Meski geger perguruan pencak silat sudah menyusut dan berangsur menghilang, tapi saya belum menemukan poin penting yang harusnya dibicarakan banyak orang: ketakutan terhadap jumlah.
Sebenarnya banyak yang sudah ngomong perkara ini. Entah dalam bentuk “mereka beraninya keroyokan”, atau “pendekar kok ora by one”, dan semacamnya. Tapi pembicaraannya masih menyasar pada satu entitas, belum menyentuh poin pentingnya.
Saya tidak sedang membela grup pencak silat, saya juga tidak menjelek-jelekkan mereka. Nggak ada untungnya juga buat saya. Tapi saya perlu bilang ini: grup pencak silat itu nggak ada bedanya dengan ormas yang kerap bermasalah, grup, atau bahkan geng sekolah, semuanya gemar tawuran. Kenapa mereka gemar tawuran, karena kita semua takut dengan jumlah.
Menang karena jumlah
Kita, bahkan pihak yang berwenang pun, memilih untuk mengalah dan tak memperjuangkan hal-hal yang benar hanya karena terintimidasi oleh jumlah. Dan orang-orang brengsek yang kebetulan masuk grup mana pun yang mengandalkan jumlah, memanfaatkan itu dengan begitu “baik”.
Orang tersebut bisa saja petantang-petenteng, mengintimidasi sipil lainnya, untuk kepentingan mereka. Mereka tahu bahwa tak akan ada konsekuensi dari aksi mereka, sebab mereka menakuti dengan jumlah. Diperparah pada saat-saat tertentu, grup-grup itu menunjukkan kekuatan mereka. Saya tak bicara spesifik grup pencak silat, semua yang mengandalkan jumlah, suka betul showing off their force. Lagi pula, tidak ada perguruan pencak silat yang mengajarkan muridnya petantang-petenteng.
Masalahnya sebenarnya terlihat simpel, tapi di saat yang bersamaan, juga kompleks. Tentu saja pihak yang berwenang bisa saja memberikan hukuman sesuai aturan yang berlaku. Tapi efeknya tak sesederhana itu.
Alih-alih teratur, justru mereka melawan balik dengan menekan lewat jumlah. Dan yang terjadi selanjutnya, musyawarah. Saya tak bilang itu buruk, tapi akhirnya hal tersebut di-abuse. Jadinya lingkaran setan seperti ini:
Bikin masalah-diingatkan-diserang lewat jumlah-dibiarkan, berulang-ulang terus.
Baca halaman selanjutnya
Akar ketakutan yang sebenarnya