Komentar Negatif dan Hal Tak Menyenangkan Lainnya

komentar negatif

komentar negatif

 

Awal September 2019, saya menemani Kevin, Kawan sejurusan, berbincang tentang rambut miliknya yang baru saja dipangkas. Rambut gondrong yang ia pelihara selama setahun, kini tampak tak ada rekam jejak sama sekali. Alasannya: PPL mengkoyak-koyak, sedang kegiatan itu tak memiliki ruang bagi laki-laki berambut panjang sebahu. Demikian, Maka sekarang ia tengah duduk di depan saya, memakai kaos polo, celana panjang hitam, sembari menceritakan pengalamannya.

“Aku kurang suka sama hal kayak gini, mangkas rambut,” ungkap Kevin mengawali cerita. Lalu ia melanjutkan soal semua orang, dari masa lalunya hingga kini, yang selalu berkomentar negatif tentang rambut yang ia miliki.

Saya mengangguk, waktu menunjukkan pukul setengah 12 siang dan saya lapar. Sebab itu, Fokus meniti kata-kata Kevin menjadi berkurang, mata mengantuk. Ditengah desakan lambung yang menjerit, saya tetap mencoba memahami setiap detail ceritanya.

“Sampai sekarang, meskipun ikut ketawa mendengar teman berceloteh soal rambutku, setelah itu tetap aja terasa sakit,”. Kevin melanjutkan ceritanya tanpa helaan napas.

Benar kata sebagian orang, cerita selalu bersambung tiada henti. Dan saya percaya itu. Terbukti, Kevin seakan menceritakan kisah sunyi yang ia tempuh tanpa pernah terlihat sebuah ujung. Saya mulai terjerat lalu menyelam ke perbincangan, ketika Kevin mengajukan pertanyaan sederhana namun selalu sulit untuk dijawa—bahkan Fadli Zon mungkin tak bisa menjawab!—“Salah nggak sih aku baper sama hal kayak gitu?” tanyanya.

Saya tercenung. Perihal benar dan salah, tentu saja kami pemula. Lebih baik perkara itu kami serahkan kepada Habib Rizieq—saya yakin pembaca yang budiman pasti setuju—namun, sadar Habib Rizieq masih bersemayam di Arab, kami pun coba mendiskusikan masalah itu bersama.

Menilik perbincangan tadi, kebaperan Kevin tidaklah aneh. Perasaan itu tentu merupakan luapan dari pengalaman yang menghantamnya bertubi-tubi, setiap saat, setiap waktu. Sebagian orang menyebut fenomena itu dengan istilah kuantitas menjadi kualitas. Ibarat penindasan beruntun para raja kepada rakyat, kemudian lahirlah revolusi. Saya pikir dua hal itu memiliki pola yang sama, hanya ini masalah rambut, bukan revolusi.

Lalu, luapan perasaan itu selalu muncul tanpa diminta kalau suatu saat pengalaman yang sama terulang. Kevin mengalami itu, selalu. Dan tanpa sadar, saya pun suatu kali pernah berkomentar negatif soal rambutnya, meskipun dengan nada bercanda. Namun tentu saja, kita tak bisa mengendalikan perasaan setiap orang. Dan rasa bersalah pun muncul bertahap, maaf cuk!.

Kami kemudian mulai membicarakan mengenai pikiran masyarakat. Dalam hal ini, mustahil mengendalikan pikiran masyarakat untuk berkomentar sesuai kehendak kita. Bahkan kepemimpinan otoriter sekalipun.

Khayalan saya melayang. Mungkinkah Soeharto selama 32 tahun berusaha mengendalikan pikiran rakyat sebab mempunyai trauma soal rambutnya? Jawabannya: Bisa iya bisa tidak. Toh, Kita tidak tahu motivasi sejati Soeharto apa, kan? Lebih baik berimajinasi sekehendak hati terhadap itu. Mumpung belum dilarang, hehe.

Jadi sangat jelas, mengendalikan pikiran masyarakat sangat mustahil. Kata orang: kita yang musti berubah. Apa betul itu solusi terbaik? saya rasa tidak. Komentar orang akan terus ada dan berlipat ganda meskipun kita sudah berubah sedemikian rupa. Menuruti setiap komentar orang, hanya menyisakan kelelahan yang tak berujung.

Pilihan paling logis adalah, menyikapinya dengan sambat setiap hari. Sambat terhadap apapun komentar orang lain, saya pikir merupakan sebuah kebijaksanaan. Lha, kita bukan manusia sempurna je yang bisa selalu sabar terhadap komentar negatif, hinaan serta cacian orang lain. Jadi Sambat pada tembok, lemari, meja, kasur adalah upaya menenangkan diri paling manjur.

Sambat saya yakini sebagai jalan keluar pada keyakinan saya bahwa manusia tak akan bisa saling memahami sepenuhnya satu sama lain. Saya selalu memegang keyakinan itu sepenuhnya. Masalah Kevin mungkin kecil di mata orang lain. Dan itu yang membuat orang lain tak pernah paham. Namun apa yang kecil apa yang besar? Goenawan Moehammad (GM) mengajukan pertanyaan itu pada esai “The Death Of Sukardal”.

Suatu hal menjadi kecil dan besar tergantung perspektif seseorang. Begitulah, Namun perspektif penguasa, pada akhirnya, selalu mendominasi suatu hal dan akan selalu begitu. Maka, pada suatu siang yang hangat itu, Saya terlelap pulas dengan perut keroncongan. Cerita Kevin dan pertanyaan GM seakan menjelma sebuah mimpi. Ah, seperti kata Poe, mimpi dalam mimpi.

BACA JUGA Tidak Ada Orang yang Benar-Benar Keparat di Dunia Ini atau tulisan Zaki Annasyath lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version