Pemerintah agaknya mulai kehilangan akal akhir-akhir ini. Mulai dari carut marutnya DPR, baik yang lama mau pun yang baru dilantik, hingga pihak kepresidenan yang seperti nggak tahu mau berbuat apa. Belum lagi konflik Papua yang belum juga mereda, demonstasi terjadi di mana-mana, polisi yang bertindak semena-mena, ditambah lagi penangkapan aktivis yang sarat akan pembungkaman. Negara dalam keadaan kacau saat ini. Pemerintah tak kunjung memberi solusi. Sekalinya memberi solusi, malah berencana membuat konser musik.
Iya, sebuah konser musik. Beberapa hari lalu, para musisi mengunjungi (diundang?) ke Istana. Ada Sandy Pas Band, Godbless, Kikan, Sandhy Sandoro, John Paul Ivan, dan beberapa musisi lain Tujuan mereka adalah mengundang Presiden Jokowi untuk menghadiri “Konser Untuk Republik”, yang rencananya akan dihelat pada 18-20 Oktober 2019, di Bumi Perkemahan Buperta Cibubur, Jakarta Timur. Kabarnya, acara ini melibatkan lebih dari 60 musisi lintas genre, yang bisa disebut sebagai “musisi Istana”. Agaknya, mengundang Presiden untuk datang konser lebih mudah dari pada mengundang diskusi terbuka dengan mahasiswa.
Lilo KLa Project, sebagai penggagas acara tersebut mengatakan bahwa acara “Konser Untuk Republik” ini bertujuan untuk meredam perpecahan di masyarakat dan membuat masyarakat bersatu kembali. Acara ini juga dihelat tanpa adanya sponsor sama sekali. Lilo juga mengatakan bahwa mereka nggak mau acara ini ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak terkait. Ya iya lah katanya tanpa sponsor, lha wong disponsori langsung oleh Istana. Auto lancar ini mah.
Jujur, wacana tentang konser ini yang bertujuan meredam perpecahan atau apa lah itu tujuannya, menurut saya oke oke saja, tapi nggak solutif. Beneran, deh, nggak solutif! Lha gimana mau solutif, yang terjadi akhir-akhir ini apa, solusinya apa. Nggak nyambung gitu. Maksudnya, mbok ya cari solusi yang rasional, yang linier, yang konkret gitu. Misalnya untuk permasalahan konflik Papua, ya solusinya adalah menarik militer dari Papua, dan membuka akses jurnalis ke Papua. Itu baru solutif. Kalu untuk kekacauan yang terjadi belakangan ini, demo-demo dan sebagainya, ya tinggal penuhi tuntutan demonstran apa susahnya, sih? “Gitu aja kok repot” kalau kata Gus Dur.
Musisi Istana seperti mereka mah iya iya aja, yang penting manggung lancar. Lihat aja para ‘musisi istana’ ini. Saya sih yakin, mereka sudah terbeli daya kritisnya. Mulai dari PAS Band, Slank, hingga musisi metal yang nggak diduga akan bergabung dengan musisi Istana, yaitu Siksakubur. Entah apa yang mereka cari, gitu. Bukannya menyuarakan apa yang sedang terjadi di negeri ini, malah bergabung dengan penguasa. Nggak usah berdalih mau menyuarakan kegelisahan dari dalam, deh, nggak ada yang percaya. Memangnya sudah nggak dapat hormat ya di skena, kok sampai bergabung ke Istana?
Belum lagi ada wacana menggelikan, bahwa “Konser Untuk Republik” ini bisa dibilang sebagai Woodstock-nya Indonesia. Hey, Bung! Jangan coba-coba menyamakan festival sekelas Woodstock dengan acara “bikinan” pemerintah, dong. Coba deh, belajar lagi gimana Woodstock bisa ada, dan apa semangat yang melatarbelakanginya. Jangan asal menyamakan kalau “Konser Untuk Republik” ini sama dengan Woodstock. Semangat Woodstock itu semangat anti perang, anti oligarki. Yang jelas, Woodstock tidak “disponsori” oleh pemerintah, berbeda dengan “Konser Untuk Republik” ini. Toh Woodstock juga hanya sukses di gelaran pertama tahun 1969 saja. Selebihnya, ya biasa aja.
Khususnya ntuk para musisi Istana ini, agak aneh memang pola pikir mereka. Misalnya, ketika kawan musisi lainnya, Ananda Badudu ditangkap polisi, kok ya minim sekali dukungan untuk Ananda Badudu dari musisi kalangan mereka. Bukannya bersolidaritas, mereka malah berpakaian rapi memasuki Istana, bercengkrama ria, sedangkan Ananda Badudu, kawan sesama musisi sedang menghadapi ancaman represif dari aparat. Nggak ada perasaan memang.
Logika pemerintah dan para musisi Istana ini memang sudah nggak beres. Ketika negara sedang carut marut seperti ini, malah bikin konser musik. Nggak usah berdalih bahwa lewat konser musik ini, mereka akan menyuarakan kegelisahan-kegelisahan mereka dan menyuarakan isu-isu yang sedang terjadi. Nggak usah berdalih seperti itu. Paling juga nanti hanya akan ada lagu-lagu nasionalisme menye-menye, yang hanya lewat di telinga. Sudahlah, kita sudah cukup muak, selalu dibuat dengan “Garuda di Dadaku” dari NTRL, atau “Bendera” dari Cokelat. Kita sudah muak dengan ide-ide overproud nationalism yang bikin kita abai soal kondisi negeri ini. (*)
BACA JUGA RUU PKS Adalah RUU yang Islami atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.