Platform X memang rasanya tidak pernah sepi kasus. Ada saja tiap hari bahan gorengan dari warganet. Seperti dua hari ke belakang yang sedang ramai dibahas adalah perkara novel cringe yang berujung jadi masalah ISBN di Indonesia yang memang lagi krisis.
Sekedar informasi, ISBN (International Standard Book Number) itu ada jatahnya dan tidak seharusnya bisa digunakan semena-mena. Awal isu ini mencuat, karena sebuah unggahan user X yang juga selebtok sedang flexing merchandise buku novelnya.
Konon katanya isi buku itu adalah kisah cintanya bersama sang kekasih yang dipertemukan lewat TikTok. Kemasan ceritanya yang tidak begitu menarik, diksi amburadul, bahkan terlalu pede mengeluarkan merchandise photocard foto mereka sendiri malah jadikan novel ini bulan-bulanan di X. Ada yang menilai tulisan seperti ini tidak layak terbit menjadi buku dan cuma menghabiskan ISBN saja.
Pacar dari si penulis ini sempat anggap krisis ISBN adalah narasi akal-akalan haters. Padahal itu semua nyata dan ada datanya, loh. Bahkan para penerbit juga mengeluhkan jangka waktu yang lebih lama untuk mengurus ISBN.
Jatah yang semakin berkurang
Menurut Perpusnas, Indonesia mendapatkan block number dari International ISBN Agency sebanyak 1 juta dalam periode tertentu. Pada isu ini akhirnya terungkaplah jika ISBN itu jumlahnya memang terbatas, bukan unlimited. Bahkan Indonesia juga sempat mendapat teguran dari International ISBN Agency karena dirasa adanya penggunaan ISBN yang tidak wajar di Indonesia.
Penggunaan ISBN sempat melonjak derastis di tahun 2020 hingga mencapai 100 ribu lebih judul. Alasan lonjakan ini juga beragam. Melihat fenomena bagaimana penerbit mudah sekali menarik cerita dari platform online untuk jadi buku membuatnya jadi masuk akal. Bahkan nama-nama penerbit juga makin beragam dan makin banyak juga penerbit pendatang baru.
Jika dulu kita hanya tau seperti Gramedia, Bukune, Grasindo, akhir-akhir ini muncul lebih banyak lagi. Rata-rata penerbit baru ini menjual buku yang sudah laris pembaca di platform online. Jelas sudah juga, jumlah penerbitan makin lama makin tinggi. Namun, sebenarnya ada alasan lain lagi yang menjelaskan kenapa ISBN di Indonesia mulai menipis. Ini semua tidak cuma salah novel terbitan platform online.
Alasan lain berkurangnya ISBN
Penerbit memutuskan untuk menerbitkan buku yang layak itu sebenarnya wajib. Paling tidak meminimalisir penggunaan ISBN untuk buku yang tidak perlu. Jangan asal semua cerita viral di platform online harus dijadikan buku sementang bisa jadi ladang cuan.
Namun, ada hal lain yang mendukung krisisnya ISBN ini. Contohnya adalah pembuatan antologi buku bersama yang diterbitkan untuk jadi milik pribadi. Paling gampang dan umum terjadi adalah ada kompetisi menulis di mana tulisan para author akan diterbitkan dalam satu buku, lalu kita disuruh membeli buku itu juga untuk diterbitkan dengan ISBN. Hal ini rasanya nggak perlu-perlu banget dan malah buang ISBN secara mubazir.
Adapun buku-buku diktat sekolah maupun jurnal juga harusnya tak memerlukan ISBN. Karena, yang perlu mendapat ISBN adalah buku yang benar-benar diterbitkan untuk umum.
ISBN juga tidak harusnya digunakan untuk skripsi maupun tesis guna terlihat lebih profesional dalam publikasi saja. Padahal harusnya ini bisa dibukukan untuk pribadi dan tak memerlukan ISBN karena memang tidak diedarkan untuk umum.
Selanjutnya, Perpusnas biasa menyebut dengan makelar ISBN. Alias buku atau novel yang dicetak satuan tapi bisa mendapat ISBN oleh penerbit yang tidak bertanggung jawab.
Hal-hal di atas adalah yang sedang marak terjadi sampai buat Perpusnas pusing karena ISBN lebih cepat habis dari biasanya. Sampai di sini bisa disimpulkan ya, jika tidak perlu menyalahkan berlebihan pada novel-novel yang dianggap cringe. Kalaupun memang salah, cukup salahkan pihak penerbitnya saja.
Wong ya tak ada jaminan kalau ISBN tersebut akan dipakai oleh penulis yang lebih bagus kan?
Self publishing adalah kunci
Dalam kasus jurnal, tesis, maupun skripsi dan buku-buku diktat memang tidak perlu ISBN dalam penerbitannya. Tidak perlu makan gengsi dan terlihat profesional saja karena buku ISBN. Namun, dalam kasus buku novel atau karangan fiksi, kalian bisa juga melakukan self-publishing. Ada beberapa buku yang memang lebih layak terbit secara self-publishing daripada harus ikut penerbit.
Jadi, memang dibutuhkan sistem yang lebih baik lagi untuk Perpusnas juga penerbit dalam mengelola ISBN. Penerbit baiknya lebih bijak dalam menerbitkan buku, dangan Perpusnas yang juga selalu mengawasi. Langkah Perpusnas terbilang cukup baik karena mengurus ISBN akhir-akhir ini dipersulit untuk buku tertentu, walaupun saat ini sudah mulai berangsur normal.
Penulis: Arsyanisa Zelina
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Proses Panjang Penerbitan Komik di Indonesia yang Jarang Diketahui Para Pencinta Manga