Kementerian memang sudah meluruskan dengan mengatakan bahwa kurikulum esports yang dimaksud “bisa diterapkan sekolah—secara kontekstual—jika konten tersebut dipandang relevan”. Topik esports masuk sekolah tetaplah sesuatu menarik untuk dibicarakan. Meskipun ya, di antara sekian banyak permasalahan pendidikan Indonesia yang seluas kasih ibu, perkara di atas harusnya jadi pembahasan nomor sekian yang lebih enak diobrolin sambil ngopi, bukan di meja redaksi.
Penggemar skena esports dan streaming, setidaknya barang sekali, pasti pernah mendengar narasi, “Awalnya gue dihujat orang tua karena kebanyakan main game dan bukan belajar.” Entah disadari si publik figur atau tidak, pernyataan tersebut, menurut saya, sangat berbahaya. Belajar, dalam konteks ini adalah sekolah, dan bermain video gim, dalam konteks ini adalah esports dan streaming, diposisikan tak ubahnya seperti Konoha dan Akatsuki: berusaha saling melumpuhkan dan melenyapkan.
Cara berpikir ini berangkat dari argumen populer di kalangan orang tua satu-dua dekade silam. “Jangan main game terus nanti goblok.” atau “Mbok ya kayak si A itu lo, minggu dipake buat belajar bukan dipake buat nge-game.” Tunggu dulu. Jangan keburu menuding kalau argumen ini mengemuka dari pemikiran kolot. Coba tanyakan ke atlet Starcraft atau Street Fighter zaman baheula, apakah duit juara mereka dulu cukup untuk dijadikan modal rabi?
Saya tidak ingin berlarut-larut membenturkan dan mengglorifikasi dikotomi tersebut. Yang ingin saya katakan jelas: enam puluh tiga tahun setelah video gim Tennis for Two diciptakan oleh William Higinbotham, umat manusia masih belum menemukan cara untuk menutup celah besar di antara pendidikan dan Mobile Legends.
Maka dari itu, isu “kurikulum esports” mengemuka di dunia maya sebenarnya perlu disambut tangan terbuka dan tangis haru. Gurihnya lagi, wacana ini nggak muncul dari kalangan atlet dan streamer yang populer di kalangan milenial, melainkan dari PBESI dan Kemendikbud Ristek. Mbok ya dari dulu, Pakdhe.
Ini bisa diartikan sebagai itikad baik dari negara untuk menjembatani dua entitas yang selama ini dianggap berseberangan. Pendidikan dan video gim tidak hanya sekadar melangkah maju bersama-sama, tapi juga beriringan! “Yuk, demi masa depan yang lebih baik,” kata Pendidikan sambil menggenggam tangan Selena dengan mesra. So sweet~
Nah sekarang, hal yang patut diuji, adalah seberapa serius mereka dengan omongan mereka sendiri. Idenya bagus, tujuannya baik, dan yang paling penting: relevan dengan milenial. Pertanyaannya tinggal bagaimana aplikasinya di sekolah? Ada dua masalah yang jadi batu sandungan terbesar wacana ini.
Masalah pertama, birokrasi senang dengan yang namanya overgeneralisasi.
Pada tulisan saya sebelumnya tentang Aturan PBESI, saya menyoroti bagaimana pemerintah masih suka melakukan pengambilan kesimpulan yang tergesa-gesa, meleset sana-sini, dan cenderung terkesan offside. Asosiasi esports tersebut, misalnya, ngawur mencampuradukkan konsep dan pada akhirnya malah menghasilkan definisi video gim yang kelewat lucu dan menggemaskan.
Bagaimana bisa video gim dipukul rata sebagai “permainan digital yang kompetitif pemain versus pemain”? Seandainya Genshin Impact adalah seorang anak, dia pasti akan merengek: “Terus aku apa, Bapak?” Hiks.
Hal serupa bukan tidak mungkin juga akan terjadi di tingkat sekolah. Misalnya, sekolah hanya mengakui Mobile Legends dan Free Fire sebagai satu-satunya esports yang “resmi” dan pantas jadi materi pembelajaran hanya karena melihat sekilas tren YouTube. Atau jika esports dijadikan ekstrakulikuler, bagaimana cara mereka mengatasi perbedaan, misalnya, antara Free Fire dan PUBG?
Esports bukanlah sepak bola yang aturan mainnya sama, entah di Indonesia maupun Wakanda. Sepak bola tentu punya penyesuaian tersendiri sesuai konteks budaya, tapi cara bermainnya tetap sama. Esports, sebaliknya, sangat beragam. Dalam satu genre saja, battle royale misalnya, ada Apex Legends dan PUBG yang “warna”-nya berbeda.
Menarik untuk disimak, bagaimana cara sekolah menyikapi perbedaan ini di tataran kurikulum pokok dan ekstrakurikuler. Apakah minat dan bakat siswa akan dipukul rata dan dijejalkan ke dalam satu wacana esports populer dan udah gitu aja? Bagaimana sekolah mewadahi siswa yang jago bermain Halo: Infinite yang rasio peminatnya di Indonesia, berdasarkan viewer YouTube, adalah satu berbanding tiga puluh ribu dengan Mobile Legends?
Generalisasi memang jalan tercepat yang disukai para birokrat termasuk birokrat sekolah. Akan tetapi, generalisasi tidak punya tempat di ranah esports. Dan sekolah harus mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi mereka sendiri. Apakah sumber daya sekolah, termasuk guru dan pemangku kurikulum, sanggup untuk mengejar dinamika esports yang super kencang dan sangat beragam itu?
Masalah kedua, struktur esports Indonesia masih lemah.
Ada dua hal yang ingin saya garis bawahi terlebih dahulu. Pertama, konteks masalah yang saya maksud di sini adalah kurikulum ekstrakurikuler. Kedua, struktur esports mencakup pelaksanaan kompetisi, yang sejauh ini, tidak tahan lama dan eksklusif, jauh dari kata “merakyat”.
Dahulu, di SMA saya, olahraga flag football butuh waktu dua tahun sebelum akhirnya diakui oleh pihak sekolah. Selama itu pula, kenalan saya urunan buat ikut turnamen, diam-diam menyelipkan poster perekrutan, dan dianggap membolos karena kesulitan mendapatkan izin dari sekolah. Baru setelah mencatatkan prestasi, tim flag football diakui sebagai ekskul resmi. Seandainya, seandainya lho ya, hal ini terjadi pada ekskul esports. Dua tahun adalah waktu yang cukup lebar bagi sebuah video gim esports untuk bubar jalan.
Hal yang perlu ditekankan, adalah minimnya jaminan yang bisa diberikan esports. Esports mengendarai tren untuk bertahan hidup, itu kenyataannya. Namun, kita tahu tren itu kayak asbes, bisa awet, juga bisa runtuh kapan saja. Ini tentunya lampu merah bagi sekolah yang ingin menyelipkan esports sebagai bagian dari pembelajaran ekstrakurikuler.
Kompetisi berjenjang adalah solusi untuk mewadahi talenta-talenta terbaik esports. Akan tetapi, para elit esport sepertinya mengamini jika risikonya terlalu besar untuk ditanggung. Katakanlah sudah membuat kompetensi berjenjang, mulai dari SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Sudah keluar modal yang tentu tidak sedikit, tapi video gim yang jadi dasar esportsnya justru hilang di telan bumi. Contohnya, Overwatch di Amerika Serikat.
Risiko ini membuat saya merasa masuk akal jika banyak orang menyatakan pikir-pikir untuk merancang sebuah skena kompetisi esports yang berjenjang dan berkelanjutan. Absennya kompetisi seperti ini, pada akhirnya membuat ekstrakulikuler esports di sekolah nggak akan ke mana-mana. Lha wong kompetisi tidak pasti, jadwal turnamen tidak terintegrasi dengan kalender pendidikan, standardisasi yang nggak jelas, dan lain sebagainya.
Maka dari itulah, ketika PBESI yakin betul dengan kurikulum esports, jaminannya apa? Sanggupkan melaksanakan kompetensi berjenjang yang nggak lekang oleh waktu? Bisakah PBESI menciptakan iklim kompetitif yang mendorong bakat siswa hingga ke level tertinggi? Bisakah mereka mengorbitkan talenta-talenta potensial para siswa untuk, pada akhirnya, menjamin partisipasi mereka di turnamen kasta tertinggi nasional sekelas Mobile Legends Professional League (MPL) dan PUBG Mobile Professional League (PMPL) kelak?
Doa saya: semoga PBESI dan Kemendikbud Ristek serius dengan omongan mereka sehingga wacana ini nggak sekadar jadi batu loncatan elektabilitas semata.
Sumber Gambar:Â Pixabay