Kopi Kenangan, Akankah Berakhir seperti Mantan?

Kopi Kenangan, Akankah Berakhir seperti Mantan?

Kopi Kenangan, Akankah Berakhir seperti Mantan? (Dokumentasi Pribadi Tiara Uci)

Penikmat minuman kopi kekinian pasti sudah nggak asing dengan brand lokal yang satu ini. Gimana nggak, nama Kopi Kenangan begitu harum, sewangi aroma yang menguar dari segelas kopi racikan para baristanya. Apalagi setelah merek tersebut mampu menembus angka valuasi lebih 1 miliar dollar AS. Prestasi tersebut mengantarkan Kopi Kenangan sebagai start-up dengan label unicorn pertama di Asia Tenggara dari sektor makanan dan minuman.

Predikat yang terdengar mentereng tersebut lantas menggelitik pikiran saya sebagai orang yang awam dengan seluk beluk bisnis kopi ataupun kafe. Apakah gelar tersebut sanggup menjamin bisnis kopi yang nggak mengambil sistem ekspansi dengan cara waralaba ini menjadi usaha yang sustainable? Atau sebatas adu keren tapi bobrok di pendapatan? Pasalnya, sering kali gerai Kopi Kenangan tampak sepi pembeli. Pun, nggak ada driver jasa antar makanan online yang antre.

Jelas, logika jelata kayak saya lebih percaya kalau bisnis Mie Gacoan yang pengunjungnya mengular jauh lebih menguntungkan. Kendati seperti tebak-tebakan, dugaan ini terlahir dari sebuah pengamatan. Sisihkan dulu perdebatan soal valuasi versus profitabilitas yang bikin lidah terbelit. Toh, asumsi saya ini nggak lebih dari buah pikiran orang biasa yang sedang gabut saja, kok.

Strategi pemasaran yang dipertanyakan

Sebagai pionir merek kopi kekinian dengan nama-nama baper, tampak bahwa Kopi Kenangan ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda dengan konsep marketing ala story telling. Langkah ini terbukti menarik dengan lahirnya sejumlah pesaing head-to-head yang menyandang nama galau serupa untuk brand mereka. Sebut saja misalnya Janji Jiwa dan Lain Hati.

Berbagai penyebutan minuman nyeleneh tersebut memang berhasil dalam membentuk kesadaran publik. Sayangnya, gerbang masuk ini nggak ditindaklanjuti dengan jurus yang lebih nendang. Story telling yang awalnya dapat dimanfaatkan sebagai teknik penjualan yang unik, malah hanya berakhir sebagai daftar menu saja.

Akan jauh lebih memikat apabila terdapat value berupa cerita di balik racikan minuman yang disajikan. Misalnya, segelas cokelat sangat cocok dinikmati oleh pelanggan yang tengah bersedih karena patah hati. Tentu, gimik ini bukan karangan semata. Sebab, konon, mengonsumsi cokelat sanggup menstimulasi produksi hormon endorfin yang dikenal dapat membuat seseorang bahagia.

Menghadirkan lini bisnis baru, Cerita Roti

Setali tiga uang dengan lini bisnis baru Kopi Kenangan yang mengedepankan produk makanan, yaitu Cerita Roti. Dengar-dengar, jika Kopi Kenangan terinspirasi dari kisah masa lalu, Cerita Kopi terilhami dari ingatan masa kecil. Maksudnya, roti yang dijual itu berupa roti jadul tetapi ditujukan kepada konsumen masa kini dari berbagai generasi.

Nyatanya, nggak ada nilai tambah dari kedua produk tersebut. Hanya ada pertukaran antara uang dari pembeli dengan roti atau kopi dari penjual alias transaksi ekonomi tanpa disertai pengalaman pelanggan yang semula diharapkan.

Bukankah akan lebih mempan jika teknik menjual produk berbalut memori tersebut didukung dengan suasana kedai yang dirancang seyogianya tempo dulu? Contoh nyata adalah Toko Oen di Semarang yang berhasil menjual produk makanan dan minuman kekunoan dengan harga premium.

Pengunjung yang datang ke sana jelas nggak cuma membeli pengganjal perut maupun pemuas lidah, tetapi juga nostalgia. Jujur saja, ide menggabungkan kisah masa lalu nan galau dengan kenangan masa kecil yang menyenangkan dalam satu wadah penjualan tak ubahnya air dan minyak yang mustahil menyatu.

Baca halaman selanjutnya

Positioning yang bikin pusing…

Positioning yang bikin pusing

Nggak ada yang menyangkal kalau rasa minuman yang ditawarkan Kopi Kenangan memiliki ciri khas dan after taste yang memanjakan. Bahkan, sejumlah warganet berani berikrar bahwa kualitas kenikmatan Kopi Kenangan berada setingkat di atas mayoritas brand kompetitor. Akan tetapi kalau kita cermati, positioning Kopi Kenangan ini membuat dahi berkerut.

Life style dan tagline kekinian saja nggak cukup mendiferensiasi Kopi Kenangan dari para pesaingnya di industri yang sama. Kalau boleh bilang, penempatan merek Kopi Kenangan di benak konsumen terkesan tanggung. Mau ambil posisi sebagai grab-and-go-coffee, risikonya besar. Selain pasar yang sudah memasuki red ocean alias jenuh karena tingginya kompetisi, penetapan harga yang mestinya mendukung positioning merek ini malah terlihat nggak nyambung.

Taktik grab-and-go-coffee yang tepat ditunjukkan oleh pesaing kuda hitamnya, Point Coffee, yang jelas menjual produk minuman kopi dengan harga wajar tanpa ba-bi-bu gimik atau desain kafe yang instagrammable. Harga jualnya dapat menutup beban produksi yang nggak terlalu tinggi dibandingkan bila harus repot-repot menciptakan gimmick dan membangun kedai kopi eye catching.

Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Kopi Kenangan. Harga jual kopinya boleh saja sedikit lebih mahal. Lucunya, rotinya dibanderol dengan harga murah. Padahal keduanya ditawarkan di satu tempat yang sama dengan branding serupa.

Nggak heran jika ada yang bertanya di mana pasar yang mau dilayani oleh Kopi Kenangan. Beda halnya dengan Janji Jiwa yang konsisten mematok harga Jiwa Toast cukup tinggi. Orang akan berpikir bahwa Jiwa Toast memang produk khusus yang hanya ada di outlet Janji Jiwa. Lagi, harga jual kopi dan toast di Janji Jiwa lebih memungkinkan untuk menutup biaya operasional mereka.

Nggak bisa juga disandingkan dengan merek kopi seperti Starbucks

Sialnya, Kopi Kenangan juga nggak bisa disandingkan dengan sederet merek kopi yang menjual suasana dan nilai unik seperti Starbucks. Jangankan Kopi Kenangan, kompetitor yang setara saja kewalahan menghadapi Starbucks.

Di Indonesia, Starbucks nggak ngotot menjadi grab-and-go-coffee sebagaimana perusahaan ini berkegiatan di beberapa negara lain. Starbucks terang-terangan menjual gaya hidup dan status sosial yang diserap baik oleh pasar Indonesia. Mau berpindah di segmen ini? Rasanya berat karena Kopi Kenangan harus mengubah total pemetaan bisnisnya.

Inilah unek-unek saya sebagai penggemar kopi amatir tentang keberlanjutan Kopi Kenangan. Segalanya tampak kentang di mata saya.

Kopi Kenangan seakan bermain di dua kaki. Satu kaki ingin menjadi kopi dan roti peneman kerja seperti yang tergambar di adegan film yang menunjukkan seorang polisi berjaga dengan bekal kopi dan donat. Di lain pihak, mereka ingin menyasar gaya hidup masyarakat yang hobi flexing. Entahlah, mungkin jika nggak segera berbenah, Kopi Kenangan akan berakhir seperti ingatan tentang mantan.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Rekomendasi Menu Minuman Kopi Kenangan yang Wajib Kalian Pesan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version