Lapo Tuak, Pusat Sosialisasi dan Sasana Kecil Orang Batak Melatih Lidah untuk Berdebat

lapo tuak MOJOK.CO

lapo tuak MOJOK.CO

Manusia merupakan makhluk Zoon Politicon, sepenuturan Aristoteles. Artinya, manusia tak dapat hidup seutuhnya tanpa orang lain. Maka tak heran mulai dari lahir sampai meninggal setiap orang akan dibantu orang lain. Bagi orang Batak, kebersamaan itu berpusat di sebuah tempat bernama lapo tuak.

Merujuk arti harafiahnya, lapo adalah warung atau kedai dan setiap pengunjung yang datang disajikan minuman tuak (nira enau). Jadi, disebutlah lapo tuak.

Pengunjung di tempat itu bukan satu kelas tertentu. Orang berpendidikan tinggi hingga kurang pendidikan, orang kaya dan sederhana, semuanya bersatu dalam kenikmatan tuak. Segala keluh kesah dan beban hidup dapat dikeluarkan di sana tanpa mesti ada yang tersinggung.

Di lapo tuak juga biasa disediakan gitar. Maka tak mengherankan diselingan candaan, petikan gitar akan menemani. Lagu andung-andung (ratapan) sering menjadi pilihan para pengunjung lapo. Kesan lagu sentimentil sebagai ungkapan atas bernitnya (perih) kehidupan dinyanyikan bersama-sama. Tampang sangar membuat setiap orang yang melihat mereka juga akan merasakan bahwa mereka “manusia biasa” yang gampang tersentuh.

Lapo tuak juga memiliki peranan penting dalam kesejarahan nasional. Nahum Situmorang musikus legendaris Batak menciptakan beraneka lagu di sini. Sebut saja lagu “Pulo Samosir” yang berkisah tentang alam Pulau Samosir. Lissoi menceritakan kegiatan para pemuda di Lapo Tuak, Na Sonang do Hita Nadua tentang lagu romansa sepasang kekasih yang tak jadi menikah. 

Satu lagi lagu yang fenomenal digubahnya di lapo tuak dan mendapat peringkat kedua saat dilakukan sayembara lagu kebangsaan. Peraih peringkat pertama saat itu adalah lagu “Indonesia Raya” milik W.R Supratman. Konon, naskah lagu legendaris itu dibuang oleh Nahum karena tidak berhasil menjadi juara satu sehingga lirik dan judul aslinya tidak diketahui.

Orang Batak yang lihai berdebat, menempa diri dari sasana yang lebih kecil, yaitu lapo tuak. Tempat ini seakan menjadi pusat perdebatan dan analisis politik, sosial, dan hukum. Dengan mimik serius, hampir setiap orang yang berada di sana memberikan pendapatnya, lalu didebat tanpa ada yang tersinggung.

Tanpa ada pemandu acara, setiap orang bisa terpuaskan menyampaikan pendapatnya di lapo tuak. Tanpa terpotong oleh instruksi pembawa acara atau jeda iklan. Bantahan-bantahan atas suatu pendapat disampaikan secara frontal. Tidak ada rasa ketersinggungan sama sekali. Mirip sama prinsip Batak yang mengatakan, “Lebih baik kau mengata-ngatakan keburukanku di hadapanku daripada harus membicarakannya pada orang lain di belakangku.”

Bahkan para sarjana yang sedang nongkrong di lapo, bisa saja kalah perdebatan dengan ama-ama lapo (bapak-bapak yang sering di lapo) kalau bahasa yang digunakan terkesan membley (halus).

Lapo juga bisa menjadi indikator terlaksananya program pemerintah. Jika ama-ama lapo tidak pernah membicarakan kebijakan pemerintah, artinya kebijakan belum menjangkau masyarakat. Jika kebijakan sudah dijalankan, kebijakan itu pasti dinonangi (gosipi).

Tak ayal, lapo tuak berperan sebagai tempat sakral kunjungan para calon pejabat. Berbekal traktiran minum tuak dibarengi marisap (merokok) bersama, calon pejabat akan menjelaskan keinginannya yang ingin menjadi parhobas (pelayan), bisa sebagai kepala daerah atau legislatif.

Sesudah dipaparkan, akan muncul serentetan pertanyaan dari ama-ama lapo. Mereka, yang mayoritas bukan lulusan perguruan tinggi, bisa bertanya atau mendebat dengan bahasa layaknya pakar. Hasil dari latihan berdebat di sasana kecil ini. Tak heran jika muncul adagium, “Tambahi tuakmu asa tabo hita manghatai,” artinya: tambahkan tuakmu biar enak kita yang mengobrol.

Melihat sederet fungsi lapo tuak itu, tak mengherankan ketika si ucok atau butet (anak laki-laki; anak perempuan) jika disuruh inangnya (mamanya) mencari amongnya (bapaknya), lapo tuak yang menjadi tempat incaran pertama.

BACA JUGA Hal yang Perlu Anda Ketahui Jika Jatuh Cinta pada Perempuan Batak atau tulisan Johan Gregorius Manotari Pardede

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version