Lagu “Polisi Skena”: Sentilan Gemas Sir Dandy untuk para Polisi Skena

Soal Selera Musik, Kita Adalah Korban Dikotomi Media

Diskursus mengenai dunia musik akhir-akhir ini terlalu susah untuk ditebak. Perdebatan mengenai indie-mainstream yang sebenarnya sudah tidak relevan, lalu perdebatan soal selera musik yang paling keren, dan cara menikmati musik mendominasi pembicaraan mengenai musik. Sampai-sampai muncul sebuah julukan kepada orang yang merasa sok keren dan sok mengerti selera musik dan cara menikmati musik dengan julukan “polisi skena”.

Meskipun istilah “polisi skena” ini sudah lama ada dan menjamur di lingkungan para penikmat musik. Fenomena inilah yang pada akhirnya selalu muncul di mana-mana. Khususnya ketika kita sudah membicarakan musik.

Berangkat dari fenomena inilah, dedengkot dari Teenage Death Star, Sir Dandy, mencoba meresponsnya melalui sebuah lagu melalui proyek solonya. Lagu yang diberi judul Polisi Skena ini mengkritik bagaimana perilaku para “polisi skena” yang masih saja banyak ditemukan di komunitas musik. Menggandeng Riko Prayitno (Mocca) sebagai produser, lagu ini memunculkan suasana baru dalam musiknya. Terbukti dengan adanya sedikit nuansa new wave dan electronic di dalamnya. Meskipun sedikit berbeda dari musik-musik Sir Dandy sebelumnya, tetapi ia tetap mempertahankan gaya humorisnya dalam lirik-liriknya. Mari kita bahas sedikit.

Lagu ini dibuka dengan lirik, “Peradaban diciptakan untuk kemajuan. Bukan untuk kebencian, apalagi perpecahan.” Di bagian awal ini, Sir Dandy masih bertutur secara general dan belum masuk konteks.

Lalu ada, “Yang patah tumbuh, yang hilang lapor polisi. Semua perbedaan, bisa dicarikan solusi.” Kalimat pertama, kita tahu itu adalah plesetan dari lagu “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti” dari Banda Neira. Dan saya sendiri tidak tahu apa maksudnya. Lalu kalimat selanjutnya, ibarat sebuah intisari dari semua perdebatan ini, bahwa perbedaan tidak perlu dipertengkarkan, lebih baik dicarikan solusi.

Sir Dandy juga menegaskan mengenai kewajaran bahwa setiap orang mempunyai selera yang sama dan tidak perlu dipaksa. Lirik, “Selera tiap orang tak akan pernah sama. Biarkan begitu jangan dipaksa-paksa” sudah jelas arahnya.

Lirik selanjutnya, ia juga mengkritik mengenai imbas yang cukup parah dari berdebatan masalah selera ini yang berujung saling menghujat satu sama lain yang tidak perlu dalam, “Pribadi berpendapat kok malah jadi debat. Akibat merasa hebat, berujung saling hujat.”

Di bagian interlude, Sir Dandy mengajak Jimi Multhazam, pentolan dari unit new wave, The Upstairs untuk menyumbang suaranya. Bukan untuk bernyanyi, tetapi semacam memberikan speech. Begini speech-nya, “Hey, kamu itu yang di depan! Jangan diam-diam saja, gerakkan badannya! Coba itu ke atas! Ayo, semua! Kalau kamu diam-diam saja, pergi sana ke perpustakaan!” Melalui speech ini, Sir Dandy (lewat suara Jimi Multhazam) juga mengkritik para “polisi skena” yang ada di konser-konser, yang suka mengatur cara orang menikmati musik. Padahal, seharusnya tidak ada aturan baku bagaimana menikmati musik. Mau di depan, di belakang pun boleh. Mau duduk, diam saja, berjoget, moshing, stage diving, dan semacamnya juga bebas.

Bagian verse ketiga, ia juga masih bertutur agak general, dan masih memaparkan, “Tiap orang punya cara menikmati musik. Beda-beda tak mengapa, malah jadi unik. Berdansa dan berpakaian, berlomba tampil nyentrik.”

Lalu di akhir verse ketiga, ia seakan berpesan, “Yang aktif yang pasif, tolong jangan saling usik.” Penggalan lirik ini juga berarti bahwa kita bisa bermusik, menikmati musik tanpa perlu mengusik atau menyenggol penikmat musik atau musisi lain.

Di bagian chorus, Sir Dandy hanya bersenandung mengingatkan, “Polisi skena ada di mana-mana. Bisa jadi siapa saja. Aku, kamu, dan mereka.” Ini perlu disadari juga bahwa kita sebagai penikmat musik, kadang secara tidak sadar (atau secara sadar) sok mendewakan selera musik kita dan sok mengerti cara menikmati musik. Kita sebenarnya juga punya potensi untuk menjadi polisi skena.

Di bagian verse keempat setelah chorus, ia memberi contoh imbas dari perdebatan selera musik yang mengorbankan hal-hal yang tidak berdosa. “Kopi dan senja yang tak berdosa, jadi korban mereka yang berkuasa. Dijadikan bahan bully-an berkedok nyanyian. Kalau sudah begitu tak ada yang melawan.” Lirik ini sudah sangat jelas dan gamblang menjelaskan soal kopi dan senja yang pada awalnya tidak ada kaitan langsung dengan musik, akhirnya terseret ke dalam perdebatan tak mutu ini. Saya merepresentasikan penggalan lirik ini sebagai kritikan atas hinaan terhadap genre musik folk, yang katanya identik dengan senja dan kopi. Padahal, folk tidak ada urusannya dengan senja dan kopi.

Lebih lanjut, Sir Dandy juga bertutur mengenai para “polisi skena” yang sebenarnya mereka tidak punya kuasa apa-apa untuk mengatur selera orang. Lirik, “Komunis bukan, diktator bukan, ketua yayasan juga bukan, pemegang saham jelas juga bukan. Lalu kenapa mesti banyak peraturan? Apakah kamu sedang bermain Tuhan?” sudah jelas memaparkan, kadang orang dengan pengetahuan musik yang sedikit lebih banyak saja bisa sok mengatur cara kita menikmati musik.

Lagu Polisi Skena ini tentunya jadi sentilan bagi para “polisi skena”, baik di dunia nyata, maupun dunia maya. Sir Dandy tampaknya juga sudah gemas dengan mereka ini. Dan tentunya gemas dengan perdebatan musik yang makin tidak esensial.

Oh iya, lagu ini akan tersedia di layanan musik digital pada 15 Mei 2020. Namun, Sir Dandy sudah mengunggah video liriknya di kanal YouTube Sir Dandy pada 6 Mei kemarin. Jadi, silakan dinikmati, dan untuk para “polisi skena”, jangan tersinggung dengan lagunya, ya!

BACA JUGA Mari Sambut Lagu ‘Virus Corona’ Bikinan Rhoma Irama atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version