Pertama kali mendengar Paus Fransiskus akan memimpin misa akbar di Stadion GBK Kamis (5/9) mendatang, saya tercekat. Bagaimana tidak, misa itu akan dihadiri oleh 90.000 umat Katolik dari berbagai penjuru Indonesia. Di dalam benak saya, masa sebanyak itu hanya memungkinkan ketika ada pertandingan bola atau konser penyanyi ternama saja.
Saya bukan umat Katolik, tapi cukup akrab dengan keyakinan yang satu ini ini. Saya menghabiskan 6 tahun pendidikan dasar di SD Katolik. Hal itu membuat saya tidak begitu kaget ketika harus menempuh kuliah di universitas Katolik. Namun, bertahun-tahun menempuh pendidikan di instansi Katolik tidak otomatis menjadikan saya benar-benar relate kehadiran Paus Fransiskus ke Indonesia.
Saya memahami Paus merupakan sosok yang penting bagi umat Katolik yang tersebar di berbagai negara. Saking pentingnya, tindak tanduk beliau patut diperhitungkan dalam konstelasi politik dunia. Namun, saya tetap saja kurang paham, kenapa ribuan umat Katolik begitu antusias menantikan kehadiran beliau. Rasa penasaran ini saya tanyakan kepada seorang kawan karib yang merupakan umat Katolik taat.
Kunjungan yang langka
Dia menjelaskan secara singkat, tapi cukup bikin saya menanggukan kepala berkali-kali. Bagi umat Katolik Indonesia, kesempatan mengikuti misa yang dipimpin langsung oleh seorang paus adalah kesempatan langka. Memang sih, umat bisa mengikuti misa yang dipimpin langsung di Vatikan. Namun, kesempatan itu hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang yang berprivilese secara ekonomi. Membayangkan tiket pesawat bolak-balik Indonesia-Vatikan dan akomodasi selama di sana cukup membuat dompet bergidik ngeri.
Itu mengapa, ketika Paus Fransiskus melakukan perjalanan apostolik ke Indonesia 3-6 September 2024 ini, umat Katolik menyambutnya dengan antusias. Bagaimanapun juga, biaya ke Jakarta jauh lebih murah daripada ke Vatikan sana. Apalagi kunjungan ini adalah yang pertama setelah 35 tahun lalu pimpinan umat Katolik dunia menyambangi Indonesia. Kunjungan terakhir dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II yang berlangsung pada 8-12 Oktober 1989.
Di sisi lain, umat memahami bahwa usia Paus Fransiskus tidak lagi muda. Dilansir dari berbagai sumber, tahun ini usianya memasuki 87 tahun. Artinya, mobilitas Paus Fransiskus memang sudah terbatas. Padahal, umat katolik di dunia ini tersebar di berbagai negara. Dengan kata lain, kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia hampir tidak mungkin terjadi lagi kelak.
Kombinasi alasan-alasan itu menjadikan kunjungan Paus Fransiskus kali ini semakin spesial. Bahkan, misa akbar di GBK disiarkan secara langsung supaya bisa diikuti oleh gereja-gereja paroki di berbagai daerah di Indonesia. Jadi, walau tidak hadir secara langsung di lokasi, umat Katolik di Indonesia tetap bisa mengikuti misa dan menerima komuni kudus. Alasan di atas sedikit banyak membantu saya memahami betapa spesialnya momentum ini dari sudut pandang umat Katolik.
Paus Fransiskus sosok dengan banyak gebrakan
Sementara di mata pegiat kemanusian dan keberagaman, Paus Fransiskus memang sosok yang punya banyak gebrakan. Itu mengapa kehadiran juga tetap Meneladani namanya, Santo Francis dari Asisi, Paus Fransiskus banyak melayani mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sikapnya ini tidak pernah berubah sejak dia melayani di gereja Buenos Aires. Di masa kepemimpinannya sebagai paus, dia mengambil banyak langkah yang mengutamakan nilai kemanusiaan. Salah satunya, permintaan maaf terhadap masyarakat pribumi Kanada atas keterlibatan Gereja Katolik dalam genosida kultural.
Gebrakan juga dia lakukan dalam kunjungan ke Indonesia, tercermin dari kesederhanaan yang ditampilkan. Pemimpin umat Katolik di dunia itu memilih mengunjungi Indonesia menggunakan pesawat komersil. Dia juga minta dijemput menggunakan mobil yang banyak digunakan warga Indonesia, Innova. Penginapannya pun bukan hotel berbintang, cukup menginap di Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta.
Kesederhanaan seperti itu terasa asing bagi saya. Sebagai warga Indonesia, saya terlalu sering dicekoki berita pemimpin negeri ini, dan anggota keluarganya, memanfaatkan akomodasi serba mahal dan mewah ketika bepergian. Kesederhanaan yang ditampilkan oleh Paus Fransiskus seharusnya bisa mengetuk hati banyak pihak, terutama pemimpin negeri ini, untuk tetap sederhana.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Kritik untuk Gereja Katolik: Kami Ingin Membangun Peradaban, tapi Gereja Tidak Membangun Kami
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.