Walaupun kota Yogyakarta itu dijuluki sebagai kota pelajar, tapi nggak bisa dipisahkan juga dengan masih adanya klitih alias begal yang masih berkeliaran bebas di sini. Tentunya ini bisa jadi suatu culture shock, bagi orang-orang yang baru datang ke Yogyakarta dan baru sekadar tahu Yogyakarta itu cuma soal angkringan, Tugu, Malioboro, dan suasana pedesaannya yang kental, ayem, dan asri.
Yogyakarta ternyata nggak seayem itu. Ya, karena berita soal kasus begal itu selalu ada dan mengintai di mana-mana. Terutama pada jam-jam malam dan tempat yang sepi, sehingga menjadi daerah rawan kejahatan.
Akan tetapi, walaupun saya sering lihat banyak portal berita yang membahas soal klitih ini tadi, saya tetap bingung sebenarnya apa yang dicari dari kegiatan ini. Mencari kepuasan bebas berkendara pakai motor, begitu? Mending gabung ke klub motor dan ikut sunmori saja. Tapi, kalau dipikir-pikir alasan lainnya seperti, untuk senang-senang, saya juga enggak paham, apalagi kalau ternyata ditemukan senjata tajam di jok motor atau di dalam tasnya.
Klitih itu biasanya identik dengan motor-motor yang “laki” banget. Selain itu, knalpotnya biasanya diganti pakai yang suaranya menggelegar. Pokoknya suara knalpotnya itu yang kalau motornya sedang lewat sekitar jam sebelas malam, bikin orang yang lagi nyenyak tidur langsung mak tratap. Ditambah biasanya begal itu ramai, berkelompok, ditambah juga dengan suara teriakan waktu ketemu korbannya.
Akan tetapi, baru-baru ini, saya dengar kabar kalau ada klitih pakai motor Scoopy. Tolong banget, dong itu, besok-besok jangan pakai Scoopy lagi. Bukannya apa-apa, tapi apa kalian nggak kasihan sama para softboy yang sudah punya cap kemana-mana “gas hayuk meluncur” pakai motor Scoopy? Eh, malah motornya kalian pakai buat berangkat klitih. Walaupun nanti alasannya klise, yakni biar nggak mudah diketahui sama aparat keamanan. Namun, kalian sadar nggak sih, kalau begal pakai motor Scoopy, menurut saya justru akan mengarah pada krisis identitas klitih itu sendiri di kalangannya.
Lah ya iya, nggak krisis identitas piye to? Motor Scoopy sekarang ini di kebanyakan pemikiran orang jatuhnya ke arah orang-orang kalem yang kalau diajak pergi minum kopi atau main mau sejauh apa tempatnya tetap saja ayo gas. Kalau pelaku klitih pakai Scoopy ini, agak bagaimana begitu rasanya, kurang cocok sama vibes begal yang biasanya muncul di layar kaca.
Nah, ini kan sudah kelihatan sangat bertolak belakang. Klitih kan terkenal brutal, liar, dan brengsek, masa pakai motor Scoopy, duh! Bagi saya juga, bodi dari motor Scoopy itu lumayan besar, bukannya susah kalau nanti mau menyalip kendaraan-kendaraan lain dan masuk ke gang-gang kecil?
Itu juga, yang klitih pakai motor Scoopy, saya curiga jangan-jangan kamu anak indie ya? Kerjanya setiap hari duduk di kursi, menyalakan rokok, menulis puisi, senja-kopi-senja-kopi. Terus gara-gara bosan sama rutinitasnya itu akhirnya pilih buat nglitih orang, duh. Kalian itu salah. Bukan cuma salah karena nglitih orang yang sama sekali nnggak punya maksud buruk saja. Namun, kalau kalian itu ternyata anak indie, begalnya harusnya pas senja juga! Biar suasananya mendukung. Kalau begalnya malam hari dan tetap pakai motor Scoopy, jatuhnya kayak terlalu memikirkan doi sampai nggak punya jam tidur, duh!
Kalau beneran anak indie bagaimana coba? Apakah waktu diinterogasi aparat keamanan, tiba-tiba playlist terputar sendiri? Terus ternyata pas banget yang muncul lagunya ‘Realita’ dari Fourtwnty, begitu?
Namun, tetap saja ya, ini justru harus dijadikan titik balik kewaspadaan kita, sebagai warga masyarakat. Untuk selalu awas keadaan sekitar, termasuk juga bagi saya. Mau pelaku klitih pakai motor yang sudah dikenali ataupun pakai motor lain yang nggak pernah kita duga, pokoknya jangan lengah dan mudah percaya. Keamanan harus tetap ditingkatkan di mana pun itu dan klitih harus ditumpas adanya demi ketenteraman bersama. Jadi, jangan segan-segan untuk lapor ke pihak berwajib, apabila bertemu dengan gerombolan orang brengsek seperti ini.
BACA JUGA Tips Pulang Malam agar Selamat dari Klitih di Bumi Romantis Bernama Jogja dan tulisan Cindy Gunawan lainnya.