit yang abstrak tadi. Dokter yang saya temui saat itu salah satunya.
Saat masuk di ruang periksa, beliau menanyakan apa keluhan saya sebagai pasien. Saya cerita apa adanya, dari A-Z runut dan lengkap. Saya jelaskan semua gejala yang memang bukan gejala sakit fisik pada umumnya.
Asal tahu saja, sebelum konsultasi, terlebih dahulu saya berselancar di dunia maya seputar tanda-tanda yang saya rasakan. Berdasar hasil pencarian, saya punya kecenderungan mengalami gangguan mental. Tidak mau self-diagnosis, saya akhirnya mencoba mencari pertolongan dengan mengakses layanan kesehatan jiwa menggunakan BPJS Kesehatan.
Malah mendengar ceramah dan adu nasib
Setelah menceritakan segala hal yang dirasakan, saya tidak kunjung mendapat rujukan ke psikiater dari dokter umum yang saya temui. Selama periksa, bukannya mendengar dengan seksama cerita dan keluhan saya hingga selesai, beliau malah sering memotong pembicaraan dan ceramah. Katanya, seharusnya saya yang masih muda nggak boleh merasa seperti yang dikeluhkan. Dia juga membanding-bandingkan hidupnya yang begini dan begitu. Mau periksa malah dapat adu nasib.
Tidak dipungkiri, mendengar itu semua tidak membuat semakin semangat, malah semakin down. Saya jadi membayangkan, bagaimana ya dengan orang-orang lain yang langsung mengakses layanan kesehatan jiwa tanpa persiapan atau riset kecil-kecilan dahulu ya? Apa perasaan mereka tidak jadi tambah buruk?
Setelah si dokter puas menceramahi, dia baru merujuk saya ke psikiater. Itu pun dengan sedikit perdebatan dan penekanan bahwa kondisi saya saat ini banyak berpengaruh pada keluhan-keluhan fisik sehari-hari. Benar dugaan saya, setelah berobat ke psikiater, saya didiagnosa beberapa penyakit mental. Pengobatan pun saya terima dan jalani.
Puskesmas dan dokter umum perlu banyak perbaikan
Walau mengalami hal kurang menyenangkan selama proses pengobatan, saya bersyukur aware terhadap gejala dan keukeuh mencari pertolongan. Saya tidak membayangkan kalau hal ini dialami pasien lain, bukan tidak mungkin mereka akan berhenti di tengah jalan karena pengalaman kurang menyenangkan tadi.
Itu mengapa, saya rasa penting untuk dokter umum-dokter umum di faskes 1, untuk lebih peka dan terampil menghadapi pasien dengan gejala gangguan mental. Terutama, faskes 1 yang tidak ada layanan psikologi. Terlebih dahulu, alangkah lebih baik kalau puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia memiliki akses layanan kesehatan mental yang mumpuni.
Sekali lagi, cerita di atas berdasar pengalaman saya mengakses layanan kesehatan jiwa menggunakan BPJS Kesehatan di salah satu puskesmas di Bekasi ya. Pengalaman di atas tidak bisa dijadikan bahan untuk menggeneralisir layanan di faskes 1 lain.
Penulis: Mohammad Arfan Fauzi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Kursi Indomaret Memang Nyaman, tapi Tidak Bisa Menggantikan Peran Psikolog
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.