Ketum PSSI dan Kutukan yang Menyertai

Ketum PSSI dan Kutukan yang Menyertai, masa jabatan kepala desa elon musk

Megalomania (Shutterstock.com)

Entah jadi semacam kutukan atau bagaimana, yang menjabat sebagai Ketum PSSI esoknya akan menjadi layaknya megalomania. Tingkat narsistik yang harusnya segera diperiksakan ke psikolog terpercaya. Saya tidak sedang bercanda, karena setelah membaca beberapa laporan tentang gangguan kepribadian macam ini, nyatanya sungguh berbahaya.

Dalam laporan yang ditulis Tempo, megalomania merupakan sebuah penyakit kejiwaan yang rentan melekat pada seorang pemimpin. Lantas, apa yang membuat Ketua Umum PSSI menjadi megalomania? Apa yang bikin saya bisa bilang kalau beliau megalomaniak?

PSSI (M. Wigya Permana Putra via Shutterstock.com)

Kita bisa cek di akun Twitter Ketum PSSI. Seakan menjadi template, jika membahas sebuah kegiatan, lantas dibubuhi sebuah foto yang ada wajahnya. Semisal ada hari raya, tweet-nya berisikan ucapan lantas dibubuhi foto wajahnya. Kalau ada yang meninggal, ucapan bela sungkawa lantas tak lupa diselipkan foto wajahnya—kadang bikin bingung juga sih ini yang meninggal siapa.

Tidak hanya sampai sana, bahkan ketika hari Jumat, ada sebuah konten dengan hastag #JumatBerkah. Ada quotes ndakik-ndakik, lantas ada foto wajahnya sedang mesem. Mungkin ada benarnya, lha wong medsos saja medsosnya dia, tapi kalian khawatir tidak sih dengan kondisi kejiwaan beliau yang harusnya kita pertanyakan? Saya ingin lho bertanya kepada beliau, bapak baik-baik saja, kan?

Bukan hanya medsos pribadinya, dalam sebuah postingan yang memberitakan bahwa Timnas SEA Games dapat perunggu, yang ditampilkan justru wajah si Ketum PSSI melulu. Coba kita hitung, ya, ada berapa postingan website resmi PSSI yang menyoroti wajah si Ketum PSSI alih-alih kegemilangan STY dan anak didiknya.

Pertama, dalam berita “Tim U-23 Raih Medali Perunggu” ada satu wajah si Ketum PSSI. Kedua, ini yang paling parah, sih, “Diwarnai 4 Kartu Merah, Indonesia Gagal ke Final” ada berapa wajahnya? Ada tiga, kawan-kawan. bayangkan saja. Alih-alih wajah pemain sebagai tanda hormat, ini malah pasang wajah si Ketum PSSI. Ini gagal ke final lho, gimana kalau lolos ke final, ya?

Lantas ada sebuah berita yang kesannya seperti pesanan banget, judulnya “Ketum PSSI Ingin Garuda Muda Pulang Bawa Perunggu”. Ya jangankan Ketum PSSI, semua penduduk Indonesia penginnya gitu, Pak.

Mau dicarikan pembanding? Okelah. Dalam sebuah investigasi ala-ala yang dilakukan oleh akun Extra Time di Twitter, mereka menemukan hal menarik. PSSI-nya Inggris alias FA tidak pernah sekali pun menampilkan wajah pemimpinnya sejak 2020. Itu pun ketika masih dipimpin oleh Greg Clarke.

Saya yakin, kalian lebih hapal nama Harry Kane ketimbang Greg Clarke, kan? Coba sebutkan striker Indonesia paling tajam saat ini? Tidak hafal, ya? Justru lebih hapal nama Ketum PSSI yang sekarang, ya?

Kembali lagi dalam laporan yang dilakukan Tempo, megalomania ini ditandai dengan beberapa perilaku, salah duanya adalah pamer kekuasaan dan merasa paling tinggi sehingga menjadikan adanya sikap “gila hormat”. Lantas banyak yang berspekulasi, apakah ada agenda politik di balik narsistiknya si Ketum PSSI?

Adanya anggapan itu saya mafhum, jabatan Ketum PSSI dalam beberapa tahun ke belakang selalu dijadikan kuda pacu politik. Terakhir ya kita sama-sama tahu, ada yang bahkan sampai duduk di kursi gubernur padahal mengawal PSSI saja tidak becus-becus amat. Termasuk gagal, malah.

Tapi ya itu tadi, sepak bola olahraga nomer satu, yang duduk memimpin federasi olahraga ini, rugi kalau tidak narsis walau minim prestasi.

Narsis (Shutterstock.com)

Pertanyaannya begini, apakah Ketum PSSI yang sekarang itu akan menjadikan jabatan ini sebagai kuda pacu politik juga? Ah, saya rasa tidak. Melihat pola kepemimpinan yang terkesan biasa saja, saya rasa masyarakat di era sekarang sudah melek politik dan bisa menilai dengan baik dan sadar.

Tapi, ya nggak tahu juga yaaa. Kalau masih kepolen kayak gini, ya wajar orang-orang bakal berasumsi, ye kan?

Balik lagi, saya tidak benci dengan beliau, justru saya malah kasihan. Apakah orang-orang di sekitarnya tidak ada yang mengingatkan untuk segera konsultasi ke psikolog? Saya yakin ini bukan dialektika dan gimmick politik. Saya yakin sekali. Ini adalah contoh manusia yang sedang melawan sisi kelam narsistiknya yang sudah melampaui ambang batas. Kita sebagai penggemar sepak bola Indonesia harusnya menyadarkan, bukan malah mengolok-olok.

Penulis: Gusti Aditya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Warga Jogja Jangan Mimpi Kaya kalau Separuh Gajinya untuk Ongkos Transpor

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version