Kisah Petugas Lapas, Profesi yang Sering Dicap Jelek karena Bergaul dengan Napi

Kehidupan di Penjara, Penuh Kreativitas di Balik Jeruji Lapas terminal mojok.co

Kehidupan di Penjara, Penuh Kreativitas di Balik Jeruji Lapas terminal mojok.co

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata “lapas”? Atau, ketika mendengar kata “narapidana”? Apakah seketika muncul stigma negatif di kepala kalian?

Lalu, bagaimana persepsi kalian tentang petugas lapas? Stigma negatif juga sering kali muncul, bukan?

“Itu merupakan pengalaman yang cukup disayangkan, yaitu ketika petugas sudah berusaha maksimal, namun banyak orang yang mengecap bahwa petugas lapas seakan menjadi orang yang bobrok, atau mengecap lapas sebagai instansi yang jelek,” ungkap Adesa Prajna Kesawa (21), petugas administrasi di salah satu lembaga pemasyarakatan (lapas) di Cilacap, Jawa Tengah (7/7/20).

Semenjak bekerja di Lapas pada 2018, ungkapan negatif tentang pekerjaan atau instansinya cukup sering dia dengar. Padahal, lapas hanya tempat untuk menerima mereka yang salah berdasarkan putusan pengadilan.

Adesa bercerita bahwa lapas telah berusaha banyak hal, untuk mencarikan minat dan bakat narapidana. Pembinaan kreativitas merupakan hal sehari-hari yang dia lihat. Pelatihan pertukangan, kerajinan, potong rambut, dan laundry merupakan contoh nyata keseriusan instansinya untuk memberikan berbagai modal kemampuan untuk narapidana. Dengan semua itu, mereka bisa berusaha memulai kehidupan baru yang tidak merugikan orang lain.

Meski fokus pada bagian administrasi, setiap hari Adesa tetap berinteraksi dengan narapidana. Ada satu pengalaman yang sangat berkesan untuknya. Tahun 2019, dia bersama rekan kerja di bagian registrasi bertugas mengurus remisi khusus keagamaan dalam rangka Idul Fitri. Setelah melakukan salat id, dia memasang pengumuman yang berisi daftar tahanan yang mendapat remisi beserta jumlah remisinya.

Inilah pengumuman yang ditunggu. Seketika para tahanan datang dengan antusias.

“Alhamdulillah, aku dapat remisi sebulan.”

“Alhamdulillah, remisi lima belas hari.”

Sahutan kata syukur dan terima kasih terdengar riuh sesaat setelah mereka membaca pengumuman tersebut. Rasa bahagia turut menghampiri diri Adesa. Kebahagiaan yang dirasakan narapidana membuatnya berempati. Rasa lelah setelah sering lembur akhirnya terbalaskan. Tak rugi dia selalu berusaha menguatkan fisik dan pikiran untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Ada kepuasan batin baginya .

Percakapan dengan narapidana sudah jadi makanan sehari-hari Adesa karena petugas sering menjadi tempat napi mencurahkan isi hati. Entah bercerita tentang masalah keluarga atau masalah pidananya.

Interaksi itu membuat Adesa masih berhubungan baik dengan beberapa napi. Salah satu mantan napi, misalnya, setelah keluar lapas pun masih sering berkunjung untuk bertemu dengan Adesa.

Kadang, ada mantan narapidana yang masih mengingat Adesa sementara ia sendiri sudah lupa. Suatu ketika saat sedang mengurus perpanjangan STNK di kantor Samsat, tiba-tiba seorang pria memanggil “Pak” dan menghampirinya. Adesa tak mengenalinya sampai pria itu menyalami lalu bertanya, “Bagaimana kabarnya, Ndan?”

Kata “Ndan” membuatnya menyadari siapa pria itu. Adesa lalu menjawab sambil berkeyakinan bahwa pria itu adalah mantan narapidana yang sering dia temui di lapas. Saat dia perhatikan lagi wajahnya, memang tidak asing.

Pengalaman tersebut membuat Adesa sadar, tak sedikit narapidana yang diam-diam memperhatikan pekerja lapas dari jendela sel mereka.

“Jika kita tidak semena-mena pada mereka, mereka pun akan menghormati kita. Jadi setelah mereka keluar dari lapas, mereka tetap mengingat jasa kita. Petugas harus berhubungan baik dengan mereka, tapi juga harus tetap menjaga jarak. Jadi jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh, harus pintar tarik ulur dan tetap paham posisi, tahu apa kewajiban dan larangan kita,” ungkapnya.

Menjaga sikap merupakan hal penting baginya. Terlalu dekat dengan narapidana juga berisiko. Bisa saja mereka justru memanfaatkan kebaikan petugas dan meminta tolong hal-hal yang tidak seharusnya.

Rekan Adesa, Sidik Adi Saputra (28) yang bekerja di sebagai Petugas Pengamanan Pintu Utama Lapas Cilacap, juga berbagi pengalamannya terkait mantan narapidana yang masih berhubungan baik dengannya.

Sidik bercerita, “Beberapa masih berkomunikasi intensif, bahkan ada yang sampai main ke rumah. Mereka curhat tentang kehidupannya sekarang, sudah begini, sudah berjualan ini, sudah bekerja di sini. Saya jadi ikut senang.”

Sepakat dengan apa yang dikatakan Adesa, Sidik berkeyakinan narapidana juga manusia yang perlu untuk dihormati. Kemampuan membaca situasi merupakan hal penting bagi Sidik. Semakin dia paham pola pikir dan kondisi masing-masing narapidana, semakin dia bisa memberikan saran yang terbaik untuk mereka.

 “Mengurus manusia itu tidak seperti barang. Kalau barang, cukup kita jaga supaya tetap aman. Sedangkan mengurus narapidana, bukan hanya kita tahan supaya jera, tapi juga kita bekali berbagai hal supaya mereka siap kembali ke masyarakat,” tutur Sidik yang tidak setuju dengan stigma bahwa lapas hanya merupakan tempat buangan bagi narapidana.

Setiap hari melihat perkembangan narapidana membuat Sidik percaya bahwa setiap manusia bisa dan berhak berubah. Lembaga pemasyarakatan bukan hanya tempat untuk membuat jera mereka, namun juga memberi kesempatan untuk mereka menjadi lebih baik ketika kembali ke masyarakat.

Ketika mengetahui mantan narapidana sudah kembali ke masyarakat, Sidik merasakan dua jenis kepuasan. Pertama, kepuasan pribadi bahwa dia bisa mengambil peran untuk perubahan tersebut. Kedua, kepuasan institusi karena program yang telah dirancang sukses membuat perubahan di diri narapidana.

Ia mengakui, menuntun narapidana untuk meninggalkan dunia hitam bukan hal mudah. Selain itu, bukan hanya lapas yang memainkan peran dalam perubahan tersebut, melainkan juga peran serta masyarakat. Namun, pada kenyataannya, banyak sekali kalangan masyarakat yang sulit untuk menerima mereka kembali.

Sidik menceritakan kekecewaannya terkait hal tersebut, “Sering kali, ketika mereka sudah menjalani masa tahanan mereka, sudah sadar akan kesalahan mereka, dan sudah punya keterampilan untuk bekerja dengan cara yang “baik”; stigma masyarakat tetap negatif kepada mereka. Masyarakat tidak mau menerima mereka. Jadi sebenarnya kuncinya di masyarakat, utamanya yakni peran serta masyarakat.”

BACA JUGA Nasib Jadi Sipir Baru yang Cuma Bisa Makan Hati Ngeliat Kelakuan Senior dan tulisan Nursyifa Afati Muftizasari lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version