Kalau kamu orang yang tahu banget soal harga baju, pasti akan ngerasa aneh kalau nemuin baju Uniqlo, Zara, ataupun H&M dijual dengan harga murah dari harga outlet resminya. Padahal, dilihat sekilas, kondisi produknya baik-baik aja. Kenapa, ya?
Mungkin itulah pertanyaan yang berkelana dalam benak kita. Ketika kita menemukan beberapa seller di marketplace yang secara terang-terangan mampu menjual branded fashion items ternama dengan harga jauh lebih murah daripada harga di gerai resminya. Bagi reseller kecil atau dropshipper, hal tersebut mungkin masih sulit dilakukan. Akan tetapi bagi para pemodal besar, fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang baru.
Kalau kita pernah menemukan beberapa baju Uniqlo atau Zara yang disilang atau dipotong bagian labelnya, artinya kita membeli produk yang disuplai oleh para pemodal besar tersebut. Lantaran kondisi tertentu, barang-barang tersebut pada akhirnya tidak boleh diperjualbelikan di gerai resmi. Oleh karena itu, ia bisa dibeli oleh beberapa pemodal besar langsung dari pabrik.
Jadi ceritanya, para brand fast fashion ternama tersebut melakukan order ke pabrik garment untuk memproduksi pakaian mereka. Nominal yang diproduksi tentunya tidak sedikit. Pasalnya, mereka menerapkan skala ekonomi untuk menekan beban biaya produksi. Terlebih, biasanya terdapat pula jumlah cadangan barang yang melebihi permintaan pesanan dari klien.
Misalkan yang diorder itu berjumlah 10 ribu biji pakaian, biasanya pabrik garmen akan melebihi kuantitas produk sebagai antisipasi bila ada produk yang gagal produksi atau cacat. Produk gagal tersebut tidak mungkin diloloskan untuk dijual di outlet.
Kelebihan produksi yang tidak memenuhi QC atau quality control untuk ekspor itulah yang disebut dengan stocklot. Orang awam biasanya menyebut baju Uniqlo, Zara, atau H&M semacam itu dengan istilah sisa ekspor karena seluruh baju yang lolos QC akan diserahkan dulu kepada klien melalui perdagangan ekspor sebelum didistribusikan di sejumlah gerai resmi mereka di berbagai negara.
Dalam dunia manufaktur, kondisi hasil produksi lazimnya dibagi dalam beberapa kelas sesuai dengan kualitas akhir yang dihasilkan. Barang yang disebut dengan Grade A biasanya mempunyai kondisi mulus tanpa cacat sesuai dengan standar brand yang bersangkutan. Tingkatan produk tertinggi inilah yang nantinya terpilih untuk dijual di toko resmi baik offline maupun online. Oleh sebab itu, pakaian dengan kategori Grade A memiliki kelengkapan yang biasa ditemukan pelanggan di official store seperti label dan tag harga. Terkadang, beberapa merek besar menyertakan polybag sebagai pelengkap kemasan produk mereka.
Kemudian, ada yang disebut dengan Grade B. Kualitas di bawah tingkatan sebelumnya ini memiliki minor reject atau cacat kecil. Walaupun dikatakan minor atau kecil, barang-barang tersebut tak layak dijual secara resmi lantaran berpotensi akan mempengaruhi reputasi brand yang bersangkutan. Ketidaksempurnaan yang biasa terjadi biasanya berupa noda atau lubang kecil yang mungkin tak terlihat jika tidak dicermati dengan benar. Yang terakhir, atau Grade C, adalah hasil produksi dengan kondisi yang kurang baik seperti ada bagian yang tak terjahit sempurna, kancing yang tak terpasang, atau ritsleting yang rusak.
Sudah bukan rahasia lagi bukan kalau banyak merek fast fashion termasyhur dalam industri mode yang melemparkan proses produksinya ke negara-negara yang berkembang atau yang memiliki upah tenaga kerja rendah. Latar belakangnya jelas untuk menekan biaya dari sisi proses produksi.
Bagi yang pernah berbelanja brand fast fashion di luar negeri, pasti sesekali pernah menemukan tulisan made in Indonesia pada label baju tersebut. Nah, lalu bagaimana dengan produk yang tidak jadi diekspor karena tidak memenuhi QC tadi? Di sinilah pabrik garmen berperan besar karena ia akan melelang kelebihan produksi tadi atau stocklot pada para supplier fashion yang nantinya akan didistribusikan kembali kepada para reseller yang mayoritas mudah ditemukan di platform marketplace.
Lalu apakah syarat menjadi supplier fashion ini? Sebenarnya syaratnya cuma satu, sih, tapi nggak mudah yaitu kuat modal. Hehehe. Modal yang dibutuhkan berjumlah fantastis lantaran para supplier tersebut harus membeli dengan cara take all alias mengambil semuanya. Apalagi pembelanjaan dengan sistem lelang ini memang harus kuat-kuatan modal supaya menang dari kompetitor.
Wajar saja, sebagai produsen, pihak pabrik garmen pastinya juga tidak mau rugi. Mereka menjual dengan harga sangat murah dan biasanya mendekati harga modal produksi. Jika tidak dijual secara massal, akan sangat besar kerugian yang ditanggung oleh pihak garmen.
Lelang tersebut juga tidak bisa sembarangan dilakukan. Sudah pasti ada persyaratan tertentu agar tidak tersandung masalah hukum di kemudian hari. Tak dimungkiri, perjanjian kontrak antara pabrik garmen dan brand terkait yang menjadi kliennya sudah pasti diperlukan. Salah satu syarat yang umum diajukan adalah adanya jarak waktu dilaksanakannya pelelangan dengan masa penjualan barang di store resmi brand tersebut.
Jika baju Uniqlo, Zara, atau H&M yang diproduksi sudah tidak dijual lagi di gerai resmi, pabrik garmen baru diizinkan mengadakan lelang. Syarat umum berikutnya sudah sempat disebut di atas tadi yakni dengan menghilangkan merek yang bersangkutan baik dengan menggunting label maupun mencoret merek pada stocklot tersebut. Oleh sebab itu, kita patut curiga apabila ada seller yang menjual barang branded dengan harga murah plus kelengkapan label dan hangtag karena bisa jadi itu barang illegal ataupun KW.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Audian Laili
BACA JUGA 4 Strategi Uniqlo, H&M, Zara, dan Brand Fast Fashion Lain yang Bikin Kalap Belanja