Orang bilang, silent killer sebenarnya adalah harapan atau ekspektasi yang kita punya. Dan saya merasakan hal tersebut setelah kuliah S2. Saya pikir, strata yang lebih tinggi harusnya diimbangi dengan standar yang lebih tinggi. Tapi ya, realitas selalu lebih pahit daripada kenyataan.
Saya tau kalau urusan administrasi S2 memang lebih banyak. Tapi harusnya tak ribet, setidaknya tak seribet S1. Tapi, yang saya alami nyatanya sama saja.
Satu minggu lamanya saya habiskan untuk mengurus administrasi perkuliahan pascasarjana semester genap 2023-2024. Prosesnya cukup ribet dan nggak bisa dilakukan secara daring, membuat saya harus bolak-balik menghadap tata usaha (TU).
Jika administrasi tidak diurus, saya tidak bisa mengikuti perkuliahan dan harus mengulang atau berdonasi lebih lama kepada kampus. Mau tidak mau, saya akhirnya memohon izin cuti kepada kantor untuk menyelesaikan administrasi perkuliahan.
Susahnya mengurusi administrasi kampus itu akhirnya membuat saya sadar. Kuliah S2 itu bukan hanya soal kesiapan mental, tapi juga kesiapan finansial.
Kalian pasti bertanya-tanya, apa hubungannya administrasi sama finansial? Lompat paragrafnya kok jauh banget. Begini, saya jelaskan biar benang merahnya ketemu.
Daftar Isi
Memohon keringan pembayaran susahnya luar biasa
Mengurus administrasi perkuliahan, mau S1 atau kuliah S2, sebenarnya mudah jika kalian mempunyai kesiapan finansial. Artinya, biaya perkuliahan seperti SPP, UKT dan donasi lainnya bisa kalian bayar tepat waktu. Beda cerita jika kalian pekerja UMR seperti saya dan kebetulan sedang mengalami masalah finansial. Mengurus administrasi dan permohonan keringanan itu susahnya luar biasa.
Udah capek mikiri UMK Situbondo yang terendah di Jawa Timur, masih ditambah pula dengan ribetnya memohon keringanan administrasi perkuliahan. Remuk.
Awalnya, saya hendak mengajukan keringanan pembayaran SPP S2. Hal itu lantaran gaji dari tempat kerja sedang bermasalah sehingga tidak dapat melunasi tagihan donasi SPP tepat waktu. Dengan penuh pikiran positif, saya berharap mendapat keringanan dan dapat mencicil tagihan donasi SPP. Niat baik (biasanya) pasti bersambut. Begitu pikir saya. Namun, penolakan adalah hal yang saya terima.
“Jika tidak bisa melunasi SPP silahkan mengajukan cuti. Maksimal 2 semester,” begitu jawaban staf TU.
Saya akhirnya berpikir, tidak heran banyak mahasiswa, baik S1 atau S2, yang terikat pinjol hingga jutaan rupiah. Harus memenuhi kebutuhan hidup dan dan biaya pendidikan yang ternyata tidak bisa dicicil dan harus dibayar lunas di muka. Tidak ada keringanan dan kemurahan hati.
Baca halaman selanjutnya
Staf TU yang tidak kenal kata ramah
Staf TU yang tidak ada ramah-ramahnya
Saya tau lelah dan banyaknya tugas seorang staf TU. Hal itu karena saya juga bekerja sebagai staf TU di sebuah SLTA swasta di dekat rumah. Pekerjaannya memang melelahkan, siswa-siswi nggak semuanya sopan dan tau aturan. Tapi itu memang tugas kita untuk melayani dan memberikan bantuan. Namanya juga staf, bukan debt collector yang kerjanya nagih tanggungan.
Mbok ya senyum dikit kenapa. Dikasih opsi lain yang bisa diperjuangkan napa. Jangan langsung disuruh ngurus surat izin cuti kuliah S2 dan memupus semangat belajar mahasiswa. Kita berkuliah biar bisa dapat masa depan yang lebih cerah. Yang staff bisa jadi pegawai tetap, yang honorer bisa jadi PNS.
Di SLTA, kalau ada yang tidak mampu melunasi pembayaran, bisa diberi keringanan dengan mencicil, bisa juga diarahkan ke Kantor Desa untuk memperoleh rekomendasi sehingga bisa didaftarkan program pemerintah untuk biaya pendidikannya. Lha ini?
Kuliah S2 bukan cuma soal mental, tapi kesiapan keuangan
Maka, saya sampai kepada kesimpulan. Kuliah S2, atau S1 pun, sama saja. Bukan hanya soal kemauan dan kesiapan menghadapi dosen yang suka menghilang dan susah dihubungi ketika sedang dibutuhkan. Kuliah, terlebih pascasarjana dan seterusnya itu juga soal kesiapan keuangan. Kesiapan membayar berbagai tagihan dan donasi pendidikan. Sehingga, kita tidak ribet mengurus berbagai administrasi yang dibutuhkan dan bertemu dengan staff TU yang pelit senyuman.
Ya, beginilah kenyataan hidup. Kalau nggak nambah kerjaan, ya dikerjain. Angeleee.
Penulis: Agus Miftahorrahman
Editor: Rizky Prasetya