Ketika tahu saya mengajar sebagai guru SD, salah satu kerabat meluncurkan satu komentar yang cukup menarik. “Saya penasaran Anwar itu gimana ya cara marahnya ke anak-anak?” Katanya.
Saya memang dikenal cukup kalem di tengah lingkungan keluarga dan pertemanan. Kalaupun marah, paling-paling ya model-model silent treatment atau slamming doors. Tidak pernah sampai mbentak-mbentak dan ngomong panjang lebar. Ya gimana ya, eman-eman tenaganya.
Dari celetukan itu kita bisa ambil satu kesimpulan. Bahwa antara mengajar SD dan marah-marah adalah paket yang nggak bisa dipisah-pisah. Sudah seperti Vincent dan Desta, Andre dan Sule atau Upin dan Ipin. Sudah seperti menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu tugas guru adalah memarahi muridnya.
Nah masalahnya, mas-mas kalem seperti saya ini kadang kesulitan untuk mengekspresikan kemarahan di hadapan anak-anak. Saya paham bahwa silent treatment itu metode marah yang paling efektif dan effortless, tapi di sisi lain rasanya tidak mempan dan malah kelihatan wagu kalau diterapkan pada anak kecil. Untuk itu, saya punya beberapa kiat khusus buat para mas-mas kalem sedunia yang pengen jadi guru SD.
Daftar Isi
Memanfaatkan jeda waktu untuk menyusun kalimat
Kesulitan pertama, mungkin di penyusunan kalimat. Bagi orang kalem yang tidak terbiasa marah, tentu ini jadi tantangan tersendiri. Salah-salah kita malah belibet dan malu sendiri, yang tadinya mau marah, eh malah jadi bahan tertawaan. Untuk mengantisipasi itu, kita bisa ambil dulu jeda waktu untuk menyusun kalimat.
Pengalaman saya adalah ketika suatu hari, saya dan sebagian murid berencana pergi bersepeda ke suatu tempat. Beberapa hari sebelumnya kami sepakat memilih titik kumpul di masjid SD.
Alkisah, jam yang disepakati menjadi waktu berkumpul sudah terlewat, murid perempuan sudah merapat. Masalahnya murid putra tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Usut punya usut, ternyata mereka malah saling tunggu di tempat lain. Ada yang di warung, ada yang di rumah temannya. Saya mendidih, perlu effort sampai kemudian semua anak bisa dikumpulkan. Waktu keberangkatan meleset setengah jam mengurusi hal sepele tersebut. Saya pun ngomel-ngomel.
“Kemarin kita janjian kumpul di mana?” Kata saya dengan gaya menyelidik.
“Di masjid.” Jawab mereka serentak.
“Terus tadi kalian kumpulnya di mana?”
Masing-masing murid putra menjawab di mana tempat mereka menunggu. Saya bilang kalau janji kumpul di masjid ya silakan kumpul di masjid, bukan malah saling tunggu di tempat lain. Kami dari tadi nunggu kalian nggak datang-datang, yang harusnya kita bisa berangkat dari tadi harus mundur waktunya gara-gara hal sepele. Mereka kemudian memasang wajah bersalah.
Dalam kasus ini dari waktu saya mulai marah sampai saya dapat kesempatan ngomel-ngomel ada jeda beberapa menit. Jadi saya sempat menyusun kata-kata dulu, poin penting apa saja yang harus mereka jadikan pelajaran dari kejadian sepele tadi. Ya, itulah seni jadi guru SD. Perlu satset.
Perbanyak bergaul dengan orang yang cangkeman
Tidak selamanya kemarahan itu bisa diberi jeda waktu seperti itu. Kadang ada kejadian ketika memang seorang guru refleks marah. Nah untuk mengatur output dari kemarahan di saat seperti itu dibutuhkan kemampuan menyusun kalimat yang agak cepat. Kemampuan mengolah kata dengan cepat tersebut bisa dilatih ketika kita sering berinteraksi dengan teman yang cangkeman alias banyak bacot.
Banyak terlibat dengan orang cangkeman memicu kita untuk mengimbangi kecepatan bacotan mereka yang kadang bisa 500 kilo meter per jam itu. Anggaplah riyadhoh untuk bisa marah-marah secara spontan.
Kesempatan itu saya alami ketika suatu saat saya memberi amanah beberapa murid untuk membagikan LKS yang habis saya koreksi. Beberapa hari sebelumnya saya memberi tugas kelas mereka untuk mengerjakan salah satu kumpulan soal evaluasi. Disuruh membagikan, mereka malah cuma mencari LKS-nya masing-masing. Lalu saling lempar tugas untuk membagikan ke teman kelas lain.
Melihat itu saya sudah cukup kesal, tapi masih agak maklum. Sampai kemudian beberapa anak malah mulai melempar buku-buku tersebut dan puncaknya, salah satu anak menendang satu buku LKS. Saya refleks meledak, menegur dengan suara cukup keras dan bernada marah. “Yo nggak ditendang-tendang gitu to, Mas! Buku kok ditendang-tendang!!” Anak yang saya maksud melongo, mungkin sedikit kaget kemudian—seperti biasa—memasang wajah bersalah.
Saat itu semuanya memang terjadi begitu cepat. Tapi karena jam terbang saya cukup banyak dalam meladeni teman-teman yang cangkeman, dengan kalimat yang cukup singkat dan spontan, saya rasa saya berhasil membuat poin kemarahan saya cukup jelas.
Melihat keadaan sekitar
Sebagai mas-mas yang telanjur dipandang kalem, tentu saya tidak mau kehilangan predikat kalem itu begitu saja hanya karena sekali dua kali marah. Mungkin ini penting bagi beberapa mas-mas kalem lainnya. Biasanya kalau mau marah-marah saya pastikan dulu di ruangan sebelah sedang tidak ada guru lain. Atau saya pilih lokasi yang jauh dari orang dewasa. Tentu saja itu semua demi menjaga citra saya sebagai orang kalem, penyayang, dan baik hati. Guru SD lho akui.
Memang sih ada kemungkinan bahwa nanti murid-murid yang saya marahi itu cerita-cerita ke orang tuanya atau ke guru-guru lain. Tapi tidak ada salahnya kan kita meminimalisir persebaran kabar kita pernah marah-marah?
Menyelipkan kalimat sentimental
Entah poin ini penting atau tidak, tapi saya rasa perlu saja untuk dicoba. Di salah satu kesempatan marah-marah selain ngomel-ngomel, saya menyelipkan kalimat semacam ini: “Kalo kamu nggak bisa diatur, nggak usah ikut Pak Anwar!” konteksnya waktu itu kami acara jalan-jalan dan ada beberapa anak yang mengacau.
Kalimat ini mempertegas bahwa saya menyukai anak-anak lain yang tidak mengacau dan mengizinkan mereka ikut dengan saya. Sementara anak yang saya marahi saya tempatkan pada pilihan antara mau tetap mengacau atau mau tetap ikut saya. Salah? Mungkin. Tapi, coba tempatkan diri kalian pada sepatu saya. Kadang ya… nggak semudah itu.
Walakhir, dengan menulis artikel seperti ini, bukan berarti saya sudah expert dalam hal marah-marah. Kadang saya menyesal setelah memarahi murid saya karena merasa cara saya marah tidak tepat. Terkadang saya juga menyesal tidak memarahi murid saya ketika mereka bersalah karena artinya saya melewatkan kesempatan untuk memberi mereka pengertian.
Kadang juga saya tidak merasa ingin marah. Tapi saya pura-pura marah karena merasa penting untuk memberitahu bahwa apa yang mereka lakukan saat itu adalah kesalahan. Tentu tidak semua kesalahan harus diselesaikan dengan marah-marah, tapi ya gimana lagi. Namanya juga menghadapi anak. Kalo diselesaikan dengan ngopi bareng, ya memangnya anak SD mana yang suka ngopi kayak pakde-pakde?
Penulis: Anwar Khamdan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Guru Laki-laki di SD Negeri: Banyak Duka, Senang Sewajarnya