Kok Bisa Bela Diri dari Klitih Malah Kita yang Jadi Tersangka?

fakultas hukum klitih MOJOK

fakultas hukum klitih MOJOK

Kata orang-orang, Jogja itu kota romantis. Sampai-sampai apa saja yang ada selalu diromantisasi. Dari keramahan warganya, angkringan pinggir jalan, pengamen sudut perempatan lampu merah, makan gudeg malam-malam, bahkan UMR-nya saja bener-bener bikin romantis. Tapi, apa iya, kalo kamu ketemu klitih di Jogja masih berasa romantis?

Bisa jadi pengalaman bertemu klitih apalagi bareng pasangan masuk kategori kenangan paling tersedap. Siapa yang bisa membayangkan? Atau langsung mengalaminya? Mungkin kamu bisa lihat aksi Mas Irawan, ketemu sama klitih di jalanan pas bareng sama istri. Romantis sih tapi ngeri-ngeri sedap bukan?

Akibat aksi klitih terhadap dirinya, Mas Irawan seperti mendapatkan nyali superhero. Mengejar pelaku klitih dengan kaca mobil depan yang sudah pecah ia lakukan untuk membela diri dan sang istri. Naasnya, saat aksi kejar-kejaran terjadi kecelakaan yang tak terhindarkan hingga menyebabkan pelaku klitih meninggal dunia. Kejadian yang terjadi di bulan Desember 2018 ini baru divonis Selasa, 4 Agustus 2020 yang lalu.

Vonis atas kasus Mas Irawan bukan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kalau ingat, awal tahun 2020 sudah ada vonis atas kasus Pelajar ZA yang bela diri pas mau dibegal. Untungnya, Adik ZA ini masih dibawah umur jadinya cuman dihukum untuk dibina selama 1 (satu) tahun di LKSA. Lega.

Masyarakat yang melihat vonis kasus macam gini pasti bakalan miris, gimana kalo kejadian serupa terjadi sama kita sendiri? Masa iya kalo pas lagi dibegal atau diklitih biar win-win solution kita musyawarah dulu sama pelaku. “Pie ki mas enake? Aku lek ngebela awaku dhewe dipenjara ngko i”, kira-kira. Belum kita sempet ngobrol udah keluar aja ini darah gegara dibacok.

Banyak komentar dan tanggapan netijen atas kasus-kasus kaya gini. Dari yang selalu menyalahkan hukum indon itu lucu-lucu, paling aneh, nyalahin Pak Hakim yang nggak bisa berpikir jernih. Dan jangan lupa slogan kemirisan hukum yang selalu digaungkan  “Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah”. Tapi memang bener juga sih kadang.

Jika dilihat dari kacamata orang awam secara sekilas memang harusnya kasus macam gini bisa cepat selesainya. Toh ini korban yang bela diri dari kejahatan. Kenapa harus lama-lama sih? Udah lama malah si korban yang dihukum. Terus harus gimana kalo ketemu begal atau klitih di jalanan?

Memang bukan perkara yang mudah untuk menyelesaikan kasus pidana terlebih kasusnya mendapat perhatian publik. Hukum pidana di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada aturan untuk korban yang bela diri dari suatu kejahatan. Tepatnya di pembelaan terpaksa, dan pembelaan terpaksa melampaui batas. Coba cek aja di KUHP, liatnya di Pasal 49 yha~

Aksi Mas Irawan yang menyebabkan kecelakaan sehingga terbukti melanggar hukum pidana itu merupakan langkah awal biar bisa dikatakan pembelaan terpaksa. LAH KOK BISA?! Iya, apapun perbuatanmu untuk membela diri itu pasti sudah melanggar hukum.

Sekarang bayangin, kamu mau dibunuh tapi karena kamu bela diri jadinya kamu bunuh pelakunya duluan. Mau kaya gimanapun pembunuhan melanggar hukum bukan? Hal itu juga yang diterapkan oleh semua hakim dalam membuat putusannya. Pastinya, Pak Hakim mutusin dulu kalo perbuatan kamu itu salah dan melanggar hukum. ohh gitu

Perbuatanmu bisa dikatain bela diri menurut hukum +62 kalau memenuhi syarat lain. Selain syarat tadi perbuatanmu itu melanggar hukum, menurut Prof. Moeljatno ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi seperti harus ada serangan atau ancaman seketika/sangat dekat dengan kamu pas kejadian. Terus serangan dari pelaku itu serangan yang bisa nyerang diri kamu, harta benda kamu, kehormatan diri atau kesusilaan. Nah barulah, abis itu kamu ngelakuin pembelaan.

TAPI, perbuatan pembelaan yang kamu lakuin emang satu-satunya jalan yang harus dilalui. Kaya kamu kepentok di gang buntu nggak bisa lewat mau gamau harus putar balik bukan? Nah putar balik itu bisa di ibaratin buat kamu ngelakuin pembelaan diri. Hanya ada satu perbuatan yang bisa dilakukan.

Bahkan, waktu serangan terhadap kamu dan perbuatan membela diri juga bisa jadi parameter Pak Hakim loh dalam nentuin kamu ini masuk Pasal 49 apa engga. Astaga dragon rebek.

Simpelnya kamu itu tidak ada waktu untuk ngehindar kayak lari ngibrit. Bener-bener harus kepentok tok tok nggada jalan lain, memang harus ngelakuin bela diri kaya mukul, ngebacok, bahkan hingga membunuh. Dipikir-pikir emang ribet sih, orang diserangnya saat itu juga antara hidup dan mati. Eh harus sempet mikir teori bela diri ala hukum dulu biar ngga di penjara nantinya.

Nah sekarang coba ilustrasikan sama kasusnya Mas Irawan. Kronologis kejadian Mas Irawan , berawal dari pelaku klitih yang berpapasan dengan mobil Mas Irawan. Kemudian, pelaku diduga akan melakukan klitih dengan memukul stik besi ke kaca mobil. Nah setelah kejadian tersebut, Mas Irawan balik putar arah dan mengejar kedua bocah pelaku klitih ini.

Di tengah pengejaran Mas Irawan diperingatkan istrinya agar tidak melakukan pengejaran. Namun, Mas Irawan terus mengejar sampai akhirnya terjadi kecelakaan mobil Mas Irawan menabrak sepeda motor pelaku klitih.

Ingat lagi, syarat-syarat pembelaan diri tadi. Emang bener ada serangan ke arah Mas Irawan dan seketika lagi, Terus pengejaran Mas Irawan berbuntut kecelakan juga sudah dikategorikan melanggar hukum UU Lalu Lintas. Ada serangan pelaku klitih mengarah ke diri dan harta Mas Irawan. Lalu, syarat apa yang tidak terpenuhi?

Iya benar, jika kamu menjawab perbuatan pengejaran Mas Irawan itu bukan perbuatan satu-satunya yang bisa dilakukan. Coba kita cermati lagi, ketika terjadi aksi pemukulan kaca mobil. Apakah Mas Irawan tidak bisa menjauh saja tidak usah mengejar? Terlebih istrinya sudah memperingatkan agar tidak usah mengejar. Apakah Mas Irawan tidak bisa langsung melapor saja ke kantor polisi? Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya Mas Irawan mempunyai kehendak bebas untuk melakukan apapun toh pelaku sudah pergi menjauh.

Tapi tidak bisa disalahkan juga pengejaran Mas Irawan, kita semua pasti akan merasa sangat kesal apabila terjadi aksi klitih terhadap diri kita. Sampai-sampai kita pengen ngasih pelajaran bener-bener ke pelaku klitih.

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau sudah seperti itu tertulisnya hukum pidana kita. Makanya dalam hukum ada adagium lex dura sed tamen scripta artinya hukum itu kejam tapi memang begitulah bunyinya. Yaaa mau gimana lagi, Gan~

BACA JUGA Kuliah Capek-Capek Kok Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga, Lha Emang Kenapa? 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version