Sebagai seorang guru, kisi-kisi ujian sekolah itu nggak pernah masuk akal bagi saya. Iya, setiap kali musim ujian semester (atau istilah barunya, sumatif semester) datang, pasti ada satu tradisi yang entah kenapa selalu saja ada, yakni murid-murid yang dengan percaya dirinya mengajukan pertanyaan, “Pak, ada kisi-kisinya nggak?”
Pertanyaan itu selalu membuat saya tersenyum simpul, sambil menahan diri untuk tidak menjawab dengan nada sarkas. Sebab, bagi saya, kisi-kisi ujian sekolah itu adalah hal yang aneh dan menyalahi kodrat tentang ujian itu sendiri.
Buat yang tidak menemukan letak keanehannya, begini saya jelaskan. Ujian itu dibuat untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi, bukan sebagai ajang tebak-tebakan berdasarkan bocoran legal. Kalau dari awal sudah diberi kisi-kisi, terus buat apa ada ujian? Mereka jadi tahu mana saja soal yang keluar. Padahal seharusnya mereka coba menelaah lagi apa saja yang sudah diajarkan.
Saya bahkan merasa kalau tradisi memberikan kisi-kisi ini dilanjutkan, ya hancur lebur cara berpikirnya. Sekalian saja kasih jawabannya, biar semuanya dapat nilai 100 dan saya bisa pura-pura bangga sebagai guru yang seolah-olah berhasil.
Oiya, saya tidak anti kisi-kisi. Hanya saja tergantung konteks. Kalau kisi-kisi dalam konteks olimpiade saya masih bisa terima, karena memang butuh bagian mana yang dipelajari untuk dilombakan.
Tapi untuk ujian sekolah, ini beda lagi. Materinya sudah diajarkan kok, jadi rasanya berlebihan kalau masih harus dikasih kisi-kisi ujian. Lucunya, permintaan ini datang bukan hanya dari siswa teladan, tapi juga mereka yang selama ini tak pernah mencatat pelajaran.
Kisi-kisi ujian: antara tuntutan guru dan tradisi sekolah
Saya sadar, saya bukan satu-satunya guru yang punya pandangan seperti ini. Tapi saya juga tahu, ada banyak guru lain yang tetap memberi kisi-kisi karena, ya, itu adalah tradisi. Katanya, kalau nggak diberikan kisi-kisi nanti orang tua protes, siswa kebingungan belajar, bahkan bisa dibilang guru “tidak membantu anak belajar.”
Padahal, justru sebaliknya. Dengan memberi kisi-kisi, guru secara tidak langsung menanamkan pola pikir instan: bahwa belajar itu hanya perlu ketika ujian, bukan proses terus-menerus. Bahwa pengetahuan itu bisa dipotong-potong jadi poin-poin praktis, bukan dipahami secara utuh.
Saya kadang berpikir, mungkin sistem pendidikan kita memang suka yang instan begitu. Siswa mau yang cepat, guru mau yang praktis, sekolah mau yang tenang, dan semuanya sepakat menyingkirkan esensi belajar yang sebenarnya, yakni proses dan konsistensi.
Sudah saatnya guru dan siswa sama-sama naik level
Saya ingat ketika tidak memberikan kisi-kisi ujian sama sekali. Reaksi murid pun lucu-lucu. Kebanyakan malah bertanya, “Pak, kalau nggak dikasih kisi-kisi, gimana mau belajar?” Saya jawab santai, “Ya belajar saja semuanya, kan itu fungsi belajar.” Ada yang mengernyit, ada yang panik, ada juga yang mengira saya sedang bercanda. Padahal saya serius.
Mungkin sudah saatnya kita—guru, siswa, bahkan sekolah—berdamai dengan kenyataan bahwa belajar itu memang tidak instan. Bahwa ujian bukan sekadar formalitas untuk mengisi angka di rapor. Dan bahwa kalau mendapat nilai di bawah standar itu tidak masalah, namanya juga belajar bukan?
Karena itu, biarkan saja mereka belajar, gagal menjawab, bahkan kebingungan. Saya kira dalam jangka panjang, itu akan lebih bermanfaat ketimbang menghafal poin-poin kisi-kisi yang disusun beberapa hari sebelum ujian.
Saya tahu pandangan ini mungkin dianggap terlalu idealis, bahkan nyeleneh. Tapi kalau tradisi kisi-kisi ujian terus dipelihara, jangan heran kalau nanti siswa terbiasa menunggu petunjuk jawaban dalam hidup. Padahal dunia nyata tidak menyediakan kisi-kisi. Kehidupan tidak memberi tahu apa yang harus dilakukan besok.
Dan nilai sesungguhnya bukan di kertas ujian, tapi di bagaimana mereka mau berusaha dan konsisten untuk menemukan “jawaban”. Jika itu dilakukan, akan tercapai tujuan dari belajar sesungguhnya. Sebab, bukankah sekolah adalah latihan sebelum menghadapi hidup yang sebenarnya?
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
