Setiap manusia yang hidup di Bumi ini adalah anak. Dan anak, sebagaimana mestinya memiliki orang tua, baik yang tahu atau tidak. Di sini, kita akan membicarakan bagaimana orang tua akan selalu memandang anak mereka sebagai anak kecil. Tentu saja ini tidak secara literal, tapi semoga cerita saya nanti bisa memberikan gambaran tentang apa yang saya maksud.
Setiap hubungan orang tua dan anak ada macam-macam. Ada yang dekat, berjarak, bahkan sampai membenci. Yang ideal tentu adalah hubungan yang baik, namun bukan berarti jika tidak punya hubungan yang baik lantas kita akan memberi cap yang negatif. Hidup penuh hal baik dan yang buruk, sebaiknya kita tidak perlu menambahi yang buruk dengan memberikan stigma.
Setiap orang tua pasti punya caranya sendiri-sendiri untuk menyayangi anaknya. Caranya cukup variatif dan pasti berbeda-beda. Ada yang keras agar anaknya tidak jadi anak manja. Ada yang lembut dan sabar agar anaknya tidak tertekan. Intinya semua punya niat yang baik.
Saya bisa dibilang sudah dewasa. Orang tua saya sudah mulai sepuh. Sampai hari ini saya beruntung masih bisa tinggal bersama orang tua saya. Saya masih belajar menjadi anak yang baik. Mungkin orang tua saya juga sedang belajar walau saya rasa mereka sudah ahli. Sampai kapanpun mereka tetaplah orang tua dan kita tetaplah anak. Namun, hingga kini saya tetap anak kecil di mata mereka, mau tidak mau. Pada titik tertentu, kita akan merasa risih karena hal itu.
Dahulu saat saya remaja, saya risih dengan perlakuan orang tua saya. Saya menganggap bahwa perhatian mereka terlalu berlebihan. Saya menganggap diri saya sudah besar. Misalkan saat saya kemah, mereka pasti datang menjenguk. Saya suka malu karena pasti diecengin teman-teman. Di-SMS tiap waktu dan ditanya sudah makan belum, mau dikirim apa, dan lain-lain.
Buat saya kala itu, hal seperti itu bikin saya risih. Biasanya saya marah saat itu. Padahal kan niat mereka baik. Kalau dipikir saya harusnya bersyukur karena tak semua anak diperhatikan seperti itu.
Contoh lain dari perhatian yang bikin saya risih adalah saat saya dulu jatuh dari motor. Saya tak pernah ngomong ke orang tua, dan memilih untuk menyembunyikan luka-luka saya. Saya pergi ke klinik sendiri. Pokoknya bahaya kalau sampai ibu saya tahu. Saya yakin ia akan terlalu khawatir dan menangis berlebihan. Saya bisa malu di hadapan banyak orang. Saya yakin ibu saya akan menangis sejadi-jadinya. Seperti dulu saat saya SMP dan tangan saya terkilir saat belajar wall climbing. Saya terjatuh lumayan tinggi. Ibu saya menangis di hadapan teman-teman. Duh saya malu, padahal hanya cedera ringan dan mudah sembuh.
Tapi, kalau sekarang saya jatuh lagi (semoga tidak) mungkin saya juga tak memberitahu mereka. Asal tak parah dan saya bisa menanganinya sendiri. Untuk sekarang alasan saya agar mereka tak khawatir dan repot. Kini sudah tak ada rasa malu lagi.
Coba Anda ingat, kapan terakhir kali dibelikan es krim oleh orang tua Anda? Kalau saya, baru beberapa hari yang lalu. Saat itu saya pergi ke warung bersama bapak saya. Jarang saya pergi beli sesuatu sama bapak. Saat itu bapak hendak membelikan es krim untuk anak sepupu saya. Tiba-tiba bapak saya ngambil dua es krim. Salah satu es krim itu ternyata untuk saya. Mungkin bapak saya hanya mengikuti kebiasaan. Dahulu tiap beli jajanan untuk adik atau sepupu saya, bapak pasti membelikan saya juga. Ya masak seusia saya masih kepengin es krim. Tapi, saya senyum-senyum saja.
Mau bagaimanapun saya tak bisa menganggap yang dilakukan orang tua ke saya itu tidak tepat. Begitulah mereka, saya cukup menyenangkan hati mereka. Perhatian apa pun yang mereka berikan ke saya, harus saya terima dengan baik. Saya pernah hanya pergi sehari menjenguk nenek saya. Perlakuan seperti halnya seorang anak TK saya terima dengan santai. Ibu saya menyuruh membawa jaket lah, baju ganti banyak, dan selalu memberi tahu agar saya makan. Padahal kan ini cuma sehari dan rumah nenek sendiri.
Saat umur makin bertambah saya justru tak risih karena saya mengerti. Itu semua adalah bentuk dari sayang dan cinta orang tua kepada saya. Terkadang memang yang kita butuhkan untuk memahami sesuatu adalah waktu.
Waktu berjalan dan saya tahu tak perlu (lagi) sok dewasa di depan orang tua. Yang penting saya tahu bahwa saya sudah bukan anak kecil lagi. Tanggung jawab saya kini menjaga dan menyenangkan hati orang tua. Mungkin sebagai orang tua, sulit untuk mengakui bahwa anaknya telah dewasa. Bisa juga karena itu memang cara orang tua menyayangi kita. Terima saja bahwa sampai kapan pun kita tetap anak kecil kesayangan mereka.
Saya tak bisa membayangkan saat akhirnya saya melangsungkan akad nikah nanti. Ibu mungkin akan menangis, tapi setidaknya saya tahu itu adalah tangis bahagia, bukan kekhawatiran.
BACA JUGA Pernikahan Saat Pandemi Mengatasi Malu dan Gengsi dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.