Kita Adalah Terminal Bagi Yang Lain

terminal

terminal

Sadarkah kita bahwa kita adalah terminal bagi yang lain?

Sore tadi, sehabis hujan yang kian ritmis saat menjelang petang, seorang kawan datang ke salah satu tempat kami biasa nongkrong di kampus. Ialah si An yang semakin bersih dan semerbak rambutnya hari ini menyebar ke segala penjuru. Kemudian ia bercerita habis darimana; mengerjakan apa; lalu tentang naik-turunnya gaji jasa make up; dan janji-janji para bos yang kadang kelewatan tenggat pembayaran gaji. Obrolan pun mengalir bagai air yang semakin berisik ketika berbenturan dengan batu di sungai, tentang hiruk pikuk dunia karir hingga obsesi pembuktian anak kepada orangtua, dan tibalah saat dia memberi kami pesan—motivasi.

“Sebenarnya job buat kalian itu banyak, mereka yang di atas-atas gua semakin tua dan entah. Posisinya juga akan tergantikan kok.”

Sambil mengepulkan asap Surya 12, ia makin lancar bicara. Perempuan yang punya gairah di awal karirnya, entah kenapa.

“Harus punya skill, minimal dari basic kalian masing-masing,” imbuhnya kepada kami.

“Jangan lupa jaga relasi,” nyerocosnya makin menjadi, dan tidak bisa dihentikan kecuali kelaparan perutnya sendiri.

“Aku lapar, anter ke mall Amplas dong, sekalian ketemu teman.”

Sebelum ia pergi salah satu dari kami coba nimbrung, tapi semua terasa easy going baginya dan sudah seharusnya kami tidak perlu muluk-muluk kalau mau bicara dengan orang macam itu.

“Kebetulan saja, salon saya dekat kampus. Sekalian saja mampir ke sini,” sudah selo banget kan jawabnya, ia kemudian saya antar pergi.

***

Lalu malam semakin gelap dan sunyi, sudut-sudut kampus tempat para mahasiswa nge-bacot kata yang cukup kasar, namun sepadan untuk para manusia yang berteriak kesetaraan di ruang publik tapi tidak suka dengan karnaval 212 demokrasi sedang kosong, tinggal satu-dua orang penikmat wifi yang sumringah karena kecepatan download meningkat lebih cepat. Dan si An telah tanggal, digantikan suara-suara tembakan dari layar android, sampai tibalah laki-laki berkumis tebal dari kegelapan malam.

Ia pekerja yang lain. Seorang pekerja dari sektor informal dan sudah lumrah bila malam itu raut mukanya penuh dengan kegelisahan dan kemuraman.Ia mengaku kesepian, dan tanpa diminta berceritalah dia saat berlangsungnya proses kerja minta-minta (dia menyebutnya pemusik jalanan) di kedai-kedai makan pinggir jalan utama Jl. Solo yang ternyata ia mulai terusik dengan pendatang baru.

“Biasanya dia itu hanya lewat depan kedai, sekarang minta jam ngamen saat para penonton sedang rame-ramenya.” Mulanya ia bercerita. Kemudian Ia berkata lagi,

“Ya kan aku ikut-ikut kayak mas trio. Musisi jalanan yang lebih dulu timbang aku disitu yang memberi syarat agar tidak mengamen diwaktu mereka biasa konser. Jadi mereka kui teges dari awal.”

“Kesalahanku tidak tegas. Dan sekarang mungkin aku iri karena si anak baru konser saat rame-ramenya penonton.” Eksistensi diri si musisi satu ini mulai terusik oleh yang lain.

***

Dari dua kategori kawan di atas, saya tidak pilah-pilih mana yang harus saya respon. Mereka dapat respon dengan porsi yang pas dengan kadar mereka punya tujuan nongkrong ditempat kami. Namun nahasnya nasib kawan memang berbeda-beda dan pasti memiliki kegetirannya masing-masing.

Tanpa pikir panjang setelah langit kian memutih menjelang subuh, saya menyimpul narasi tentang mereka berdua:

Tokoh pertama mulai tahun baru mendapati panggilan job bak jamur musim penghujan. Bahkan ia pernah mendapatkan nominal gaji perhari melebihi UMK per bulan daerah istimewaku. Dunia si An semakin ringan saat obsesinya mulai terbuka lebar. Dan jangan sungkan-sungkan kalau bertemu model kawan kayak dia, sindirlah agar membeli beberapa batang rokok dan beberapa lembar gorengan—ini adalah cara mengangkat obsesinya bahwa dia adalah orang mampu. Perihal cara ini, setiap orang perlu melatih skill lebih dulu, karena cara jitu survive di kota-kota besar adalah menjilat. Jangan berpikir lain, ini cara paling efektif agar kawan kawan kita yang sukses itu mau bersedekah.

Sedangkan tokoh yang kedua masih bergejolak kepribadiannya. Bukan labil, tapi masa berkembangnya skeptis—penuh keragu-raguan. Ia sudah pernah kerja menjadi penjual kebab dan mendapati hidup yang begitu cerah dan riang. Namun dipertengahan jalan ia tidak sanggup menjawab kenapa saya tidak bekerja dirumah saja, sama saudara-saudara kandungku, berdekatan dengan ibu juga—pikirnya. Namun karena waktu yang diinginkan itu fleksibel, tidak ada tenggat, tidak butuh ada nominal pasti, dan bisa dilakukan sebutuhnya: ngamenlah dia.

Menjadi musisi jalanan tidak mudah. Ia harus berbagi dengan musisi lainnya tanpa harus saling cemburu pendapatan per harinya. Obsesi dia lebih remang dari tokoh yang pertama, dan kehidupan besok memang tidaklah pasti apakah aku masih bernafas—imbuhnya saat ia bercerita.

Sekarang mereka berdua sudah pergi dari tempat kami, semuanya luput untuk membahas pensiun kerja di usia angka berapa (sebab setiap mula dari kenyamanan hanyalah keabadian yang terasa) dan mereka hanya ingin menegaskan ulang bahwa tubuh tidak mampu berdiam diri lebih dari 3 hari dalam kamar tanpa melakukan apapun. Artinya gerak-gerik tubuh adalah rasa syukur yang tersembunyi, meskipun nanti kadang luntur dengan sikap-sikap yang kurang bajik ketika bekerja. Dan itulah fungsi “pertemuan, rajin mengingatkan” kata Sombanusa agar Bahagia Melawan Lupa.

Tentang terminal, saya pun masih di sini, di balik cahaya lampu-lampu kota, di antara deru mesin-mesin pasawat yang take off dan derap kaki para mahasiswa-mahasiswa yang datang dan pergi ruang kelas, lalu kemudian saya sadar—untuk kesekian kalinya—bahwa pekerjaan seperti ini jarang disadari, pun jika mau saling mengaku bahwa diantara kita satu sama lain sebenarnya saling menambal-sulam rasa yang sempat dibuka luka, kesepian, dan rasa muak juga bosan, lalu kemudian kita bisa riang-gembira sebentar dan kemudian menapaki hidup yang rumit kembali di ladang kehidupan masing-masing.

Waktu terus bergerak menjawab para calon-calon pemimpin lima tahun ke depan. Terpujilah mereka yang mau saling bergesakan dengan sportif, lalu saling menambal sulam rasa satu sama lain, memupuk pergaulan agar berjalan dalam koridor kemanuisaan, dan inilah pilihan yang tidak bisa dihindari agar persatuan bangsa tidak di ujung tombak.

Exit mobile version