Kakak saya selama ini tinggal di Jawa. Namun, belum lama ini dia harus merantau ke Banjarmasin, Kota Seribu Sungai yang terletak di Kalimantan Selatan. Jelas dia mengalami culture shock, termasuk terhadap Kuliner Banjarmasin.
Saat awal-awal merantau, dia terperangah dan bingung. Banyak hal harus disesuaikan. Sisi positifnya, pengalaman kuliner kakak saya kian kaya. Tidak melulu makanan yang selama ini dia cicipi di Pulau Jawa.
Kuliner Banjarmasin serba merah merona
Di Banjarmasin, kakak saya sangat sering menemukan makanan berwarna merah. Pernah suatu kali dia jalan-jalan ke pasar malam. Betapa kagetnya dia ketika melihat menu semacam ayam, tahu, dan tempe bakar yang berwarna merah. Begitu pula dengan menu nasi gorengnya.
Kecenderungan masakan Banjarmasin yang berwarna merah rupanya berasal dari bumbu habang. Habang dalam Bahasa Banjar memiliki arti merah. Warna merah bumbu itu berasal dari cabai merah yang dikeringkan. Kakak saya kaget karena di matanya, makanan dengan bumbu habang seperti diwarnai dengan pewarna makanan.
Saat melihat tampilan makanan yang merah merona, dia sudah membayangkan rasa pedas yang nggak terkira. Apalagi setelah tahu bumbu habang terbuat dari cabai merah. Sudah terbayang bibir akan jontor, lidah terbakar, dan bulir-bulir keringat yang membasahi dahi ketika menyantapnya.
Akan tetapi, betapa terkejutnya kakak saya, makanan berwarna merah itu justru punya cita manis. Selidik punya selidik, ternyata bumbu masak habang menggunakan gula merah, selain cabai kering. Itu mengapa rasanya cenderung manis. Kalau di Jawa, rasanya mirip seperti semur.
Baca halaman selanjutnya: Ukuran beras berbeda…
Ukuran beras berbeda
Hal lain yang membuat kuliner di Banjarmasin berbeda adalah berasnya. Menurut penuturan kakak saya, bulir beras di Banjarmasin memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding dengan bulir beras yang ada di Jawa. Ketika di masak, beras banjar menghasilkan nasi dengan tekstur yang lebih keras atau pera.
Orang Banjar memang lebih menyukai nasi yang dimasak seperti pera atau keras. Kalau makan nasi dari beras Jawa, mereka kurang cocok karena terlalu lengket. Katanya, seperti memakan nasi ketan.
Selain teksturnya yang lebih keras ketika dimasak, beras banjar lebih tahan basi. Hal tersebut ada hubungannya dengan pengolahan saat panen. Saat panen, para petani Banjar menjemur padinya lebih lama. Itu mengapa kadar air dalam beras sangat minim.
Mereka juga tidak langsung memasukan beras ke dalam karung, melainkan dimasukan terlebih dahulu ke dalam kindai, yaitu ruangan untuk menyimpan padi. Tahapan ini berbeda dengan pengolahan beras di Jawa. Beras di Jawa langsung dikemas ke dalam karung untuk didistribusikan. Itu mengapa berasnya cenderung lembab dan mudah basi ketika dimasak.
Kulit cempedak dimasak
Culture shock seputar kuliner Banjarmasin lainnya adalah kulit cempedak yang difermentasi jadi makanan bernama mandai. Makin lama difermentasi dalam larutan air garam, rasa mandai konon akan semakin enak. Mandai ini semacam kimchi kalau di Korea Selatan.
Mandai awalnya muncul karena kebiasaan orang Banjar yang gemar makan ikan. Namun, di saat musim kemarau tiba, air laut menjadi surut dan ikan sulit ditangkap. Warga pun berinisiatif untuk mengolah kulit cempedak. Cempedak dipilih karena buah tersebut melimpah di tanah Banjar.
Di atas beberapa keunikan kuliner Banjarmasin yang kakak saya jumpai selama merantau. Memang tidak mudah menyesuaikan lidah dengan rasa yang baru. Namun, kakak saya senang-senang saja bisa mencicipi sebagian kecil dari ragam kuliner Indonesia yang sangat kaya.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Fakta Ungker, Kepompong Ulat Jati yang Jadi Kuliner Khas Blora
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.