Sudah saatnya kita belajar ilmu meninggal tanpa jasad, sebab (akses) makam mulai makin susah didapat
Setelah sekian tahun berusaha punya tempat tinggal sendiri, saya pun beranggapan jika itu adalah salah satu masalah terpelik umat manusia di zaman now. Namun, setelah menyadari bahwa tak hanya hidup yang harus kita pikirkan, saya kira kesulitan memiliki tempat tinggal semasa hidup tak sepelik mendapatkan tempat untuk jasad saat akhirnya kita mangkat.
Beberapa orang bingung membayar kos atau kontrakan. Yang lain sedang merasa terbebani oleh KPR. Bahkan ada juga yang punya kehidupan lebih ekstrem karena tak punya atap untuk bernaung. Masalah tanah alias lahan rupa-rupanya tak hanya berhenti sampai di situ. Karena ia juga ikut mempengaruhi kematian dan persemayamannya. Apalagi tinggal di perkotaan, dan menjadi seorang minoritas. Berat sekali, Bung.
Ya, kita sedang bicara tentang susahnya dapat (akses ke) makam.
Susahnya cari makam
Saya mungkin lebih beruntung. Ada akses ke makam umum, pun jika penuh jasad bisa ditumpuk di makam anggota keluarga yang sudah duluan disemayamkan di sana. Tak perlu keluar duit dan keluarga tak pusing cari lahan. Tapi untuk orang lain, isu ini bikin pelik. Tak jarang ada kasus keluarga sulit mencarikan makam karena kuburan yang ada sudah terlalu sesak, atau aturan-aturan yang ada membuat mereka tak bisa mengistirahatkan jenazah di liang lahat.
Beberapa agama dan kepercayaan punya metode pembakaran raga, sehingga abunya bisa disimpan. Ada juga yang berusaha dan tengah menempuh jalur agak tak biasa dan ra umum kancane. Seperti dibekukan dengan harapan akan bisa dihidupkan lagi, abu dibuang ke luar angkasa, ide menjadikan jasad sebagai pupuk, menyumbangkan tubuhnya untuk penelitian, hingga meninggal tanpa memiliki jasad. Dan untuk yang terakhir itu, saya amat sangat mendukungnya.
Ada yang menyebutnya sebagai moksa. Meski dalam agama Hindu dan Buddha, moksa sendiri bukanlah kematian semacam itu: puff, lalu hilang. Moksa di kedua agama tersebut lebih menekankan pada kematian tanpa adanya ikatan lagi dengan dunia dan hal-hal yang dianggap tak penting. Moksa tak mengenal reinkarnasi, pun berbeda dengan perjalanan ke nirwana. Pokoknya kematian yang baik dan jos gandos.
Nah, meninggal tanpa meninggalkan jasad adalah sebuah kepercayaan, bisa juga disebut mitos, dan akan menyenangkan jika saya benar-benar bisa melakukannya. Bagi kaum yang punya makam keluarga, punya akses ke pemakaman umum, dan punya uang, saya kira tak perlu memiliki ilmu ini. Tapi, saya kira banyak orang yang punya problema soal lahan pemakaman dan perlu ilmu semacam ini. Tentu akan sangat amat membantu.
Harus dikubur di tanah. Masalahnya, di mana?
Saya tahu, ada makam vertikal, bahkan ada yang punya ide bikin makam di luar angkasa. Namun, beberapa agama dan kepercayaan melarang hal itu. Pokoknya manusia harus dikubur dalam tanah. Kita tahu sendiri, tanah sudah tak bisa diproduksi lagi. Yang terjadi hanyalah penggunaan dan pembangunan. Padahal, banyak penggunaan tanah yang tak bertanggung jawab dan hanya merugikan bumi beserta makhluk-makhluk di dalamnya.
Kita masih harus bertahan dan berusaha hidup di tengah lingkungan yang semrawut. Penggundulan hutan, ketiadaan tempat tinggal, eksploitasi, dan masih banyak lagi. Mencari rumah saat hidup sudah susah, dan rupanya tak ada bedanya saat kita mati. Mencari kos yang cocok, mungkin lebih berat dari mencari makam yang “ada saja sudah bersyukur”.
Seandainya saja ada yang mau mengajari ilmu semacam “moksa” tersebut, tentu saya yang pertama daftar duluan. Siapa tahu di antara pembaca ada yang bisa, tolong saya dikabari. Karena akan membahagiakan jika kita tak perlu merepotkan siapa pun. Keluarga tak perlu bingung saat memakamkan. Lahan yang makin sulit dicari dan dimiliki sudah tak jadi persoalan. Tak perlu banyak biaya juga. Lagi pula, mau berharap pada siapa? Saat kita hidup saja tak diperhatikan, apalagi kalau sudah tak ada.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Balada Hidup di Jogja: Hidup Susah, Mati Lebih Susah