Menjadi mahasiswa baru di Universitas Terbuka bukan hanya soal menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan, tetapi juga berdamai dengan kehidupan yang serba terbatas. Saya memilih UT karena fleksibilitasnya: saya bisa kuliah sambil membantu keluarga dan mencari peluang kerja. Namun saya segera belajar bahwa fleksibilitas tidak otomatis berarti segalanya jadi lebih ringan.
Kuliah sepenuhnya daring membuat saya harus berteman baik dengan HP. Semua tugas, materi, dan tuton dikerjakan melalui layar 6 inci itu, karena saya belum punya laptop. Mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya, persoalan teknis bisa jadi drama harian. Terlebih saya masuk jurusan akuntansi, bidang yang menuntut ketelitian. Sementara saya lulusan IPA yang dulu percaya bahwa hidup akan dipenuhi angka-angka ala fisika, bukan debit-kredit yang sensitif hati.
Merasakan kesesakan sekaligus sepi
Deadline tuton yang fluktuatif, diskusi yang harus aktif, dan materi yang kadang seperti buku tabungan nasional, sering membuat saya merasa kehabisan napas. Sistem jarak jauh adalah dunia baru bagi saya—sunyi, tapi bising di pikiran.
Saat OSMB, seorang pemateri mengatakan dengan penuh semangat:
“Di Universitas Terbuka, bukan kalian yang datang ke kampus, tapi kampus yang mendatangi kalian.”
Saya mengiyakan. Baru kemudian sadar bahwa “kampus” itu HP saya sendiri. Ia selalu mendatangi saya, bahkan saat saya hanya ingin mematikan otak dan scroll meme.
Teman-teman ada, tapi interaksi terasa serba antimainstream: saling menyemangati lewat teks panjang yang dibaca sambil rebahan. Kadang saya merasa, yang benar-benar terbuka di Universitas Terbuka justru ruang kesendirian.
Secercah harapan yang tetap ada di Universitas Terbuka
Meski begitu, UT tetap ramah bagi mahasiswa seperti saya. Buku Materi Pokok yang to the point membuat saya tidak tenggelam di arus angka. Biaya kuliah pun ramah dompet, setidaknya dompet saya.
Yang paling menyenangkan adalah keberagaman mahasiswa: pekerja, ASN, ibu-ibu multitalenta, hingga yang rambutnya telah bersahabat dengan uban; semua duduk dalam satu forum dengan tujuan yang berbeda. Ada yang mengejar karier, mengejar mimpinya yang dulu tertunda, atau sekadar mengejar kesibukan agar tidak bosan dengan cucian piring di rumah.
Di Universitas Terbuka saya belajar bahwa belajar memang tidak punya umur.
Depresi yang diam-diam ada
Tapi perjuangan nyata dimulai saat saya mencoba bekerja di ritel sambil kuliah di Universitas Terbuka. Delapan jam berdiri, pulang masih mencuci, bersih-bersih, menyiapkan kebutuhan rumah, dan membantu ayah yang menjalani rawat jalan. Di antara semua itu, saya hanya punya dua jam untuk mengejar tugas—itu pun hasil curian dari waktu tidur yang sudah miskin.
Akuntansi menuntut keseimbangan neraca, sementara hidup saya mulai terasa timpang. Pada hari ketujuh, saya menyerah—bukan karena malas, tapi karena tubuh saya yang lebih dulu protes.
Kadang saya rindu suasana kuliah seperti di film-film: duduk melingkar, presentasi pakai papan tulis, debat sambil jajan pentol depan kampus. Saya iri melihat teman-teman yang bisa eksplorasi dunia mereka lebih bebas. Tapi saya mencoba menerima bahwa jalan saya mungkin berbeda—dan tidak selalu harus kalah keren.
Hari-hari saya kini diisi tuton, persiapan UAS, pekerjaan rumah, detailing cat kendaraan, menulis, hingga mencari kerja musiman. Hidup terasa padat, tapi tetap saya jalani satu per satu.
Kuliah di Universitas Terbuka bikin saya (belajar) berdamai dengan kurikulum kehidupan
Kalau ditanya apa yang saya pelajari sejauh ini adalah, ternyata kuliah di Universitas Terbuka bukan semata menyerap materi. Tapi juga belajar bertahan, mandiri, dan tetap waras di tengah realitas hidup yang tidak selalu kompromi.
Saya masih belajar menyesuaikan langkah. Masih belajar menyayangi proses yang berbeda dari kebanyakan orang. Masih belajar bahwa kuliah bukan hanya tentang akademik, tapi juga kemampuan bertahan dalam situasi yang mungkin tidak ideal.
Mungkin saya tidak punya foto-foto estetik di kampus besar. Mungkin saya kuliah sambil mencuci baju, bukan nongkrong di perpustakaan. Tapi dari sinilah saya tahu: perjalanan setiap orang tidak harus sama jalurnya untuk tetap layak diperjuangkan.
Kalau kampus lain menguji lewat kuis dan presensi, Universitas Terbuka menguji lewat kesabaran dan keberanian memilih bertahan. Dan mungkin, justru di sinilah kurikulum kehidupan sedang bekerja—tanpa semester pendek, tanpa cuti akademik, tapi tetap mendewasakan.
Penulis: Faris Firdaus Alkautsar
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















