Alasan Saya Menolak Kredit Motor: Skema yang Merugikan Pembeli, tapi Nggak Banyak yang Menyadari

Sisi Gelap Kredit Motor yang Nggak Banyak Disadari Pembeli Mojok.co

Sisi Gelap Kredit Motor yang Nggak Banyak Disadari Pembeli (unsplash.com)

Kredit motor lebih banyak ruginya daripada untungnya. 

Hidup di zaman sekarang memang serba mudah, meski kemudahan yang diperoleh acap kali dibarengi dengan risiko tertentu. Misalnya mau beli sesuatu, kok ya nggak punya uang, dari pada kehabisan barang yang diinginkan, mending utang dulu ke pinjol. Konsekuensi beban bunga yang tinggi itu biar dipikir nanti.

Sama halnya ketika ingin punya motor. Masyarakat sangat dimudahkan karena dihadapkan dengan pilihan mau beli secara tunai atau kredit. Kalau kredit, angsuran dan leasing-nya pun beragam. Banyak pilihan, DP Rp500 ribu pun sudah bisa dapat 1 unit motor, tapi hal itu disertai tanggungan bunga yang bikin sebagian besar masyarakat stress.

Perihal kepemilikan motor ini memang cukup kompleks, sama halnya seperti membeli rumah, ada sebagian masyarakat yang lebih memilih membeli tunai, sebagian lainnya memilih kredit. Tentu dengan berbagai pertimbangan masing-masing. Tapi jujur, bagi saya pribadi, membeli motor lebih baik dilakukan secara tunai ketika sudah memiliki uang. Bahkan, beli tunai untuk sebuah motor bekas pun nggak apa-apa dan masih lebih baik ketimbang membeli motor dengan cara kredit. Kredit motor adalah skema yang merugikan diri sendiri, sayangnya nggak banyak pembeli menyadari hal itu. Lho kok bisa begitu? Saya jelaskan ya. 

Kredit motor sebenarnya merugikan pembeli

Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan dalam disiplin ilmu tentang ekonomi, terlebih ekonomi syariah (yang memandang kredit adalah perwujudan nyata dari praktik riba), transaksi kredit adalah seburuk-buruknya transaksi dalam jual beli karena memberatkan pihak konsumen.

Beban bunga yang membersamai pinjaman, baik dalam bentuk uang atau pengadaan barang, bisa membuat si debitur, dalam hal ini konsumen akan menanggung utang dengan nominal yang lebih besar dari nilai pokok yang dipinjam. Makin lama tenor (durasi waktu kreditnya) makin tinggi bunganya. Dalam banyak kasus, bunganya bisa setara dengan nominal pokoknya.

“Tapi mau bagaimana lagi, itu kan untuk mengantisipasi “makhluk” yang namanya inflasi. Inflasi membuat mata uang menurun tiap waktunya, sehingga harga barang jadi naik.”

Yah alasan para kapitalis begitu. Padahal kalau mau dibedah lebih jauh, inflasi ini ada yang karena skema licik penerapan bunga. Bunga itu bikin peredaran mata uang makin banyak sehingga makin tidak berharga nilainya.  

Kembali soal kredit motor, ketika memutuskan untuk memilih skema kredit, konsumen akan menanggung tiga kerugiaan sekaligus yaitu beban angsuran dengan bunga tinggi, nilai kendaraan yang makin menyusut tiap tahun, dan biaya maintenance untuk sebuah barang yang BPKB-nya belum ada di tangan konsumen. Mari kita bahas satu per satu.

Baca halaman selanjutnya: Tanggungan angsuran …

Tanggungan angsuran dengan bunga yang tinggi

Prinsip kredit itu begini, makin kecil Down Payment (DP) dan lama tenor, maka makin besar bunga angsurannya. Saya ambil contoh kasus pembelian motor Beat Deluxe keluaran terbaru. Ketika dibeli tunai, harganya sekitar Rp18 juta tapi saat dibeli secara kredit harganya bisa jauh lebih tinggi ketika nominal angsuran diakumulasikan. Simulasinya begini, dari harga motor beat Rp18 juta, ada konsumen DP Rp1,5 juta, setelah itu pihak dealer umumnya akan menawarkan tenor antara 11 bulan sampai 35 bulan. Bunga kredit motor biasanya dipatok antara 1,5 persen–4 persen per bulan. Makin sedikit DP-nya dan lama tenornya, maka makin tinggi bunganya.

Apabila konsumen memilih tenor 11 bulan, maka perhitungan bunganya adalah Rp16,5 juta (harga pokok dikurangi DP) dikalikan dengan 1,5 persen, hasilnya Rp247,5 ribu/bulan. Kemudian bunga per bulan Rp247,5 ribu dikalikan 11, hasilnya Rp2,7 juta untuk total bunga yang harus dibayarkan. Jadi, jumlah angsurannya adalah Rp16,5 juta ditambah Rp2,7 juta hasilnya Rp19,2 juta selama 11 bulan. Kalau dibagi per bulan, konsumen membayar sekitar Rp1,7 juta.

“Wah selisih sedikit yah,” mungkin kalian akan berkata demikian, Eiits, tunggu dulu, di awal konsumen sudah mengeluarkan DP sebesar Rp1,5 juta. Artinya total uang yang dikeluarkan konsumen adalah DP Rp1,5 juta ditambahkan Rp19,2 juta, totalnya Rp20,7 juta. 

“Ah nggak apa-apa lah, cuma menambah sekitar Rp2 jutaan,” mungkin kalian akan berpikir demikian. Memang hanya menambah Rp2 juta, tapi kalian harus mau menanggung angsuran yang menyentuh lebih dari separuh UMR Jogja. Biasanya, konsumen diajak untuk memilih tenor yang lebih lama. Yah tinggal dihitung sendiri penggelembungan harganya sesuai simulasi yang saya berikan di atas. Saya jamin, kalau ambil tenor 35 bulan, total angsurannya bisa dua kali lipat dari harga pokok motornya.

Terjadi penyusutan nilai kendaraan selama melunasi kredit motor

Motor adalah salah satu komoditas yang nilainya sangat cepat menyusut. Misal, harga beli Rp18 juta untuk motor baru ketika dijual kembali setahun kemudian, harganya mungkin sudah turun sekitar Rp16 juta. Pada Januari lalu, ketika mencarikan motor untuk adik saya, saya menemukan motor beat bekas tipe deluxe dengan harga Rp15 juta. Motor itu digunakan selama 1 tahun lebih dengan harga beli sebelumnya Rp18,6 jutaan.

Nah, kalau motor ini dibeli secara kredit, artinya konsumen membayar barang yang nilainya tiap tahun menyusut. Beda cerita kalau beli properti secara kredit yang nilainya justru naik tiap tahun. Menilik kembali simulasi yang saya jelaskan sebelumnya, berarti ketika konsumen telah selesai membayar total angsurannya Rp20,7 juta dan ingin menjualnya lagi, dia hanya akan mendapat harga sekitar Rp16 juta. 

Biaya perawatan motor

Namanya motor, tentu butuh biaya perawatan berkala, baik itu servis atau pernak-pernik pendukung lainnya. Persoalannya, konsumen mengeluarkan biaya perawatan untuk barang yang belum sepenuhnya jadi milik mereka. Banyak konsumen yang tidak sadar kalau skema kredit itu membuat motor tidak 100 persen milik mereka. Motor sebatas hak guna pakai saja karena BPKB masih berada di tangan leasing selaku pihak yang menjamin status kredit konsumen. Sedih rasanya merawat barang yang belum sepenuhnya menjadi milik kita.

Sudah dirawat baik-baik dengan biaya nggak sedikit, eh pas gagal bayar angsuran motor langsung ditarik. Rasanya pasti gelo sekali. Ada kasus di mana konsumen harus rela oper kredit ketika tidak mampu melanjutkan angsuran.

Selain ketiga hal di atas, konsumen juga dibayangi dengan catatan kredit ketika gagal membayar angsuran. Dalam kredit skoring, kegagalan konsumen mengangsur motor akan dicatat. Catatan itu  akan menjadi bahan pertimbangan bagi pihak leasing atau lembaga keuangan ketika si konsumen ini mengajukan kredit kembali.

Terlepas dari penolakan saya terhadap skema kredit, saya mengakui, kredit memang menawarkan keuntungan menarik. Kredit memungkinkan ada ketersediaan komoditas yang dibutuhkan oleh konsumen secara cepat. Kalian butuh motor? Cukup dengan DP Rp500.000, sudah bisa bawa pulang motor untuk digunakan sebagai kebutuhan harian.

Akan tetapi, kembali lagi, kalau bisa tunai, kenapa harus kredit? Menabung terlebih dahulu kan bisa, harga motor baru di pasaran juga cenderung stabil. Kalau memang butuh sekadar untuk moda transportasi, toh motor bekas di harga Rp10 jutaan juga masih bagus-bagus kok.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Pengalaman Membawa Innova Reborn dari Jogja Menuju Madura dan Menemukan Kenyamanan Reborn Itu Mitos Belaka

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version