Tulisan saya ini terinspirasi dari tulisan Mas Gusti Aditya yang bercerita tentang film-film berlatar Jogja yang merupakan representasi dari Jogja yang romantis. Setelah membaca tulisan Mas Gusti tersebut, saya jadi ingat, ada juga beberapa film Indonesia yang setting-nya di Kota Bandung. Tentu nggak kalah dari film-film yang Mas Gusti Aditya sebutkan tersebut.
#1 Petualangan Sherina
Ya sebetulnya ini nggak di Bandung juga, ya, karena sebagian besar film ini dilakukan di Lembang yang masuk dalam Kabupaten Bandung Barat.
Petualangan Sherina menceritakan tentang Sherina Munaf yang terpaksa pindah ke Bandung lantaran ayahnya mendapatkan pekerjaan impian sebagai sarjana pertanian untuk mengurus kebun milik Keluarga Ardiwilaga di Lembang. Di sekolah barunya, Sherina bertemu dengan Sadam, anak paling nakal di sekolah yang ternyata anak bungsu dari Ardiwilaga.
Hal ini diketahui Sherina saat berlibur ke rumah Ardiwilaga, sekaligus menemani ayahnya ke sana. Sialnya, dalam momen tersebut, Sherina dan Sadam diculik oleh bos properti bernama Kertarajasa karena Ardiwilaga keukeuh nggak mau menjual kebunnya tersebut untuk dijadikan real estate. Singkat cerita, filmnya terus berlanjut dan berakhir bahagia.
Kalau kamu pengin melihat bagaimana hijaunya Kota Bandung dan indahnya Lembang yang terdiri dari ratusan hektar kebun teh dan hutan hujan tropis yang indah sehingga dikagumi oleh Bangsa Belanda ketika masa kolonial, kamu harus nonton film ini. Lantaran di tahun 2021, 20 tahun setelah film ini, banyak perubahan di Lembang yang nggak seasri dan seasyik 20 tahun yang lalu.
#2 Jomblo
Film besutan Hanung Bramantyo ini berkisah tentang empat mahasiswa baru di Kota Bandung, yakni Olip (Rizky Hanggono), Bimo (Dennis Aghiswara), Agus (Ringgo Agus Rahman), dan Doni (Christian Sugiono). Mereka berempat sedang mencari cinta sejati. Meskipun film ini merupakan film komedi, ada banyak pelajaran serta sudut pandang baru yang dapat kita ambil. Film ini tayang pada tahun 2006 di mana saat itu saya masih kelas 2 SMP.
Film Jomblo ini pun membuat saya berambisi untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung lantaran empat tokoh utamanya diceritakan berkuliah di Institut Teknologi Bandung dengan segala serba-serbinya. Sayang, pada tahun 2010 dan 2011 saya gagal masuk Institut Teknologi Bandung. Padahal jarak rumah saya dan kampus ITB kurang dari satu kilometer saja.
#3 The Tarix Jabrix
Film besutan Iqbal Rais ini tayang saat geng motor lagi sadis-sadisnya di Kota Bandung pada tahun 2007-2008-an. Saat itu, ada banyak kasus kekerasan yang melibatkan banyak kelompok bermotor anak muda Kota Bandung. Film ini pun berusaha membahas fenomena geng motor di Kota Bandung dengan pendekatan yang lucu. Film ini sendiri dibintangi oleh seluruh personel grup band The Changcuters, Carissa Putri, Francine Rossenda, dan Ario Bayu.
Film The Tarix Jabrix sedikit membahas mitos-mitos seputar geng motor yang saat itu sangat ditakuti di Kota Bandung. Mulai dari tes masuk geng motor yang susah, hingga stigma kekerasan yang selalu menempel pada anggota geng motor. Saat itu, di dunia nyata banyak beredar cerita bahwa untuk masuk geng motor, calon anggotanya harus bisa mengendarai sepeda motor dari Lembang sampai Kota Bandung dengan kecepatan tinggi dalam keadaan rem blong. Selain itu, ada tes lainnya seperti harus bertahan melakukan sparring tinju dengan anggota senior geng motor sebagai syarat masuk geng motor.
Film ini pun membuat saya menyukai grup band The Changcuters dan musik rock lainnya, baik dalam maupun luar negeri. Film ini juga membuat saya begitu menyukai setelan rock and roll yang ditampilkan grup band The Changcuters seperti celana pensil, jaket jeans, maupun jaket kulit yang sering saya gunakan sampai sekarang. Film ini sukses membuat saya menyukai berbagai motor jadul, termasuk Honda Astrea Supra yang saya tunggangi saat ini yang telah berusia 20 tahun.
#4 Preman Pensiun
Saya tahu, Preman Pensiun bukan film. Tapi karena sudah dibuat dalam bentuk film dengan judul yang sama, jadi saya masukan dalam tulisan ini. Preman Pensiun sendiri adalah sinetron bergenre komedi yang ditayangkan RCTI dan diproduksi oleh MNC Pictures.
Fokus cerita Preman Pensiun adalah tentang Kang Bahar yang sudah pensiun dari kelamnya bisnis keamanan yang ia bangun selama puluhan tahun sejak pertama kali merantau ke Kota Bandung dari Garut. Awalnya, Kang Bahar hanya mencari nafkah dengan jualan tahu, leupeut, dan telur asin di Terminal Cicaheum, tapi blio nggak terima karena harus membayar pajak pada preman setempat, padahal penghasilannya saat itu sangat kecil dan kepikiran, “Kenapa nggak saya aja yang mungut pajak?”
Berbekal ilmu silat yang ia pelajari sejak anak-anak, Kang Bahar menghabisi seluruh preman yang ada di Terminal Cicaheum, lalu dengan singkat menguasai juga pasar dan jalanan di Kota Bandung. Ia juga akhirnya berteman dengan para dedengkot Kota Bandung dalam menjalankan bisnisnya. Bisa dibilang, Preman Pensiun adalah The Godfather versi Sunda.
Preman Pensiun adalah satu-satunya sinetron yang saya ikuti dari awal sampai tamat. Karena selain ber-setting di Kota Bandung, cerita sinetron ini sangat lucu dan penuh makna. Para pemainnya juga betul-betul orang Bandung, dengan logat Sunda yang kental tanpa dibuat-buat, sehingga betul-betul terasa alami dan bikin saya betah nonton sinetron ini.
#5 Dilan 1990
Barangkali film yang saya sebutkan ini adalah film paling terkenal yang ber-setting di Kota Bandung hingga saat ini. Dilan 1990 adalah film drama romantis yang disutradari oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Pidi Baiq. Film ini perankan oleh Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla sebagai Dilan dan Milea. Ada juga bintang film papan atas Indonesia lainnya seperti Farhan, Ira Wibowo, Tike Priatnakusumah, Adhisty Zara (Zara JKT48), Walikota Bandung Ridwan Kamil. Dan ada juga Kakak Vanesha, Sissy Priscillia, yang menjadi narator film ini sekaligus suara dari Milea dewasa.
Sebagai warga Kota Bandung, saya merasa bahwa kisah Dilan seperti prekuel dari The Tarix Jabrix karena menyinggung aksi geng motor yang telah terbentuk di Kota Bandung pada tahun 90-an yang lekat dengan remaja Kota Bandung yang sedang mencari jati diri. Film ini secara sempurna telah menggambarkan suasana Bandung tahun 90-an yang asri, dingin, dan sepi, lengkap dengan sejumlah kendaraan bermotor yang digunakan masyarakat pada tahun tersebut. Kondisi Kota Bandung pada film Dilan 1990 nggak seperti sekarang yang serba panas dan macet.
Entah kenapa, film ini membuat saya bernostalgia. Seolah-olah saya pernah merasakan masa SMA tahun 90-an, padahal saya baru memulai masa SMA saya tahun 2007. Terlebih, saya sendiri baru lahir pada tahun 1992 di Kota Bandung, dua tahun sebelum seting film ini. Inilah kekuatan magis dari Pidi Baiq yang telah sukses merangkai kata-kata dalam filmnya sehingga terasa sangat hidup. Saya sendiri memang sudah membaca novel Dilan terlebih dahulu, bertahun-tahun sebelum dibuat jadi film.
Sebetulnya masih banyak lagi film-film Indonesia yang berlatar Kota Bandung seperti Perahu Keras, From Bandung with Love, Bike Boyz, dan masih banyak lagi. Tapi saya pikir, yang saya sebutkan di atas adalah yang paling populer dan yang paling relevan menggambarkan Bandung sebagai tempat yang romantis dan nggak kalah dari Jogja.
BACA JUGA Cerita Warga Kota Bandung yang Habiskan Waktu di Perempatan Soekarno Hatta-Kiaracondong dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.