Kuliah Online Dikeluhin Anak S-1? Mereka Belum Tahu Aja Jungkir Baliknya Kuliah Online S-2

karya fiksi UT kuliah ekonomi kuliah sastra kuliah online mahasiswa s-1 dan s-2 Sebagai Penulis, Saya Sering Disangka Romantis dan Bisa Menjadi Sekretaris kuliah online

kuliah ekonomi kuliah sastra kuliah online mahasiswa s-1 dan s-2 Sebagai Penulis, Saya Sering Disangka Romantis dan Bisa Menjadi Sekretaris kuliah online

Munculnya pandemi corona dengan konsekuensi seluruh kegiatan dilakukan #dirumahaja memberikan banyak dampak. Salah satunya yang kerap dibincangkan netizen adalah bidang pendidikan. Perkuliahan fisik yang disulap menjadi kuliah online adalah hal yang tak terelakkan.

Mustahil kuliah libur selama negara berusaha meredakan Covid-19. Kuliah online yang awalnya disambut sukacita campur penasaran berubah menjadi muka keheranan. Ekspektasi boleh tinggi tapi kaki tetap harus berpijak di Bumi. Tapi yang bikin saya paling heran itu, saat di lingkungan rumah ditanyai oleh para tetangga dengan omongan, “Waaah, kuliahnya semilibur ya, Mas. Enak dong di depan laptop terus. Nyantai banget ya Mas kuliah dari rumah. Blablabla….”

Celotehan model gini bikin pengin manggil Hermione Granger untuk nyodorin tongkat sihirnya dan bilang Wingardium Leviosa dan Expecto Patronum secara collab.

Banyak yang bilang kalau kuliah online itu nggak enak karena faktor ini-itu. Sejauh ini yang dominan tersiar adalah urusan kuota internet yang cepat terkuras dan penyampaian materi yang rentan membuat mahasiswa gagal paham. Alokasi dana bulanan untuk internet jadi membengkak karena hampir pasti perkuliahan melibatkan Zoom, Webex, Goggle Meet, dan teman-teman sepermainannya. Penyampaian materi dari mata kuliah yang agak mumet seperti Statistik menjadi lebih mumet karena interaksi yang terbatas dan kadang terhambat lancar nggaknya sinyal menjadikan apa yang harusnya bukan masalah menjadi bermasalah.

Belum lagi kuliah online dengan jenis mata kuliah yang perlu berhitung. Kalau sekali teknis mempraktekkan rumusnya terlewat gara-gara koneksi internet ngadat, ya bisa ambyar di akhir. Dari kacamata mahasiswa S-2, setidaknya ada beberapa fakta soal kuliah online yang belum tersiar luas dan sebaiknya tidak kamu ketahui.

Rasanya kuliah online bagi anak S-2 #1 Jadi banyak jam kuliah tambahan

Berbeda dengan mahasiswa S-1, mahasiswa S-2 adalah kategori mahasiswa yang didorong kampus untuk cepet lulus. Kalau semester pertama di S-1 masih berleha-leha, jangan harap ini terjadi di S-2. Kalau di fase yang sama anak S-1 masih sibuk berkenalan dengan wajah-wajah baru teman sekelas sembari berharap dapat mbribik yang bening-bening, pikiran macam ini ditepikan jauh-jauh dari isi kepala anak S-2

Tuntutan kampus agar mahasiswanya merampungkan studi maksimal empat semester membuat semester ini sudah ditodong tagihan “Mana proposal tesismu, wahai anak muda?” Ketika anak S-1 masih sibuk berkunjung ke gedung Student Center bingung mau ndaftar UKM yang mana, jalan-jalan menghafalkan denah kampus, dan berasyik-asyik dalam makrab, anak S-2 sudah melaju mikirin masa depan.

Memang sih, saat ospek S-1 biasanya pihak kampus sudah mencekoki mahasiswa dengan skripsi, yudisium, dan IPK. Sebagai cah S-1 anyaran, tiga hal ini ya disambut dengan kepala manthuk-manthuk saja. Lha wong mbayangke tok we rasane kadohan, bos. Berbeda dengan di S-2, baru kuliah minggu pertama sudah ditanya, “Mau ngajuin judul penelitian apa Mas?”

Perkuliahan satu semester biasanya memakan waktu 5-6 bulan. Dampak corona yang melahirkan kuliah online menimbulkan banyak fenomena baru. Salah satunya adalah pemadatan jam kuliah.

Lho kok bisa? Ya bisa dong, wong kecepatan dosen menjelaskan secara online dengan offline itu nggak sama. Sekali lagi, mulus nggaknya sinyal internet juga berperan di sini. Kalau  perkuliahan via teks saya yakin masih bisa jalan, tapi kalau berbasis video, lain lagi masalahnya. Jarang dijumpai kuliah pakai grup WA atau Google Classroom bisa macet, kecuali kalau lokasi tempat tinggalmu memang berada di pelosok hutan Jumanji.

Selain itu dosen biasanya banyak keperluan akademis yang harus diurus mulai dari rapat senat, nguji seminar proposal, hingga mimpin ujian pendadaran, sehingga kadang jam kuliahnya jadi kosong. Saat S-1 dulu jam kosong adalah berkah. Di S-2 jam kosong ibarat bom waktu yang meledaknya bisa diprediksi.

Tuntutan ngejar materi dan deadline untuk ujian semesteran membuat dosen memadatkan perkuliahan. Sekilas terdengar enak ya karena seolah jam kuliah dipersingkat dan tahu-tahu sudah mau ujian saja dan libur terhampar dekat di mata. Eitttsss… tunggu dulu. Pemadatan kuliah di S-2 ini dimaknai dengan adanya jam kuliah tambahan. Jam kuliah bisa saja menggandakan dirinya menjadi 1,5 sampai 2 kali lipat. Paham materi dengan mendetail belum tentu, kelenger iya.

Saya curiga jangan-jangan jam kuliah ini telah menguasai Kage Bunshin no Jutsu-nya Naruto.

Rasanya kuliah online bagi anak S-2 #2 Tumpukan tugas bikin gila

Tugas dengan level tinggi ini nggak ada matinya. Yang namanya kuliah S-2 tentu materi kuliahnya lebih sulit dari S-1. Yang bikin nggak wajar adalah serbuan tugas yang kadang nggak kenal waktu. Kuliah online ini, hampir di setiap pekan pasti dosen ngasih tugas.

Makna tugas di sini bukan tipe tugas yang tinggal cari materi di internet, modal copas, dan selesai. Banyak tugas yang memerlukan banyak literatur berbobot yang sayangnya tidak semua versi digitalnya beredar di alam maya.

Katakanlah dalam seminggu ada 10 mata kuliah, tinggal dihitung berapa jumlah tugasnya. Tugas ala S-2 ini nggak bisa dibilang gampang, tapi ada tenggat waktu yang hanya dalam hitungan setengah pekan. Bahkan pernah kejadian di dosen yang sama, tugas yang kemarin belum dikumpulin karena memang belum deadline-nya, eh di grup WA sudah rilis tugas baru.

Ini mah ibarat maen game SEGA yang mode adventure kayak Bare Knuckle atau Golden Axe. Dikepung banyak musuh, baru saja dihabisi satu, eeeh muncul lagi dan seterusnya. Bikin geregetan kan.

Rasanya kuliah online bagi anak S-2 #3 Libur itu fana

Tidak ada libur tanggal merah. Hari libur adalah fana. Saat kita melihat kalender bertanggal merah di luar Sabtu-Minggu, biasanya ekspresi sontak auto-happy. Apalagi kalau di hari itu kita dapat jatah presentasi. Wuhhh… rasane wes koyo diguyur air es di Gurun Gobi. Segerrr…. Sayangnya ini nggak berlaku bagi perkuliahan S-2 online. Atas nama keefektifan waktu, tanggal merah tetap masuk kuliah. Apalagi bulan Mei kemarin ditutup dengan hari Lebaran. Menjadi terlihat wajar ketika kampus mengumumkan sebelum pekan Lebaran semua urusan kuliah harus sudah kelar.

Garis komando di bawahnya ya dapat ditebak. Dosen menggeber kuliah agar secepat mungkin dapat dikelarin. Jangan ngarep mentang-mentang lagi di bulan Ramadhan terus kuliah jadi agak nyantai ya. Kalau masih mikir gitu, fiks orientasi alam bawah sadarmu masih beredar di Indonesia jaman Gus Dur jadi presiden. Sekarang yang namanya agenda presentasi ya tetep presentasi. Kalau di hari itu agendamu kejatah ujian, selamat menikmati, Bro.

Rasanya kuliah online bagi anak S-2 #4 Kesehatan makin terabaikan

Proposal kualitatif, proposal kuantitatif, paper 15 halaman, makalah kelompok 20 halaman, makalah individu 10 halaman, hingga membaca jurnal ratusan halaman berbahasa asing adalah menu santapan sehari-hari anak S-2. Bukannya mau sambat, saya sadar kok kalau ini konsekuensi dari studi di jenjang yang lebih tinggi. Tapi di kondisi pandemi di mana ekonomi juga sedang menjerit ini, aneka menu tadi dituntut untuk dikerjakan dalam tempo yang jangan lama-lama. Anak S-2 kan inginnya idealis, mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya bukan berprinsip sing penting numpuk wae. Niat untuk memaksimalkan banyak tugas ini berefek pada tingkat kesehatan mahasiswa.

Bayangkan saja kuliah yang dimulai dari jam 07.30 non stop hingga jam 16.20 dengan jeda istirahat siang 30 menit. Tentu jam kerja anak S-2 tidak hanya di durasi itu saja. Sebelum jam 07.30 kami sudah mempersiapkan presentasi atau ngecek tugas yang hari ini harus dikumpulkan dan selepas jam 16.20 dilanjutkan dengan mengerjakan aneka tugas lainnya.

Ini kalau memakai versi pemahamannya mahasiswa yang nganggur alias nggak nyambi kerja lho. Anak S-2 kan usianya lebih heterogen ketimbang anak S-1 dan kebanyakan dari mereka sudah bekerja. Jadi memecah fokus dan menjadi manusia multitasking adalah koentji.

Saya pernah menghitung ketika semester baru melewati tengah semester, jumlah tugas menyentuh angka 30. Risiko dari 9 jam duduk di depan laptop itu nggak sedikit. Yang paling ngeselin adalah serangan nggak enak di boyokmu. Apalagi kalau kamu adalah mahasiswa S-2 berusia di atas 30-an tahun. Encok dan pegel linu menyusul sebagai potensi di belakangnya. Yang paling parah adalah ancaman mata bertambah minus. Gimana pun juga yang namanya mata manusia memang tidak dirancang untuk terus-terusan menatap monitor laptop secara maraton. Mata lelah bisa juga berkorelasi pada semakin mudahnya ngantuk. Ini yang paling bahaya karena orang ngantuk biasanya gampang sensi dan ngamuk-ngamuk nggak jelas. Yha khan?

Rasanya kuliah online bagi anak S-2 #5 Bayar kos jalan terus

Sudah menjadi pemandangan umum kalau mahasiswa perantau itu nggak sedikit jumlahnya. Semakin maraknya penyebaran corona, aturan larangan mudik, hingga penerapan kebijakan PSBB di sekian kota memicu arus pulang kampung para mahasiswa sejak dini. Saya bisa merasakan hal ini karena dalam kondisi seperti ini berada di rumah tetangga sendiri itu paling enak. Nggak percaya? Baca saja lirik lagu “Home” Michael Bubble.

Meski raga sedang di kampung halaman, tagihan bayar kos kan tetap jalan. Saya nggak menyoroti biaya UKT lho. Setoran UKT bisa jadi dapat diskonan, tapi jangan harap ibu kos ketularan tabiat serupa. Nggak ada ceritanya kos-kosan ngasih potongan uang bulanan. Kalau sampai iya, bisa-bisa ibu kosnya mendadak viral dan mengundang bahaya.

Lho kok bahaya? Ya jelas bahaya, kalau jadinya gitu kan pasti banyak mahasiswa yang pengen jadi anak kosnya. Kami sebagai penghuni kos lama ya nggak pengen ada antrian seleksi penghuni kos baru yang berjubel di depan gerbang kos. Kan nggak kondusif to. Ujung-ujungnya kawan saya yang sedang berkuliah online di kamar kos malah tambah mumet.

Di kampung halaman sambil tetap rutin bayar uang kos saya hanya berharap semoga kamar kos yang saya tinggalkan selama sekian waktu ini tidak dihuni oleh “makhluk” lain. Cukup kuliah saja yang horor. Kos-kosan mah jangan deh.

Ngomong-ngomong apa kabarnya dengan kuliah online-mu? Lancar?

BACA JUGA Yang Bisa Dilakukan dengan Uang 269 Juta Ketimbang Beli Sebungkus Oreo Supreme dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version