Baru saja, selebriti Nikita Mirzani ditetapkan sebagai pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap mantan suaminya, Dipo Latief. Banyak komentar bermunculan menanggapi berita tersebut. Komentar yang mencuri perhatian saya adalah ketika masih banyak masyarakat yang menganggap kasus tersebut janggal karena korbannya adalah laki-laki.
Beberapa waktu lalu, jagad hiburan juga dikejutkan oleh kasus KDRT yang dilakukan Amber Heard kepada suaminya, Johnny Depp. Keduanya adalah selebriti kenamaan Amerika Serikat.
Banyak komentar yang menyebut berita tersebut hanya lelucon. Ada yang menyebut korban KDRT tersebut sebagai banci. Tak sedikit yang berkomentar ekstrem agar laki-laki korban KDRT tersebut memotong penisnya karena ‘gagal’ menjadi laki-laki. Mayoritas komentar tersebut menganggap bahwa laki-laki mustahil menjadi korban KDRT.
Benarkah laki-laki bebas KDRT?
KDRT adalah satu dari sekian banyak bentuk kekerasan. Masih banyak bentuk kekerasan, baik fisik, psikologis, maupun seksual lainnya. Kekerasan bisa terjadi di mana saja, baik ranah publik maupun privat. Pun, kekerasan bisa menyerang siapa saja, termasuk laki-laki yang konon dianggap kuat.
Lalu, kenapa selama ini kampanye anti-kekerasan hanya ditujukan untuk melindungi perempuan seolah laki-laki bebas dari tindak kekerasan? Kenapa kelompok feminis getol memperjuangkan hak-hak perempuan? Kenapa ada Komnas Perempuan namun tak ada Komnas Laki-laki?
Secara sederhana, jawabannya karena kasus kekerasan terhadap perempuan jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Selain itu, perempuan juga rentan mendapat kekerasan di kemudian hari. Ketika mengalami kasus kekerasan, perempuan sering kali disalahkan, bahkan direviktimisasi.
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa ada tren peningkatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya. Kekerasan seksual adalah kasus yang paling banyak dilaporkan. Kita tak tahu berapa banyak kasus yang belum dilaporkan.
Maka tak heran kampanye anti-kekerasan yang didengungkan di berbagai negara, termasuk Indonesia lebih fokus pada isu perempuan. Masih banyak sekali perempuan yang tak hanya mengalami kekerasan, namun juga mendapat stigma negatif, stereotip berbasis gender, subordinasi, sampai marjinalisasi. Tak ada alasan untuk tidak bersuara.
Namun, perlu kita sadari bahwa bukan hanya perempuan yang bisa menjadi korban kekerasan. Kelompok marjinal seperti anak-anak dan kelompok LGBT serta laki-laki pun bisa menjadi korban kekerasan. Masing-masing kelompok tersebut mengalami kendala masing-masing ketika ingin memperjuangkan haknya untuk hidup tanpa mendapat kekerasan.
Baik perempuan, laki-laki, anak, maupun kelompok LGBT mengalami kekerasan sering kali karena adanya relasi kuasa yang timpang. Selain itu, kekerasan yang menimpa mereka sering kali diawali dengan adanya stigma negatif. Secara lebih luas, kekerasan disebabkan oleh banyak faktor.
Dalam masyarakat patriarki, laki-laki punya tantangan tersendiri dalam menghadapi kasus kekerasan. Kita sudah familiar dengan pandangan bahwa laki-laki harus berlaku jantan nan kuat. Jika tidak kuat, kamu bukan laki-laki sejati. Laki-laki tidak boleh menangis, yang menangis cuma banci. Ada konsep maskulinitas yang harus diikuti.
Adanya pandangan tersebut membuat masyarakat menganggap bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat. Laki-laki tak mungkin ‘kalah’ dari perempuan. Laki-laki seharusnya punya posisi lebih tinggi dibanding perempuan.
Maka, anggapan aneh akan muncul ketika laki-laki ‘kalah’ dari perempuan. masyarakat akan latah ketika melihat ada laki-laki yang menyimpang dari konsep maskulinitas dalam budaya patriarki. Laki-laki korban kekerasan pada akhirnya mendapat cemoohan.
Kok bisa laki-laki jadi korban perkosaan?
Gimana ceritanya laki-laki bisa jadi korban KDRT?
Laki-laki kok lemah. Jadi perempuan aja sana!
Laki-laki kok nggak melawan?
Menang banyak tuh laki-laki.
Dan seterusnya.
Karena anggapan tersebut, muncul istilah toxic masculinity yang merujuk pada terbatasnya laki-laki untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari konsep maskulinitas. Banyak laki-laki enggan melaporkan kasusnya karena malu. Mereka takut dianggap ‘kurang laki’ ketika terbukti menjadi korban kekerasan.
Di sini, kita melihat bahwa sebenarnya sistem patriarki yang kita kenal selama ini bukan hanya tak baik untuk perempuan maupun kelompok marjinal, namun juga laki-laki. Hal yang membuatnya tak baik adalah sifatnya yang opresif dan diskriminatif.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk melegitimasi laki-laki sebagai korban kekerasan dan menegasikan perempuan yang sering menjadi korban kekerasan. Pun, tidak untuk mencari siapa yang patut disalahkan atas berbagai kekerasan yang terjadi karena pada akhirnya laki-laki dan perempuan harus diposisikan setara.
Laki-laki maupun perempuan bisa jadi pelaku maupun korban kasus kekerasan. Siapa saja. Saling menyalahkan bukan solusi. Sejauh ini, banyak perempuan korban kekerasan yang tidak mendapat perlindungan hukum dengan baik. Sebagai sosok yang dipandang tinggi dalam masyarakat patriarki, laki-laki akan lebih sulit berbicara ihwal kasus yang mereka alami.
Kita sepatutnya tak menyalahkan perempuan karena melakukan kekerasan terhadap laki-laki, begitu pun sebaliknya. Musuh nyata kita semua sebenarnya praktik kekerasan itu sendiri. Siapa pun pelakunya, di manapun terjadinya, kekerasan adalah suatu hal yang salah.