Ketika Pidi Baiq Menulis Kisah Cinta Karl Marx

helen dan sukanta pidi baiq bandung novel cinta bagus recommended karl marx mojok.co

helen dan sukanta pidi baiq bandung novel cinta bagus recommended karl marx mojok.co

Kita sepakati bahwa Karl Marx adalah dua sisi uang koin. Pemikirannya banyak dipuja, pun banyak pula yang menganjing-anjingkan. Tokoh teoritikus sosialis ini adalah pusat alam raya bagi yang mencintainya. Pemikirannya bak sebuah ilham dan tak jarang pula banyak yang menganggap “sesat”. Tapi, setidaknya, ada satu sisi yang sebenarnya Karl Marx ini nggak Marxist-Marxist amat. Ya apa lagi jika bukan urusan cinta.

Mau bagaimana lagi, Karl Marx tetaplah Karl Marx, ia adalah manusia biasa yang jika keslomot api akan tetap mengaduh walau jiwanya selalu berkobar-kobar tentang asas bara perlawanan. Puisi-puisi yang ia buat, setidaknya begitu lepas dan tidak terpatri dengan apa yang ada di “menu utama” kepalanya. Setidaknya Marx adalah kita, ketika mencintai seseorang, maka kata cinta bagai sebuah jamur di musim penghujan. Siapa yang nggak bakal geli ketika membayangan sosok Marx bilang seperti ini, “Dalam helaian Jiwa cemerlang/ Akan mendekap duniamu/ Akan meruntuhkanmu, akan merendahkanmu/ Akan menabuhkan tarian purba.” Setidaknya terdapat satu nama yang menjadi pusat dari roman picisan seorang Marx. Yakni Jenny, istrinya.

Bukan berarti saya mengatakan Marx dan Jenny nggak bahagia-bahagia amat dalam menjalani bahtera rumah tangga mereka hanya karena puisi Marx. Biarkan Insert atau Silet saja yang mengurus perkara dapur rumah tangga orang, kita jangan. Yang jelas, yang menjadi titik pokok dalam tulisan kali ini ialah betapa wagunya Marx dalam mengolah urusan percintaannya. Bagaimana nggak layak dipisuhi, lha wong pas bulan madu yang seharusnya khuyuk dan melupakan urusan pekerjaan, Marx justru membawa beberapa buku dalam perhelatan yang dianggap paling suci pascapernikahan itu.

Puisi dan tindakannya tidak sinkron, namun penafsiran ini hanya didapat dalam literatur-literatur saja. Dalam puisinya yang penuh ungkapan romantik abad pertengahan, nyatanya tidak sebanding dengan apa yang ia perbuat. Dilansir dari Tirto, bahkan Jenny pernah menerima dampak ngambeknya seorng Marx yang entah apa penyebabnya, namun Marx mengasingkan Jenny selama berbulan-bulan.

Seandainya saja Marx hidup tidak terlalu awal, dan ia besar dan dilahirkan di daerah Dago, saya tentu akan menawarkan Ayah Pidi Baiq sebagai penasehat utama Marx. Setelah saya terkesima dengan buku barunya, Helen dan Sukanta, sepertinya Ayah akan sanggup meromantisasi kisah cinta Marx dan Jenny dalam sebuah kacamata yang berbeda. Mungkin saja, jadinya akan seperti ini.

Karl dan Jenny

(pura-puranya) oleh Pidi Baiq 

Namaku Jenny. Jenny von Westphalen. Jenis kelamin perembuan tadi baru saja membantu Bapak mengurus jurnal terbarunya. Bapakku, Ludwig von Westphalen, adalah orang termasyhur di daratan Bornum am Elm, Prusia. Tetapi, ini bukan kisah mengenai diriku, bukan juga keluargaku, melainkan tentang dia. Dia yang memberikan aku pemahaman bahwa Kerajaan Prusia adalah kerajaan paling romantis walau penuh siksa. Ya, dia adalah Marx, dia adalah Marx-ku 1836.

Kota Trier pagi itu adalah sebuah lanskap romantis dengan penuh gairah yang tak tertandingi. Asap-asap pabrik mengepul dengan indahnya, ribuan buruh menatapku nanar karena jam kerjanya. Aku berjalan dengan anggunnya, menangkap semua mata yang aku lewati dan ternyata, ada seorang pria muda yang menghampiriku dengan wagu-nya. Lantas, ia njejeri aku.

“Pagi-pagi di Trier yang penuh kelas pekerja, eh ada wanita manja dan menggoda,” katanya dengan kaku.

“Cakeuuup!” jawabku mengikuti Denny Cagur tiap nimpali Bang Sapri.

“Bukan sedang pantun, itu puisiku,” katanya dengan jutek.

“Oh,” aku menahan tawa.

“Selamat pagi,” sapanya lagi, memulai perbincangan kami yang tadinya mati.

“Eh, iya, pagi,” aku menoleh perlahan kepadanya. Janggutnya, unch banget. Tapi sengaja aku jual mahal dan tidak memperhatikan dirinya yang masuk kategori lumayan.

“Kamu Jenny, ya?”

Aku diam tak menjawab, aku hanya menoleh lagi dengan perlahan. Barangkali aku mengenalnya.

“Boleh nggak aku ramal?”

“Ramal?” Jenny pun kebingungan. Kok ramal? Kok bukan kenalan?

“Aku ramal kapitalisme bakal tumbang!” katanya sambil mengepalkan tangannya.

“Ayo, ke bapakku sekarang juga!” Dan kami pun akhirnya berkenalan dan aku perkenalkan dia dengan bapakku yang sepertinya memiliki pola pikir yang sama dengannya. Uwu kan kisah cinta kita?

***

Bukan hanya di bagian ikonik dalam kisah cinta Dilan dan Milea itu saja, kisah cinta Marx dan Jenny bisa dihaturkan dengan manis oleh Pidi Baiq dalam bagian yang lainnya. Salah satunya adalah ketika Milea ulang tahun dan diberikan TTS yang sudah diisi oleh Dilan. Agaknya kisah tersebut bisa dicontek oleh Marx dengan sedikit perubahan. Begini jadinya.

***

Karl menghadiahiku sepucuk surat dan sebuah kotak hadiah. Dengan penuh senyum medeni, aku berlari ke kamar. Aku bumbungkan hadiahnya ke udara, aku lihat lagi perlahan. Aku buka dengan cepat-cepat dan menendang kado boneka dari Nandan van Houten. Setelah aku buka, kosong. Babar blas nggak ada isinya. Wah, apakah Karl memainkanku?

Lantas aku buka dengan cepat sepucuk surat darinya. Ia gambari samping-sampingnya. Ada gambar doodle mulai dari Mickey Mouse sampai Haji Sodiq yang ia beri panel komik “iya iya iya”. Di tengahnya, ada kata-kata yang disusun secara manis olehnya. Kata-kata tersebut berbunyi:

SELAMAT ULANG TAHUN, JENNY.

INI HADIAH UNTUKMU, HANYA KOTAK YANG  TADI ADA ISINYA.

TAPI SUDAH AKU HILANGKAN SEBAGAIMANA PENERAPAN SEWA TANAH YANG HARUS KITA HILANGKAN

AKU SAYANG KAMU

AKU TIDAK MAU KAMU CAPEK-CAPEK MENGONSEPKANNYA.

KARL

Sumber gambar: Instagram Pidi Baiq

BACA JUGA Begini Jadinya Cerita Dilan dan Milea Jika Pidi Baiq Orang Bantul dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version