Sering sekali saya temui dalam setiap karya tulis mahasiswa, entah itu seperti makalah, artikel, atau bahkan skripsi sekalipun yang memiliki jumlah kutipan sangat banyak. Bahkan pernah saya temui artikel yang daftar pustakanya hingga berjumlah 2,5 persen halaman bahkan lebih dari total jumlah keseluruhan halaman artikel tersebut. Pikir saya, sudah kayak zakat saja 2,5 persen.
Sebenernya mengutip dalam suatu karya tulis itu nggak begitu bermasalah bagi saya. Hanya saja jika mengutipnya keterlaluan nggak tau diri, keblinger itu namanya. Mbok ya dipikir-pikir dulu, apalagi yang melakukan itu para akademisi seperti mahasiswa.
Pihak dosen sendiri sering menuntut agar mahasiswanya memberi banyak kutipan dalam karya tulis. Pasalnya, menurutnya bahwa kutipan yang banyak menunjukkan sebanyak itu pula jumlah bacaannya.
Menurut saya nggak tepat juga jika kutipan menunjukkan jumlah bacaan seseorang. Bisa jadi membacanya hanya satu kalimat saja untuk kepentingan kutipan, sedangkan selebihnya nggak dibaca. Bisa jadi juga seseorang memiliki banyak bacaan tapi merasa nggak pantas untuk menumpuk kutipan dalam karya tulis.
Oleh karena itu, banyaknya kutipan nggak menjamin sebanyak itu juga bacaan seseorang. Apalagi jika kutipan tersebut bertumpuk dan malah menjenuhkan.
Kutipan yang bertumpuk-tumpuk layaknya beruang dalam film We Bare Bears biasanya sering ditemui ketika penulis sedang menjelaskan konsep tertentu. Jadi, penulis memaparkan definisi dari berbagai tokoh mengenai konsep yang hendak dijelaskannya.
Ambillah contoh seperti definisi masyarakat, “Menurut tokoh A bahwa pengertian dari masyarakat adalah bla bla bla. Sedangkan, menurut tokoh B adalah bla bla bla. Berbeda dengan sebelumnya, tokoh C juga menjelaskan bahwa bla bla bla. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian masyarakat adalah bla bla bla.”
Coba deh kalian renungi sejenak contoh mengutip tersebut. Apakah kalian sadar bahwa gagasan hanya dipenuhi oleh kutipan pendapat orang lain. Sedangkan pendapat pribadi hanyalah secuil. Lah, kalau begitu apa bedanya dengan tugas merangkum yang biasanya dilakukan anak SD? Toh, itu juga hanya sekadar memaparkan konsep, kemudian menyimpulkannya.
Justru menurut saya perilaku mengutip semacam itu malah mematikan kreativitas seseorang. Sehingga, akhirnya apa yang hendak disampaikan malah menjadi kabur, ditambah minimnya eksplorasi gagasan yang orisinil.
Selain itu, seolah-olah berpendapat secara pribadi itu terlalu dianggap tabu. Terutama dalam karya tulis ilmiah di ruang akademik. Setiap hendak berpendapat pasti harus menyisipkan kutipan atau pendapat dari tokoh lain, seperti “hal ini sesuai dengan pendapat tokoh A yang menjelaskan bla bla bla.”
Lah, kalau begitu ya sama saja bohong, dong. Buat apa berpendapat menurut pribadi jika akhir-akhirnya pendapat tersebut nggak jauh berbeda dengan pendapat tokoh lain. Mending langsung saja sekalian nggak usah berpendapat pribadi, kalau memang terlalu dungu untuk menghasilkan gagasan orisinil.
“Tapi, kan kutipan itu sebagai penguat keilmiahan atau penguat argumen agar suatu argumen dapat memiliki landasan” ucap kalian yang mungkin nggak sepakat dengan saya.
Kalau memang ingin memperkuat argumen, maka gunakan retorika yang kuat pula. Jika perlu, sajikan juga data-data empiris yang dapat menjadi penguat atas gagasan yang hendak disampaikan. Agar nggak selalu bergantung pada kutipan-kutipan pendapat tokoh lain.
Jika kita, terutama para akademisi masih bergantung pada berbagai kutipan yang bertumpuk sebagai latar belakang gagasan kita, lantas apa bedanya kita dengan akun media sosial yang menyajikan tumpukan kutipan yang hanya mengejar followers? Sama-sama kosong nggak bermakna.
Di sini masalahnya hanya satu, yakni keterlaluan dalam mengutip. Mbok ya, sewajarnya dalam mengutip. Setidaknya lebih banyak menyampaikan gagasan pribadi yang orisinil dibandingkan dengan hanya mencomot berbagai gagasan orang lain.
Terlebih nggak usah minder dalam berpendapat secara pribadi. Selagi retorika dan data empirisnya kuat, maka argumen kalian setara dengan argumen tokoh-tokoh besar yang biasanya omongannya dijadikan kutipan.
Kecuali, jika memang kutipan dalam karya tulis tersebut gunanya untuk memperbanyak jumlah halaman saja, entah tuntutan atau memang pengin terlihat panjang aja tulisannya. Ya, nggak apa-apa sih kalau kasusnya begitu, tapi ya kelihatan dungu saja.
BACA JUGA Kerupuk, Variabel Penting pada Kuliner Indonesia Namun Sering Tak Dianggap dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.