Konten “5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” Adalah Bentuk Pembodohan

Konten “5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” Adalah Bentuk Pembodohan

Konten “5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” Adalah Bentuk Pembodohan (unsplash.com)

Beberapa waktu belakangan ini, timeline media sosial sering dibanjiri dengan konten bertema 5 ribu di tangan istri yang tepat. Formatnya hampir selalu sama: uang receh lima ribu ditukar dengan belanjaan sayur-mayur, lalu ditutup dengan adegan istri memasak dan makan bersama suami dengan penuh senyum. Seolah-olah lima ribu rupiah adalah kunci menuju surga rumah tangga hemat nan bahagia.

Sekilas memang terlihat menginspirasi. Tapi kalau ditilik lebih jauh, konten semacam ini sesungguhnya adalah bentuk pembodohan massal. Karena, mari kita jujur, Rp5 ribu di tahun 2025 itu tidak lagi sakti.

Uang 5 ribu itu belum cukup

Oke, dengan lima ribu mungkin masih bisa beli tempe papan, segenggam buncis, atau beberapa biji cabe rawit. Tapi itu baru bahan mentah doang. Belum termasuk bumbu dapur, tepung serbaguna, minyak goreng, apalagi gas untuk menyalakan kompor. Semua perintilan itu jelas butuh biaya tambahan. Kalau kita hitung secara realistis, biaya yang dikeluarkan untuk sekali masak sudah pasti lebih dari sekadar recehan koin.

Belum lagi soal porsi. Konten tersebut sering memberi ilusi bahwa hasil masakan Rp5 ribu bisa cukup untuk tiga kali makan dua orang dewasa. Bahkan kadang ada yang sudah termasuk untuk makan anaknya yang masih balita. Kecuali kalau perutmu selevel porsi nasi kucing angkringan, ya jelas tidak masuk akal.

Rata-rata orang Indonesia butuh makan dengan porsi wajar: ada nasi, lauk, dan sayur. Nah, nasi ini juga jarang masuk hitungan. Padahal nasi itu kan fondasi utama dapur orang Indonesia. Kalau tidak makan nasi, rasanya seperti “belum makan”. Jadi klaim “Rp5 ribu cukup buat sehari” makin terasa absurd.

Standar palsu

Persoalan makin runyam ketika konten semacam ini disebarkan tanpa konteks. Efeknya, ada istri-istri yang jadi merasa boros karena pengeluaran dapurnya lebih dari Rp5 ribu sehari. Padahal jelas saja, harga kebutuhan pokok tidak bisa diperas seenak itu.

Sementara itu, para suami yang menonton bisa saja jadi punya persepsi keliru. “Tuh, ternyata lima ribu sehari bisa kok buat makan. Kenapa kamu minta lebih?” Inilah yang saya sebut menyesatkan. Alih-alih memberi edukasi finansial, konten ini malah menciptakan standar palsu yang membebani perempuan.

Dan bagian paling ironis dari drama Rp5 ribu ini adalah adegan penutupnya. Saya pernah menonton salah satu video serupa. Sang istri sudah susah payah memasak dengan uang belanja hanya Rp5 ribu, makan berdua penuh senyum, tapi di atas meja tampak jelas sekotak rokok seharga Rp15 ribu milik sang suami.

Lho, jadi biaya rokok lebih mahal daripada biaya makan? Bukankah ini puncak komedi tragis? Istrinya diglorifikasi karena bisa mengatur uang receh, sementara suaminya bebas menghamburkan tiga kali lipat hanya untuk asap.

Kalau dipikir-pikir, fenomena ini bukan sekadar soal harga sayur atau belanja dapur. Ini soal mentalitas. Ketika biaya rokok dianggap wajar, tapi biaya makan harus ditekan seirit mungkin, ada yang benar-benar keliru dalam cara kita menilai prioritas. Suami yang benar mestinya punya mindset sebagai provider, bukan penonton konten receh lalu membanding-bandingkan istrinya dengan video TikTok.

Begini seharusnya konten Rp5 ribu di tangan istri yang tepat

Karena itu, izinkan saya memberi punchline. Kalau memang ada suami yang lebih rela mengeluarkan uang tiga kali lipat untuk rokok daripada untuk makan yang layak, maka Rp5 ribu di tangan istri yang tepat sebaiknya dipakai saja buat naik ojol ke KUA. Langsung gugat cerai, beres. Percuma mempertahankan rumah tangga kalau logikanya sudah jungkir balik.

Pada akhirnya, rumah tangga sehat tidak bisa dibangun dengan glorifikasi recehan. Ia butuh komunikasi, rasa adil, dan kesadaran bahwa makanan bergizi adalah kebutuhan dasar, bukan kemewahan.

Jadi lain kali kalau ada konten Rp5 ribu di tangan istri lewat di beranda, jangan buru-buru kagum. Lebih baik kita bertanya, “Kenapa standar hidup perempuan harus ditekan sampai titik ini, sementara laki-laki masih bebas merokok dengan santai?”

Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Sebagai Anak Kos, Saya Muak Lihat Konten TikTok Rp10 Ribu Sehari untuk 3 Kali Makan. Nggak Masuk Akal!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version