Minggu lalu saya dan salah satu teman, sebut saja Mawar, saling mengirim pesan singkat via WhatsApp. Awalnya kami hanya membahas tugas perkuliahan yang saat itu memang sedang masif diberikan oleh dosen. Mawar mengeluh bahwa kualitas jaringan di kampungnya sangat buruk sehingga dia mau tak mau harus ke rumah-rumahan di tengah sawah untuk mendapatkan jaringan, dan dia melakukan itu tiap hari. Lalu saya menyuruhnya memotret keadaan sekitar atau istilah kerennya pap tapi bukan pap yang itu. Inilah hasil potretnya dan yang saya lingkari merah itu adalah batu yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Batu yang dilingkari merah itu letaknya tidak jauh dari Puncak Kappire, Dusun Pange, Desa Palakka, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Bagi yang belum tahu, Kabupaten Barru terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, berjarak kurang lebih 100 km dari Kota Makassar. Batu yang menyerupai manusia itu dikenal dengan nama Batu Lapidde. Saya sendiri juga tidak tahu apa-apa mengenai batu ini hingga teman saya, si Mawar tadi, memberitahukannya. Ah jangankan saya, dia saja sekadar tahu nama, sementara kisah batu ini dia juga tak tahu. Seperti kata Pandji Pragiwaksono dalam salah satu standup-nya, rasa penasaran adalah yang paling dibutuhkan dalam proses belajar. Saya mengalaminya saat itu.
Rasa penasaran itu akhirnya membawa saya untuk mencari kisah batu ini di mesin pencari andalan kita. “Kisah Patung Lapidde di Barru”, itulah keyword yang saya ketikkan di kolom pencarian dan kurang dari sepuluh detik hasil pencariannya telah keluar.
Batu Lapidde sudah ada sejak abad ke-16 atau saat Belanda memasuki wilayah Barru. Lapidde adalah nama orang yang aslinya bernama La Wedi, dikisahkan dia adalah seorang yang gemar berburu jonga (rusa) di hutan bersama anjing-anjing kesayangannya. Bukan gemar saja, tapi dia sudah terkenal ahli berburu jonga. Tetapi yang dia herankan adalah saat berburu bersama temannya yang lain, hasil buruannya sedikit, bahkan terkadang tidak ada sama sekali. Beda ceritanya saat dia berburu hanya bersama anjing-anjingnya, hasil buruan yang didapatkannya sangat banyak.
Pola serupa yang terjadi pada suatu hari. Di hari itu Lapidde memutuskan untuk berburu hanya dengan anjing-anjing kepercayaannya, tetapi perburuannya kali ini menjadi perburuan terakhirnya karena sebuah malapetaka.
Sudah berjam-jam dia berburu tapi belum mendapatkan hasil apa pun. Lapidde memutuskan untuk beristirahat sejenak di atas sebuah batu.
Akan tetapi, ketika dia melihat anjing-anjingnya justru asyik bermain, La Wedi mendadak geram dan amarahnya itu menutup mata dan hatinya, dia kemudian mengumpat ke anjingnya, “Seandainya ada batu, akan kulemparkan padamu anjing!” Tak lama setelah itu tubuhnya terasa kaku dan mulai menjadi batu, dan anjing-anjingnya yang berada di sekitar La Wedi pun ikut berubah menjadi batu.
Tak lama kemudian, istrinya datang sambil membawa makanan untuk La Wedi. Alangkah terkejutnya ia saat melihat suami serta anjingnya telah berubah menjadi batu. Setelah itu, tubuh istri La Wedi juga menjadi batu tak jauh dari suaminya. Masyarakat sekitar percaya hal ini disebabkan La Wedi yang tidak menjaga tutur katanya sehingga alam menghukum dia dan sekeluarga menjadi batu. Sejak saat itu batunya dinamakan batu Lapidde. Mitos lain tentang batu ini, konon tetesan air kadang muncul dari Batu Lapidde yang berbau pesing dan dipercaya masyarakat itu sebagai air kencing La Wedi.
Terlepas dari benar tidaknya kisah Batu Lapidde ini, kita dapat mengambil pelajaran untuk senantiasa menjaga tutur kata kita di mana pun kita berada karena kecenderungan sekarang, banyak orang yang berbangga diri berucap kata-kata kasar dan menganggapnya sebagai tanda dirinya keren. Sebab, ada kalanya kita lebih baik diam daripada berkata-kata buruk.
BACA JUGA Ikan Bakar dan Dongeng Kolongpohong yang Senantiasa Bikin Gairah dan tulisan Nurfikri Muharram lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.