Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus Pendidikan

Kurikulum Esports: Mengembangkan Minat atau Meningkatkan Elektabilitas?

Nurfathi Robi oleh Nurfathi Robi
2 Desember 2021
A A
kurikulum esports
Share on FacebookShare on Twitter

Kementerian memang sudah meluruskan dengan mengatakan bahwa kurikulum esports yang dimaksud “bisa diterapkan sekolah—secara kontekstual—jika konten tersebut dipandang relevan”. Topik esports masuk sekolah tetaplah sesuatu menarik untuk dibicarakan. Meskipun ya, di antara sekian banyak permasalahan pendidikan Indonesia yang seluas kasih ibu, perkara di atas harusnya jadi pembahasan nomor sekian yang lebih enak diobrolin sambil ngopi, bukan di meja redaksi.

Penggemar skena esports dan streaming, setidaknya barang sekali, pasti pernah mendengar narasi, “Awalnya gue dihujat orang tua karena kebanyakan main game dan bukan belajar.” Entah disadari si publik figur atau tidak, pernyataan tersebut, menurut saya, sangat berbahaya. Belajar, dalam konteks ini adalah sekolah, dan bermain video gim, dalam konteks ini adalah esports dan streaming, diposisikan tak ubahnya seperti Konoha dan Akatsuki: berusaha saling melumpuhkan dan melenyapkan.

Cara berpikir ini berangkat dari argumen populer di kalangan orang tua satu-dua dekade silam. “Jangan main game terus nanti goblok.” atau “Mbok ya kayak si A itu lo, minggu dipake buat belajar bukan dipake buat nge-game.” Tunggu dulu. Jangan keburu menuding kalau argumen ini mengemuka dari pemikiran kolot. Coba tanyakan ke atlet Starcraft atau Street Fighter zaman baheula, apakah duit juara mereka dulu cukup untuk dijadikan modal rabi?

Saya tidak ingin berlarut-larut membenturkan dan mengglorifikasi dikotomi tersebut. Yang ingin saya katakan jelas: enam puluh tiga tahun setelah video gim Tennis for Two diciptakan oleh William Higinbotham, umat manusia masih belum menemukan cara untuk menutup celah besar di antara pendidikan dan Mobile Legends.

Maka dari itu, isu “kurikulum esports” mengemuka di dunia maya sebenarnya perlu disambut tangan terbuka dan tangis haru. Gurihnya lagi, wacana ini nggak muncul dari kalangan atlet dan streamer yang populer di kalangan milenial, melainkan dari PBESI dan Kemendikbud Ristek. Mbok ya dari dulu, Pakdhe.

Ini bisa diartikan sebagai itikad baik dari negara untuk menjembatani dua entitas yang selama ini dianggap berseberangan. Pendidikan dan video gim tidak hanya sekadar melangkah maju bersama-sama, tapi juga beriringan! “Yuk, demi masa depan yang lebih baik,” kata Pendidikan sambil menggenggam tangan Selena dengan mesra. So sweet~

Nah sekarang, hal yang patut diuji, adalah seberapa serius mereka dengan omongan mereka sendiri. Idenya bagus, tujuannya baik, dan yang paling penting: relevan dengan milenial. Pertanyaannya tinggal bagaimana aplikasinya di sekolah? Ada dua masalah yang jadi batu sandungan terbesar wacana ini.

Masalah pertama, birokrasi senang dengan yang namanya overgeneralisasi.

Baca Juga:

Menjamurnya Bimbel Bukan karena Pendidikan Kita Ampas, tapi karena Mengajar di Bimbel Memang Lebih Mudah

Memahami Matematika Dasar Itu Wajib, Sekalipun Kalian Menganggap Matematika Nggak Berguna dalam Kehidupan Nyata

Pada tulisan saya sebelumnya tentang Aturan PBESI, saya menyoroti bagaimana pemerintah masih suka melakukan pengambilan kesimpulan yang tergesa-gesa, meleset sana-sini, dan cenderung terkesan offside. Asosiasi esports tersebut, misalnya, ngawur mencampuradukkan konsep dan pada akhirnya malah menghasilkan definisi video gim yang kelewat lucu dan menggemaskan.

Bagaimana bisa video gim dipukul rata sebagai “permainan digital yang kompetitif pemain versus pemain”? Seandainya Genshin Impact adalah seorang anak, dia pasti akan merengek: “Terus aku apa, Bapak?” Hiks.

Hal serupa bukan tidak mungkin juga akan terjadi di tingkat sekolah. Misalnya, sekolah hanya mengakui Mobile Legends dan Free Fire sebagai satu-satunya esports yang “resmi” dan pantas jadi materi pembelajaran hanya karena melihat sekilas tren YouTube. Atau jika esports dijadikan ekstrakulikuler, bagaimana cara mereka mengatasi perbedaan, misalnya, antara Free Fire dan PUBG?

Esports bukanlah sepak bola yang aturan mainnya sama, entah di Indonesia maupun Wakanda. Sepak bola tentu punya penyesuaian tersendiri sesuai konteks budaya, tapi cara bermainnya tetap sama. Esports, sebaliknya, sangat beragam. Dalam satu genre saja, battle royale misalnya, ada Apex Legends dan PUBG yang “warna”-nya berbeda.

Menarik untuk disimak, bagaimana cara sekolah menyikapi perbedaan ini di tataran kurikulum pokok dan ekstrakurikuler. Apakah minat dan bakat siswa akan dipukul rata dan dijejalkan ke dalam satu wacana esports populer dan udah gitu aja? Bagaimana sekolah mewadahi siswa yang jago bermain Halo: Infinite yang rasio peminatnya di Indonesia, berdasarkan viewer YouTube, adalah satu berbanding tiga puluh ribu dengan Mobile Legends?

Generalisasi memang jalan tercepat yang disukai para birokrat termasuk birokrat sekolah. Akan tetapi, generalisasi tidak punya tempat di ranah esports. Dan sekolah harus mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi mereka sendiri. Apakah sumber daya sekolah, termasuk guru dan pemangku kurikulum, sanggup untuk mengejar dinamika esports yang super kencang dan sangat beragam itu?

Masalah kedua, struktur esports Indonesia masih lemah.

Ada dua hal yang ingin saya garis bawahi terlebih dahulu. Pertama, konteks masalah yang saya maksud di sini adalah kurikulum ekstrakurikuler. Kedua, struktur esports mencakup pelaksanaan kompetisi, yang sejauh ini, tidak tahan lama dan eksklusif, jauh dari kata “merakyat”.

Dahulu, di SMA saya, olahraga flag football butuh waktu dua tahun sebelum akhirnya diakui oleh pihak sekolah. Selama itu pula, kenalan saya urunan buat ikut turnamen, diam-diam menyelipkan poster perekrutan, dan dianggap membolos karena kesulitan mendapatkan izin dari sekolah. Baru setelah mencatatkan prestasi, tim flag football diakui sebagai ekskul resmi. Seandainya, seandainya lho ya, hal ini terjadi pada ekskul esports. Dua tahun adalah waktu yang cukup lebar bagi sebuah video gim esports untuk bubar jalan.

Hal yang perlu ditekankan, adalah minimnya jaminan yang bisa diberikan esports. Esports mengendarai tren untuk bertahan hidup, itu kenyataannya. Namun, kita tahu tren itu kayak asbes, bisa awet, juga bisa runtuh kapan saja. Ini tentunya lampu merah bagi sekolah yang ingin menyelipkan esports sebagai bagian dari pembelajaran ekstrakurikuler.

Kompetisi berjenjang adalah solusi untuk mewadahi talenta-talenta terbaik esports. Akan tetapi, para elit esport sepertinya mengamini jika risikonya terlalu besar untuk ditanggung. Katakanlah sudah membuat kompetensi berjenjang, mulai dari SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Sudah keluar modal yang tentu tidak sedikit, tapi video gim yang jadi dasar esportsnya justru hilang di telan bumi. Contohnya, Overwatch di Amerika Serikat.

Risiko ini membuat saya merasa masuk akal jika banyak orang menyatakan pikir-pikir untuk merancang sebuah skena kompetisi esports yang berjenjang dan berkelanjutan. Absennya kompetisi seperti ini, pada akhirnya membuat ekstrakulikuler esports di sekolah nggak akan ke mana-mana. Lha wong kompetisi tidak pasti, jadwal turnamen tidak terintegrasi dengan kalender pendidikan, standardisasi yang nggak jelas, dan lain sebagainya.

Maka dari itulah, ketika PBESI yakin betul dengan kurikulum esports, jaminannya apa? Sanggupkan melaksanakan kompetensi berjenjang yang nggak lekang oleh waktu? Bisakah PBESI menciptakan iklim kompetitif yang mendorong bakat siswa hingga ke level tertinggi? Bisakah mereka mengorbitkan talenta-talenta potensial para siswa untuk, pada akhirnya, menjamin partisipasi mereka di turnamen kasta tertinggi nasional sekelas Mobile Legends Professional League (MPL) dan PUBG Mobile Professional League (PMPL) kelak?

Doa saya: semoga PBESI dan Kemendikbud Ristek serius dengan omongan mereka sehingga wacana ini nggak sekadar jadi batu loncatan elektabilitas semata.

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 2 Desember 2021 oleh

Tags: Esportskemendikbud ristekkurikulumPBESI
Nurfathi Robi

Nurfathi Robi

Bergabung dengan DNA E-Sports sejak 2019. Berperan sebagai analis dan samsak tinju. Bergulat di lane atas Land of Dawn.

ArtikelTerkait

Kurikulum Merdeka Gurunya Merdeka, Muridnya Terjajah (Unsplash)

Kurikulum Merdeka: Kurikulum yang Membuat Guru Merasa Merdeka, tapi Malah Menjajah para Siswa

8 November 2023
Prilly Latuconsina Jadi Dosen Praktisi UGM, Apa Itu Dosen Praktisi Terminal Mojok

Prilly Latuconsina Jadi Dosen Praktisi UGM, Apa Itu Dosen Praktisi?

29 September 2022
tim mobile legends mpl season 6 musim 6 terbaik saat ini review analisis tim mojok.co

5 Tim Mobile Legends Terbaik di Indonesia Musim Ini

13 September 2020
Kurikulum Merdeka Belajar Membunuh Pramuka? (Unsplash)

Kurikulum Merdeka Membunuh Pramuka?

1 Maret 2024
Seharusnya Utang Piutang Masuk dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia terminal mojok.co

Seharusnya Utang Piutang Masuk dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia

22 Februari 2021
atlet esports

Menjadi Atlet Esports Itu Tidak Mudah!

13 Mei 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Linux Menyelamatkan Laptop Murah Saya dari Windows 11, OS Paling Menyebalkan

Linux Menyelamatkan Laptop Murah Saya dari Windows 11, OS Paling Menyebalkan

24 Desember 2025
Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

22 Desember 2025
Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

26 Desember 2025
Alasan Posong Temanggung Cocok Dikunjungi Orang-orang yang Lelah Liburan ke Jogja

Alasan Posong Temanggung Cocok Dikunjungi Orang-orang yang Lelah Liburan ke Jogja

27 Desember 2025
Opel Blazer, Motuba Nyaman yang Bikin Penumpang Ketiduran di Jok Belakang

Opel Blazer, Motuba Nyaman yang Bikin Penumpang Ketiduran di Jok Belakang

23 Desember 2025
Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.