Baru juga Agustus 2020, Pilkada Sleman masih agak jauh di Desember nanti. Namun, hangatnya sudah terasa. Sudah banyak muncul ledekan-ledekan dan sindiran halus ke calon bupati yang sudah “ditetapkan”, yaitu Kustini Sri Purnomo dan Danang Mahersa. Kalau nggak salah, keduanya diusung oleh PDIP.
Ledekan dan sindirian halus sudah jelas dialamatkan kepada Kustini Sri Purnomo, yang mana adalah istri dari Bupati Sleman sekarang, Sri Purnomo. Dari Bapak, lalu mau lanjut ke Ibu. Istilah dinasti politik langsung hangat terasa. Nggak cuma Gibran anaknya Jokowi di Solo, di Sleman, narasi kayak gitu saya rasa akan makin anget pas deket deket Desember.
Yah, sebagai orang yang nggak terlalu melek politik, saya nggak mau cawe-cawe soal dinasti politik. Biar dibahas sama orang-orang yang ilmu politiknya sundul langit. Iya, ilmu politik yang sumbernya adalah “katanya” itu. Lha wong belum tahu gimana, eh sudah kenceng banget ngeledeknya. Kayak orang bener.
Saya sendiri mau fokus ke Kustini Sri Purnomo saja. Bukan soal politiknya ya, tetapi soal parikan Jawa yang biasa saya temukan ketika baca berita kunjungan Kustini ke Kelompok Wanita Tani (KWT). Parikan itu berbunyi: ‘nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur’.
Parikan itu, kata Wikipedia, adalah salah satu jenis puisi Jawa modern yang serupa dengan pantun Melayu dalam hal wujud spasial dan pola rimanya. Parikan dapat dianggap sebagai puisi rakyat karena hidup dan berkembang di tengah-tengah rakyat.
Parikan ‘nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur’ dari Ibu Kustini ini, bagi saya sangat menarik. Terutama di tengah masa pandemi kayak begini.
Yah, kita tahu dong bagaimana kerja pemerintah di tengah pandemi. Mau dikata bagus kok ya enggak. Mau dikata enggak, eh nanti saya kena ciduk. Intinya, kalau boleh saya bilang, masih belum oke. Terutama untuk masalah harga bahan pangan, misalnya cabai, yang sempat jatuh dan merugikan petani.
Nah, kalau sudah ngomong petani, masalahnya makin pelik. Terkadang, kita melihat semua masalah dari sudut pandang kekotaan, bahkan menjadi kayak Jakarta-sentris. Mau soal ekonomi, sosial-budaya, sampai agama. Seakan-akan, yang “bau kota” itu sophisticated dan sudah pasti bener.
Padahal, di masa-masa pandemi begini, justru melihat kembali ke “hal-hal kecil” itu sangat berarti. Misalnya, kenapa pemerintah nggak dari dulu memaksimalkan ibu-ibu PKK untuk sosoalisasi bahayanya virus corona. Kenapa pemerintah nggak fokus dulu menyelamatkan kehidupan petani sebelum ngomong penyelamatan ekonomi negara?
Oya ding, pemerintah terlalu sibuk meremehkan virus corona ini di awal Januari 2020. Dan mencoba kalem tapi sebetulnya panik tuh ketika Jokowi banyak menggandeng tentara masuk ke dalam badan-badan untuk merespons penyebaran virus corona. Kenapa nggak menggandeng ibu-ibu PKK, pemuda karang taruna, dan para petani?
Sesengit-sengitnya pemuda kepada pemerintah, saya kok yakin, mereka bakal bergerak kalau lingkungannya terancam oleh pandemi. Sebagai makhluk yang menghargai proses komunal, para pemuda akan berhimpun dan berdaya demi keselamatan circle mereka. Misalnya soal pangan.
Nah, di sinilah parikan Jawa yang sering diucapkan Kustini Sri Purnomo menjadi masuk akal sekali. ‘Nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur’. Terkadang, mereka yang ada di desa, para petani, sudah punya semacam sistem untuk mengatasi pagebluk. Mereka sudah siap dengan sistem. Namun, pemerintah memandang sebelah mata dan menjadikan sistem mereka sebagai “cara kuno”.
Saya juga masih punya cadangan keyakinan yang besar kalau manusia bisa melakukan hal-hal ekstrem demi kebaikan. Bahkan bisa kamu bilang radikal. Petani dan ibu-ibu PKK bisa diberdayakan untuk menjadi “pemimpin”. Memimpin anak-anak muda untuk bertanam bahan-bahan pangan secara masif, di pekarangan rumah masing-masing.
Ketika pandemi makin runyam, banyak orang mencoba menanam bahan pangan. Banyak yang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal. Selain karena, mungkin tidak terbiasa dan tidak bisa konsisten. Saya kok curiga, mereka hanya butuh bimbingan, kok. Mereka belum terbiasa ‘nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur’.
Selain memastikan “lumbung masyarakat” tidak asat, anak-anak muda yang dibimbing petani akan menjadi “guru” untuk generasi selanjutnya. Masyarakat kita tidak akan kehilangan jiwa agraris, meski sawah-sawah sudah salin muka menjadi mall, perumahan, atau apartemen. ‘Nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur’.
Ajari masyarakat untuk berdaya. Ajari mereka dengan ilmu, bukan hanya bantuan tunai saja. Lha wong saya nggak masalah anak-anak nggak perlu sekolah sampai Desember, misalnya, untuk diajari menanam bahan pangan secara intensif. Lho, ilmu menanam bahan pangan itu skill yang sangat berharga dan siapa tahu akan berguna kelak ketika gelompang pandemi corona tak juga mereda.
Dari Kustini Sri Purnomo, saya berterima kasih bisa mengenal parikan Jawa ‘nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur’. Saya nggak mau cawe-cawe soal politik. Saya mau berusaha mengambil sisi positif dari sosok calon bupati. Boleh, tho?
BACA JUGA Makan Gorengan Kustini Sambil Nyeplus Lombok Rawit atau tulisan lainnya dari Muhammad Damar Muslim.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.