Selain micin yang kerap dijadikan bulan-bulanan massa karena dituduh sebagai biang keladi kebodohan satu generasi, pengawet makanan juga sering dituding jadi sumbu pemicu sel kanker dalam tubuh. Tentu saja klaim tersebut sangat menyesatkan. Kebodohan dan kanker adalah dua kondisi klinis kompleks yang nggak bisa semena-mena dilimpahkan asal muasalnya pada micin dan pengawet sebagai biang kerok pertama dan utama.
Saya nggak peduli kalian mau percaya atau tidak, tetapi asosiasi negatif pada kata pengawet makanan sudah keterlaluan. Sebagai anak pangan saya merasa perlu untuk menceritakan sudut pandang yang mungkin nggak penting buat kalian. Bodo amat, kata pak ustad, kewajiban kita adalah mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan, selebihnya ya hanya Allah yang punya hak prerogatif dalam jatah hidayah masing-masing orang.
Jadi begini, cara bikin makanan awet itu nggak cuma dikasih pengawet buatan atau pengawet kimia, Ndro. Banyak teknologi pengolahan yang bisa dilakukan sehingga tidak perlu ditambahkan pengawet sama sekali pada makanan. Bukti paling gampangnya ya lihat kulkas di rumah kalian masing-masing, pendinginan dan pembekuan adalah salah satu cara pengawetan paling sederhana. Tujuannya untuk memperlambat tumbuhnya bakteri pada bahan makanan.
Cara lain yang telah dilakukan sejak zaman nenek moyang ya pengeringan menggunakan sinar matahari, dan pengasapan yang biasanya dilakukan pada bahan makanan hasil laut. Fungsinya simpel, mengurangi kadar air dalam bahan. Pentingnya apa “menghilangkan air” pada bahan? Ya biar nggak jadi tempat hidup oleh mikroorganisme pembusuk.
Pada bahan pangan, ada istilah khusus yang dapat mendefinisikan air dengan sederhana, yaitu air bebas dan air terikat. Singkatnya, air bebas terdapat dalam jaringan di luar sel, sementara air terikat bisa dipahami sebagai air yang ada di “dalam” sel. Nah, air yang dijadikan sebagai dasar hidup mikroba adalah air bebas. Makanya, proses pembekuan (0 derajat Celcius) dan pengeringan (mulai dari 71 derajat Celcius) itu berusaha menghalangi atau mengurangi air bebas sehingga tidak digunakan oleh bakteri.
Teknologi pengawetan lain yang telah lazim digunakan pada produk pangan di sekitar kita misalnya pemanasan suhu tinggi. Contohnya sarden yang sering kalian makan di burjo warmindo, dikalengkan dengan teknologi sterilisasi (suhu 100 derajat Celcius. Versi pemanasan lainnya digunakan pada produk susu UHT (Ultra High Temperature) dengan suhu lebih dari 135 derajat Celcius, makanya produk jenis ini nggak perlu dimasukkan dalam lemari pendingin asalkan tutupnya belum dibuka sama sekali.
Oleh karena itu, kalau produsennya nggak culas, segala produk pangan yang dibuat menggunakan teknik pengawetan melalui teknologi pengolahan, mestinya tidak mengandung pengawet tambahan sama sekali. Termasuk mi instan yang dari kenampakannya saja sudah kelihatan kalau kering, pasti melalui proses pengeringan.
Secara teori dan praktiknya memang tidak menggunakan bahan pengawet tambahan. Itu menurut supervisor pabrik mie instan dimana dulu saya pernah magang di sana. Kalian percaya atau nggak, si supervisor tipu-tipu apa nggak, bukan urusan saya. Kita tidak mungkin bisa mengetahui apa pun yang memang tidak bisa kita ketahui. Kebenaran itu sangat relatif, makanya lebih baik fokus pada kebaikan.
Oke, separuh anggapan sebelah mata yang terlalu peyoratif pada kata pengawet sudah saya terangkan. Sekarang masuk pada bahan tambahan pangan (BTP) terutama pada topik bahan pengawet produk olahan pangan. Orang jahat yang menggunakan bahan pengawet terlarang nggak melulu ada di korporasi besar. Pabrik dan produsen besar justru mempertaruhkan reputasi dan pangsa pasar kalau berani melanggar regulasi pangan. Satu pengawet jahat yang jelas-jelas dilarang tapi tetap banyak digunakan masyarakat ya boraks.
Mulai dari oknum pedagang bakso, oknum penjual ikan segar, hingga oknum produsen kerupuk gendar, karak, lempeng, atau puli. Natrium tetraborat atau bleng adalah semacam pengenyal dan pengental dalam adonan kerupuk. Banyak penelitian dengan sampel bakso dan kerupuk lokal yang terbukti mengandung boraks. Coba saja cari tayangan Trans TV jadul di YouTube bertajuk Reportase Investigasi yang berhasil membujuk oknum pengguna boraks agar mau bikin konten bareng.
Rambu-rambu tentang BTP telah gamblang dijelaskan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kalau belum cukup yakin ya coba bandingkan dengan Food and Drugs Administration (FDA). BPOM menuliskan 27 jenis BTP, salah satunya bahan pengawet. Dalam dokumen FDA, dikenal istilah Generally Recognized as Safe (GRAS) yang menjamin bahwa BTP tertentu, salah satunya bahan pengawet kimia, aman untuk ditambahkan dalam produk olahan makanan.
Bahan pengawet makanan yang diizinkan oleh BPOM ada sebelas kelompok, satu yang paling lazim digunakan adalah asam benzoat. Selain itu, industri besar juga kerap menggunakan antioksidan sebagai pengganti bahan pengawet kimia. Dua di antara banyak jenis antioksidan tambahan yang paling sering digunakan adalah TBHQ (tertiary butylhydroquinone) dan BHT (butylated hydroxytoluene). Tentu saja keduanya aman menurut FDA dan memang bisa mengawetkan produk pangan.
Jadi, mulai sekarang nggak usah kepalang parno dan merasa terancam dengan apapun saja yang memiliki embel-embel kata pengawet. Boleh kok bersikap cerdas dalam memilih makanan kita sendiri, perkara apakah produsen taat aturan atau tidak, itu urusan lain. Biar malaikat Atid yang laporan sama Allah, nggak usah khawatir. Kalau memang rezekinya sehat ya sehat aja, kalau pada akhirnya kena kanker ya berarti memang sudah takdirnya, gitu aja kok repot!
BACA JUGA Ketimbang Usul SMK Jurusan Medsos, Mas Gibran Mending Bikin SMK Jurusan Martabak dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.