Kopi Jago: Kopi Berkelas yang Nggak Jaksel Amat

Kopi Jago: Kopi Berkelas yang Nggak Jaksel Amat

Kopi Jago: Kopi Berkelas yang Nggak Jaksel Amat (Unsplash.com)

Di tengah gempuran konten soal pekerja Jaksel yang eksklusif dan berkelas, Kopi Jago hadir bak anomali.

Selama beberapa bulan mencoba hidup di ibu kota Jakarta, khususnya di Jakarta Selatan, saya menemukan banyak hal menarik tentang Jaksel. Tak seperti branding-nya di media sosial yang selalu lekat dengan hedonisme dan eksklusivitasnya, saya menemui banyak produk menarik yang tak sesuai dengan narasi Jaksel.

Salah satu yang saya temui adalah kopi dengan konsep menarik, rasa yang bersaing, namun memiliki harga yang jauh dari bayang-bayang Jaksel. Pembaca sekalian, please welcome Kopi Jago!

Kopi Jago murah, tapi nggak murahan

Kopi Jago memiliki konsep yang unik, yaitu mengadopsi sistem starling yang berkeliling ke beberapa tempat. Saat ini, Kopi Jago dapat ditemui di wilayah perkantoran elite Jakarta seperti SCBD.

Uniknya, brand minuman yang fokus dengan kopi ini justru menawarkan harga yang dapat dijangkau hampir oleh semua orang. Satu gelas kopi dibanderol paling murah 8 ribu rupiah. Selain itu, Kopi Jago juga memiliki menu minuman lain seperti milk tea, coklat, lemonade, hingga paket bundling dengan harga paling mahal 50 ribu untuk lima minuman.

Harga murah yang ditawarkan tak lantas membuat kualitas yang diberikan kepada customer juga ikut rendah. Menurut saya setelah beberapa kali mencoba membeli Kopi Jago, brand ini sangat memperhatikan kualitas terbukti dari rasa dan packaging yang sangat layak untuk harga 10 ribuan.

Kopi Jago jauh lebih layak dibandingkan starling yang kita temui di pinggir jalan, tapi tetap tak kalah dari brand kopi yang sudah memiliki gerai sendiri. Tentu saja, kalian tak bisa berharap rasa kopi yang kuat seperti pada coffee shop, tapi menurut saya perpaduan rasa kopi dengan bahan lainnya masih mashokk dan nyaman di lidah.

Saya akan memberikan review pada salah satu menunya, tepatnya menu andalan semua umat. Apalagi kalau bukan kopi susu. Terus terang, saya masih bisa merasakan rasa kopi pada setiap teguknya. Kemudian tambahan susunya tak membuat konsistensi minuman ini menjadi kental, namun cukup memberikan hint rasa gurih khas susu.

Terakhir, brown sugar sebagai pemberi rasa manis juga tak diberikan secara ugal-ugalan sehingga perpaduan ketiga bahan yaitu kopi, susu, dan brown sugar terasa pas. Bisa dibilang, kopi susu dari Kopi Jago sama sekali jauh dari kata murahan meskipun harganya begitu murah~

Anomali di tengah ibu kota

Brand ini menjadi anomali di tengah gempuran konten mengenai Jaksel yang terkesan penuh dengan eksklusivitas dan pekerjanya yang punya gaya selangit. Kopi Jago meruntuhkan anggapan tersebut karena kita bisa mendapatkan minuman berkualitas dengan harga yang murah justru di kawasan perkantoran seperti SCBD.

Saya juga menemui banyak karyawan necis yang membeli kopi ini, kok. Tenang saja, stereotip tumbler Corkcicle dan lanyard Coach tak sepenuhnya benar.

Kopi Jago seakan menjadi penyelamat kaum menengah seperti saya yang juga butuh asupan kafein di sela-sela waktu istirahat. Saya juga nggak mungkin mengunjungi kafe mahal dan Starbucks setiap hari karena justru malah membuat dompet saya semakin menangis. Selain itu, konsepnya yang berkeliling membuat saya merasa begitu dekat dengan brand ini.

Terkadang hal simpel seperti ini memberikan experience yang tak bisa ditemukan di gerai kafe biasanya. Kesederhanaan persis seperti yang saya rasakan ketika membeli starling konvensional juga saya dapatkan pada Kopi Jago.

Menyenangkan rasanya bisa sedikit bernapas dari hiruk pikuk ibu kota. Setidaknya Kopi Jago bisa memfasilitasi jiwa “ingin jajan” yang mungkin dimiliki mungkin oleh hampir semua orang.

Tak heran, kopi ini sempat viral beberapa waktu ke belakang. Saya pikir tak hanya dari kualitas dan harganya yang membuat Kopi Jago mendapatkan hati para customer, tapi brand ini juga memberikan kedekatan yang intim kepada kami para pembeli.

Persetan dengan Jaksel yang terkenal dengan gaya hidupnya dan keangkuhannya yang tampak di media sosial. Masih ada, kok, produk berkelas yang nggak Jaksel amat!

Penulis: Muhammad Iqbal Habiburrohim
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Gultik Blok M: Saksi Bisu Pergaulan Anak Muda, Perkembangan Musisi, dan Kehidupan Orang di Jakarta Selatan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version