Ketika Saya Harus Menjual Sapi dan Perhiasan untuk Membayar UKT UIN

Ketika Saya Harus Menjual Sapi dan Perhiasan untuk Membayar UKT UIN

Ketika Saya Harus Menjual Sapi dan Perhiasan untuk Membayar UKT UIN (Pixabay.com)

Meski disebut sebagai Kota Pelajar, tak bisa dimungkiri, biaya pendidikan di Jogja tak lagi bisa disebut murah. Tak mengagetkan jika selama ini yang digembar-gemborkan oleh para sobat narimo ing pandum adalah makan murah, bukan pendidikan murah. Kota yang harusnya mencetak ribuan generasi emas penyangga bangsa justru jadi contoh terbaik bahwa pendidikan tak lagi bisa diraih segala kalangan. UKT UIN adalah contoh sahih, bahwa tak lagi ada kampus murah di Jogja.

Dalam artikel kali ini, saya akan bercerita tentang Mahbub dan Syafiq, dua kawan yang babak belur dihantam UKT UIN.

Mimpi yang sederhana

Mimpi Mahbub amatlah sederhana: ia ingin punya figura berisi foto wisudanya dan dipajang di dinding rumah keluarga. Baginya, itu adalah harta yang amat berharga. Sebagai anak desa, memajang foto wisuda di dinding rumah adalah kemewahan yang tak tertandingi, kebahagiaan yang tak terdefinisikan, dan peristiwa yang sulit didapatkan. Mahbub adalah contoh sahih bahwa kebahagiaan itu sebenarnya amat sederhana.

Sayang, mimpinya untuk memajang foto wisuda hampir putus di tengah jalan. Biaya kuliah yang tinggi dan ekonomi keluarga yang kurang menyenangkan, jadi pelaku utama yang nyaris membunuh mimpinya untuk jadi sarjana.

Di sisi lainnya, Syafiq, memikul tanggung jawab yang sangat berat, sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarga, harapan untuk meningkatkan derajat ekonomi benar benar tersandarkan kepada dirinya. Orang tuanya pernah berpesan, “Cukup hanya bapak dan ibu yang terjun ke sawah (bertani), kamu jangan.” Dari sini Syafiq sadar, petani adalah profesi yang buruk bagi keluarganya, kuliah adalah jalan yang ia pilih untuk membuka kemungkinan baru meningkatkan ekonomi keluarga.

Jalan segar untuk bisa kuliah dan mengubah nasib keluarga akhirnya terbuka. Mahbub berhasil masuk kampus kerakyatan UIN Sunan Kalijaga setelah dua kali ditolak. Nasib baik juga datang kepada Syafiq, UIN Sunan Kalijaga menerimanya sebagai mahasiswa. Kabar baik ini tak berlangsung lama, sebab kebahagiaan mereka direnggut oleh nilai UKT UIN yang membebani. Kampus UIN yang katanya murah hanya tinggal nama. Masing-masing dari mereka melakukan hal yang menyedihkan agar bisa kuliah.

Jual sapi untuk bayar UKT

Melihat kondisi keluarga yang jauh dari kata menyenangkan, memantik Syafiq untuk meningkatkan derajat ekonomi keluarga. Terlahir dari keluarga yang pas-pasan, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bapak dan Ibunya seorang petani, tidak ada pekerjaan lain selain petani, bergantung dengan uang panen yang tidak tentu nominalnya. Kalau sedang sial malah digasak sama tikus sawah dan problema pelik petani Indonesia.

Dan Syafiq akhirnya menghadapi pilihan yang dihadapi banyak orang kurang mampu yang ingin meraih pendidikan: kerja, agar keluarga bisa tercukupi, atau kuliah, tapi perjudiannya terlalu besar. Apa yang lebih paradoks dari ini: kuliah agar bisa cari kerja, atau kerja untuk membiayai kuliah?

Syafiq akhirnya memilih kuliah. Tapi tagihan UKT UIN langsung menghantui Syafiq dan keluarga.

Sawah belum panen, mau utang keluarga terdekat juga tidak enak. Mau tidak mau, dengan berat hati, aset terbaik warga desa yang bekerja sebagai petani harus dijual: sapi. Sapi peliharaan milik keluarga harus rela dilepas untuk menutup tagihan uang kuliah dan utang lama yang sudah menumpuk. Pilihan yang berat, saya yakin ini tidak mudah, sapi itu aset yang berharga banget bagi warga desa. Bahkan, pada titik tertentu, mereka anggap sebagai anggota keluarga.

Tapi begitulah realitas pendidikan Indonesia, buat yang mampu-mampu aja!

Kalung emas ibu jadi korban

Sebagai petani musiman, hasil panen mutlak tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Padi butuh waktu 3 bulan untuk panen. Hal ini membuat Mahbub dan keluarga harus memutar otak untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Berdagang tape jadi pilihan, profit dari jualan ini cukup untuk sekadar makan dan menunda untuk tidak berutang. Sayangnya, jualan tape ini juga musiman, hanya akan produksi jika ada yang memesan saja, kalau tidak ada yang pesan ya alamat harus utang untuk menutupi kebutuhan.

Berdamai dengan gagal panen adalah skill terbaik petani Indonesia. Meski potensi untuk gagal cukup tinggi, mereka akan tetap menanam, dan terus menanam. Musim paceklik datang menghantam, uang hasil jualan tape habis untuk merawat sawah yang diserang hama. Dalam waktu yang bersamaan, Mahbub harus balik pondok. Sudah jelas, ia butuh uang untuk bayar: dana pendidikan, uang saku, uang jajan dll. Namun, bapak dan ibunya sama sekali tidak memegang uang.

“Ya sudah Pak, Buk, saya balik dulu.” Ucap Mahbub yang coba memaklumi keadaan tersebut. Sewajarnya orang tua, bapak dan ibu Mahbub menanggapi pernyataan di atas dengan gelagapan, tanpa sadar merogoh saku celana lalu menjulurkan uang seribu rupiah. “Ini dulu ya, bapak nemu dari saku celana.” Kantung mata tak sanggup menampung airnya. Sepanjang jalan menuju pondok ia hanya menangis dan sesekali menghela nafas karena dada yang teramat sesak.

Dari kisah ini, Mahbub bertekad untuk membahagiakan orang tuanya dengan kuliah, menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah jalan yang ia tempuh untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Kabar bahagia datang, Mahbub resmi diterima sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga lewat jalur CBT 2. Orang tuanya memang mendukung penuh pilihan Faris untuk kuliah, roda berputar begitu cepat, masalah baru muncul.

SK UKT turun, golongan uang kuliah yang diterima benar-benar di luar ekspektasi. Nama Mahbub tercatat sebagai mahasiswa dengan UKT golongan III. Nominal yang tertera cukup berat untuk kondisi ekonomi keluarga Mahbub yang kurang beruntung. Mau tidak mau, barang berharga terakhir milik ibunya jadi korban, gelang satu-satunya ini harus dijual untuk membayar tagihan uang kuliah semester pertama.”Alhamdulillah tidak sampai utang,” ucap Mahbub dari speaker telfon saat wawancara.

UIN dulunya murah, tapi sekarang…

Banyak senior yang berkata, bahwa UIN itu kampus murah. Cerita-cerita alumni UIN memperkuat argumen tersebut. Tapi melihat bagaimana Mahbub dan Syafiq sebegitu menderita hingga menjual harta keluarga, saya pikir, ada yang tak lagi sama antara apa yang di benak dengan realitas.

Biaya kuliah UIN jelas tak lagi ratusan ribu seperti dulu. Yang jelas tak semurah dulu, dan begitu mahal hingga kedua kawan saya ini menjual yang tak seharusnya. Dan saya pikir, predikat UIN sebagai kampus murah baiknya kalian hapus dari kepala. UIN Jogja kampus murah tinggal dongeng belaka, UIN Jogja tak lagi bersahabat dengan kaum proletariat.

Masalahnya adalah, kalau UIN yang dikenal dengan kampus murah ini uang kuliah tunggalnya sudah nggak masuk akal. Lantas, bagaimana dengan kampus Jogja lainnya?

Penulis: Geza Xiau
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kuliah UIN Jogja Buat yang Mampu-mampu Aja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya
Exit mobile version